Ahad 29 Jun 2014 17:00 WIB

Bertamu di Setu Babakan

Red: operator

Perlu kejelian dan bertemu momen pas untuk merasakan kehidupan Betawi di Setu Babakan. Wajar saja, sebab tak sedikit pemukim di Setu Babakan merupakan perantau dari berbagai daerah di Pulau Jawa. Pemukim asli menetap tersebar, tidak terpusat di daerah Setu Babakan.

Pergerakan perpindahan masyarakat menghuni permukiman dekat Setu Babakan  berlangsung pada pertengahan tahun 2000 hingga saat ini. “Seperti saat ini, warga kampung pada pulang mudik, sepi mau bulan puasa,” ucap Ujang (60 tahun), salah satu pemukim di Setu Babakan.

Ujang enggan disebut pemukim asli, meski 30 tahun menetap di Setu Babakan. Pria kelahiran Ciampea, Bogor, itu bersahabat dengan budaya Betawi yang diciptakan di Setu Babakan. Penanda jelas pemukim asli Betawi di Setu Babakan, warga yang berumah model Betawi: halaman luas ditumbuhi tanaman semisal sawo, rambutan, dan pohon mangga. Rumah model Betawi khas di Setu Babakan disebut rumah model bapang, yang berciri khas serambi luas. Fungsi serambi untuk menerima tamu. Diruang tersebut terdapat bale tempat bersantai.

“Tinggal sedikit pemukim asli yang membangun rumah seperti itu,” kata Ujang menambahkan.Fisik boleh berubah, namun napas tradisi dan kebudayaan tak luntur mewarnai kehidupan masyarakat Setu Babakan. Pada acara tertentu, tradisi  Betawi dilakukan. Misalnya, tradisi upacara pindah rumah.

Upacara pinde rume itu adalah acara yang dandang, kompor, sapu lidi, kasur, daun sirih, dan koper jadi tontonan. Seorang abang mengambil segenggam tanah yang ia bungkus di kain pu tih, ia bawa ke tempat tinggalnya yang baru.

Sebelum memasuki dan menempati rumah baru, tanah itu ia sebar di halaman rumah sembari melantunkan shalawat. Sebuah tradisi turun temurun yang dimaknai semoga rezeki di rumah lama ikut hadir di tempat tinggalnya yang baru.

“Ada juga acara bebarit, acara selametan bumi. Kita makan bersama dengan anak-anak tiap malam satu Muharram,” kata Wani, pengelola kawasan Setu Babakan ditemui di ruang kerjanya. Pada saat hari-hari besar Islam, khususnya pada bulan Ramadhan berlangsung tradisi unik. Warga Betawi menggelar acara sahur bersama. Sebelum itu, penduduk mengelilingi kampung sambil membawa gendang dan petasan sambil berteriak “sahur-sahur”.

Sebuah kegiatan yang jarang ditemui di sudut Kota Jakarta lainnya. Kepala UPT Setu Babakan Indra Sutisna mengakui bahwa tradisi Betawi berusaha dipertahankan di Setu Babakan. Meskipun pendatang, ujarnya, di antara mereka yang berasal dari Jawa Tengah, Sumatra, dan daerah lainnya mendukung kelestarian apa pun budaya yang diwariskan Betawi. “Pendatang da tang penuh hormat, membangun rumah nya yang berbentuk modern, namun dengan aksen Betawi semisal penghias teras dan lampu tempel di dinding-dinding serambinya,“ kata Indra.

Perkampungan Setu Babakan memegang pesan leluhur. Di kawasan ini, diatur kehidupan berdagang di Setu Babakan. Jika sudah masuk waktu Maghrib, Setu Babakan tak lagi dibuka untuk umum. Aktivitas berhenti di Setu. Jika tidak ada keperluan pergi ke langgar, war ga Betawi kudu berada di dalam rumah.

Dikocok … Pletok … Pletok …

Satu cerita, masyarakat Betawi risih melihat orang Belanda minum bir di muka umum. Rasa risih sangat tipis bedanya dengan iri dan tak mau kalah. Tapi syukurnya, masyarakat Betawi kental dengan sifat religius. Mereka tahu bahwa bir merupakan minuman yang dilarang oleh agama. Bir memabukkan dan memiliki efek negatif bagi kesehatan mereka.

Terpikirlah pembuatan bir ala Betawi pada masa penjajahan Belanda tersebut. Masyarakat Betawi yang religius meniru minuman bir orang Belanda. Mereka hanya tahu bahwa bir diminum para kompeni untuk menghangatkan tubuh. Namun, bagi mereka sebenarnya banyak ramuan lain yang memiliki khasiat serupa.

Minuman yang kemudian diracik mereka, yaitu penghangat dengan bahan herbal. Di antaranya, jahe, kapulaga,cengkih, dan rempah-rempah serupa. Untuk membuat warnanya menyerupai bir orang Belanda, digunakan warna dari kayu secang.

“Ini mister, kita orang juga punya bir.” Begitulah kirakira ucapan masyarakat Betawi saat itu. Minuman penghangat tersebut kemudian dimasukkan ke sebilah bambu yang biasa disebut mereka “pentung”. Dicampur dengan beberapa pecahan es batu, bambu yang berisi ramuan penghangat itu dikocok-kocoknya untuk membuat aksesori tambahan berupa busa.

“Saat dikocok, muncul bunyi pletok-pletok,” ujar Rosmayanti (38 tahun) di kedai bir pletoknya di Setu Babakan. Begitulah sekelumit kisah bir pletok sebagai satu warisan kuliner dari tanah Betawi. Rosmayanti mendapat cerita itu secara turun-temurun dari orang tua dan sesepuh di tempat tinggalnya. Rosmayanti yang akrab disapa Mpok Yanti kembali mengisahkan kisah tersebut bagi siapa saja yang datang.

Biasanya, kedai yang dijadikan sebagai dapur pembuatan itu didatangi para mahasiswa yang melakukan penelitian. “Usaha bir pletok sejak 1997, saat pertama kali festival Setu Babakan,” katanya.

Bir pletok buatan Mpok Yanti terdiri atas 15 bahan rempah-rempah. Ia menyebutkan rempah-rempah itu berupa garam, air, gula, cengkih, kayu manis, jahe, kayu misoye, kayu secang, daun pandan, biji pala, kapulaga, batang serai, lada hitam, dan daun jeruk. “Tapi, kalau ada bahanbahan lain, bisa sampai 20 rempah-rempah,” ujarnya.

Bir pletok diakui kaya manfaat. Selain menghangatkan tubuh, minuman ini juga mampu meningkatkan metabolisme tubuh. Satu botol ukuran botol sirup dibanderol Mpok Yanti seharga Rp 14 ribu. Tapi biasanya jika masuk ke beberapa warung, harganya bisa berselisih antara Rp 2.000 sampai 5.000. Kalau diborong, tentunya kita kasih potongan,” kata Yanti yang sehari mampu meracik 50-60 botol tersebut.

Bikin Dodol Sambil Silaturahim

Terdapat keramaian di beranda rumah di sudut per kampungan Betawi, Setu Babakan. Ibu-ibu paruh ba ya duduk bersantai, ditemani gelas sirup warna me rah dan kacangkacangan yang di be li di warung sebelah.

Perbincangan santai ala rakyat kecil, membincangkan siapa yang dicoblosnya pada pemilu.Karena memasak dodol, ibu-ibu itu berkumpul. Karena memasak dodol juga, silaturahim mereka terjaga.

Masyarakat setempat mengenal industri rumahan itu sebagai pabrik dodol betawi merek Nyak Mai. Dodol Nyak Mai mewarnai hari-hari Setu Babakan setelah usaha ini dirintis selama 20 tahun.

Ibu-ibu yang bersantai itu bergegas untuk bergantian dengan yang lain setelah dua jam mengaduk-aduk adonan dodol di kuali berdiameter satu meter. Azan Zhuhur  berkumandang, menandakan adonan mereka baru berumur dua jam setelah pertama kali dibakar pada pukul 10.00 WIB. Biasanya, memasak dodol membutuhkan tujuh sampai sembilan jam.

Kesibukan memasak dodol di rumah Nyak Mai berlangsung lima hari dalam seminggu. Seharinya, rumah ini mampu menghasilkan dodol satu kuali dengan berat adonan mencapai 40 kilogram. Usaha Dodol Nyak Mai kini diteruskan anak nya. Nyak Mai telah wafat pada 2007.

Dodol Nyak Mai terkenal seantero Jakarta. Lokasinya di Jalan M Kahfi II Gang Kramat Bambu, Setu Babakan. Para pengunjung yang datang ke Setu Babakan membawa dodol ini. Nyak Mai dipercaya sebagai orang pertama membuat penganan ini dijual untuk masyarakat umum.

“Kalau aktivitas membuat dodol memang mendarah daging buat orang Betawi apalagi menjelang Lebaran,” ujar Bang Udin, putra Nyak Mai yang meneruskan usaha orang tuanya.

Rame dodol bulan puasa Permintaan dodol Nyak Mai menjelang Lebaran meningkat. Pada hari biasa Udin mampu membuat dodol hingga 90 kilogram. “Kalau masuk bulan puasa apalagi Lebaran, bisa 900 kilogram,” ujarnya. Udin juga menerima pesanan lainnya seperti geplak, tape uli, dan kue wajik.

Dodol Betawi Nyak Mai terkenal kelegitannya. Rasa nya dipertahankan original, tanpa ada bahan tambahan.Udin menyebut tak ada resep khusus yang biasa digunakannya. Bahannya hanyalah campuran gula merah dan gula Jawa, santan kelapa, tepung beras ketan, dan gula pasir. “Kalau takarannya, dipercayakan kepada kakak saya, Juwani,” ujarnya.

Juwani anak tertua Nyak Mai. Ia mengaku resep yang diberikan ibunya harus dipertahankan sampai kapan pun. Ibarat juru adil, Juwanilah yang me mutuskan siap atau tidaknya dodol un tuk dikemas. “Kita ikut aja perintah dia kalau sudah ma tang, padahal baru lima jam, ya udahan,” ujar Suryani, menantu Nyak Mai yang meramaikan usaha dodol tersebut.

Yang selalu ada

1. Kerak telor

2. Minuman es selendang mayang

3. Laksa Betawi

4. Pecak gurame

5. Soto betawi

6. CD lagu Benyamin

7. Toge goreng

8. Uli bakar

9. Kue rangi

Naskah      : Angga Indrawan

Fotografer  : Raisan Al Farisi

Editor        : Nina Chairani

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Yuk Ngaji Hari Ini
وَلَقَدْ اَرْسَلْنَا رُسُلًا مِّنْ قَبْلِكَ مِنْهُمْ مَّنْ قَصَصْنَا عَلَيْكَ وَمِنْهُمْ مَّنْ لَّمْ نَقْصُصْ عَلَيْكَ ۗوَمَا كَانَ لِرَسُوْلٍ اَنْ يَّأْتِيَ بِاٰيَةٍ اِلَّا بِاِذْنِ اللّٰهِ ۚفَاِذَا جَاۤءَ اَمْرُ اللّٰهِ قُضِيَ بِالْحَقِّ وَخَسِرَ هُنَالِكَ الْمُبْطِلُوْنَ ࣖ
Dan sungguh, Kami telah mengutus beberapa rasul sebelum engkau (Muhammad), di antara mereka ada yang Kami ceritakan kepadamu dan di antaranya ada (pula) yang tidak Kami ceritakan kepadamu. Tidak ada seorang rasul membawa suatu mukjizat, kecuali seizin Allah. Maka apabila telah datang perintah Allah, (untuk semua perkara) diputuskan dengan adil. Dan ketika itu rugilah orang-orang yang berpegang kepada yang batil.

(QS. Gafir ayat 78)

Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement