Ahad 31 Aug 2014 15:00 WIB

Bagonjong dari Jorong ke Jorong

Red: operator

Kami berjalan ke pelosok kampung, menikmati keindahan rumah gadang bagonjong yang masih tersisa.

Lelaki-lelaki itu mengobrol, tertawa. Ada yang duduk mencangkung di tangga depan rumah. Yang tiga orang lagi menyabit rumput dan membersihkan halaman. `'Cuma ber sih-bersih biasa,'' kata salah seorang di antara mereka yang menghampiri, begitu kami datang mendekat.

Rumah berdinding kayu berdiri di belakang mereka terlihat tua, tapi tampak menyegar setelah rumput terpangkas pendek.

Ru mah gadang di depan Makam Tantejo Gurhano, Cagar Budaya Batusangkar itu, ber gonjong, tampak tua dari catnya yang sudah kusam. Begitu pula rangkiang di sisi kirinya serta bangunan kecil di sisi kanannya.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Sambil memperkenalkan dirinya, Syaf roni Datuak Kayo mempersilakan saya, Edwin, dan Arina, teman saya, memasuki ru mahnya. Sebuah bak kecil terlihat di depan anak tangga rumah itu. Saya memasuki rumah dari anak tangga di sisi kiri menuju teras kecil berjendela kaca. Teras itu terlihat seperti ruang tambahan dari bangun an rumah gadang.

Ruangan dalam rumah itu membuat saya terpana. Ini pertama kali saya memasuki rumah gadang yang asli, bukan bangunan modern dengan model atap bergonjong.

`'Rumah gadang ini rumah kebesaran saya dan kaum, suku Pisang di Nagari Tuo, Minangkabau Pariangan,'' kata Roni, sapa an akrab pemuda itu. Ia dan anak-istrinya memiliki rumah pribadi di Kota Batusangkar, 10 km dari Pariangan. Tapi, ia tiap hari ke rumah gadang yang menjadi tanggung jawabnya ini. Rumah ini berfungsi sebagai tempat musyawarah sukunya, suku Pisang.

Rumah Syahroni adalah rumah gadang pertama dalan jelajah kami. Adalah Arina Suhirman, teman sekampus saya, yang pertama mengajak kami bermain ke Bumi Minangkabau. `'Ayo, kita menelusuri tentang rumah gadang,'' tulisnya lewat WhatsApp.

Ajakan yang menarik dan sulit ditolak.Hari itu, kami memenuhi undangannya.

Kami memulai dari Nagari Tuo Pariangan, tem pat asal mula adat budaya Minangka bau. Di kawasan sejuk di lereng Gunung Ma rapi itu kami mengawalinya dengan rumah gadang Syahroni.

Cuci kaki sebelum masuk Ronny, begitu sapaannya, mengaku tak tahu kapan persisnya rumah gadangnya di bangun. Tapi, yang diketahuinya adalah rangkiang yang ada di depan sebelah kanan rumahnya. `'Rangkiang ini dibangun pada 1938,'' katanya.

Meski tua, rumah gadang Ronny tetap menampakkan keindahannya. Masih menyisakan kompleks rumah yang lengkap. Se lain bak cuci kaki di bawah dan rang kiang, ada pula tempat menyimpan kuda be rupa rumah kecil yang kini posisinya te pat di pinggir jalan. `'Sekarang, itu jadi tem pat menyimpan motor,'' kata dia menunjuk ke bangunan berbentuk persegi panjang itu.

Uniknya, di ruang utama rumah terdapat beberapa lemari yang menempel masuk ke dalam bangunan. `'Ini lemari lakek, khas Pariangan,'' ujarnya.

Rumah itu tampak dibuat oleh orang berpunya. Ukiran pada pintu masuk kamarnya terbuat indah. Pada pintu kamar terdapat kaca lukis yang menggambarkan merak dan bunga. Bisa dibayangkan saat rumah itu masih baru.

Datuk Mangkuto membawa kami ke rumah di perkampungan yang lebih dalam di Koto Pisang. Sepanjang perjalanan kami melewati beberapa rumah gadang yang sudah rusak ditumbuhi tanaman liar dan tak berpenghuni. Kami menyambangi ru mah milik Datuk Rangkayo Sati yang tinggal di Jakarta, kini dijaga Bu Upik (59).

Rumah gelap itu dihuni janda itu sen dirian. Dinding dalam rumah itu digambari ornamen bunga yang mengingatkan rumah di dusun-dusun Eropa.

Rumah ini panjang dan pipih. Saat saya melongok ke kamarnya, kamar itu menjadi tempat penyimpanan hasil bumi. Ada puluhan kelapa di sini. Yang mengejutkan, kamarnya amatlah sempit. Ini mengingatkan saya pada ucapan dosen arsitektur Universitas Bung Hatta Eko Alvares. `'Rumah adalah tempat tidur karena pada masya ra kat agararis sebagian besar kegiatan di luar rumah, laki-laki pun tinggal di luar rumah,''

jelas dia.

Terus menyusut Angku Jamaluddin Dt Mangkuto, warga Nagari Tuo Pariangan, bercerita, rumah gadang 11 ruang di Pariangan sudah habis se jak 1950-an. Meskipun masih ada yang sembilan ruang, sudah dalam kondisi rusak berat, sehingga sudah tidak dihuni lagi. Maksimum yang ada adalah rumah gadang tujuh ruang. `'Ada tiga di Pariangan,'' katanya.

Seberapa banyak bangunan rumah gadang di Sumatra Barat? Eko Alvares yang mengadakan penelitian tentang rumah gadang menyebut, ada 500 nagari. `'Bila satu nagari ada 20 rumah gadang, ada seberapa banyak semuanya? Tapi, tentu tidak sama sebarannya,'' katanya.

Namun, harus banyak menjelajah untuk menemukan pemandangan rumah gadang tua. Sebagian besar sudah mengalami perubahan dari bentuk aslinya. Perubahan bentuk yang umum terjadi adalah sejak zaman kolonial. Yakni, dengan pembuatan tangga permanen dari semen. `'Juga membuat ruang menjadi lebih luas membuat lebih nyaman dihuni,'' kata Eko Alvares.

Namun, kini perubahan terus berlangsung. Karena usia kayu tak bisa terlalu lama, banyak juga kini rumah gadang terbuat dari batu bak gedung biasa. `'Ma sya rakat Minangkabau gandrung perubahan, sangat dinamis,'' ungkap Eko.

Arsitek Rumah Bagonjong

Kami melongok ke halaman ca gar budaya itu. Lokasinya sekitar 500 meter dari jalan utama di Nagari Tuo Pariangan, Kabupaten Tanah Datar. Hari sudah petang, pin tu situs itu terkunci. Hanya ada pepohonan dan tumpukan batu membujur membentuk tembok rendah yang panjang di dalam sana. Hamparan rumput hijau segar ada di depannya.

`'Ya, benar, itu Makam Panjang,''kata Angku Jamaluddin Datuk Mang kuto (79 tahun) memastikan kami yang tengah kebingungan mencari si tus yang dimaksud. Datuk, begitu war ga Pariangan menyapanya, ada lah orang yang paling tahu soal sejarah di Pariangan. `'Ya, itu makam arsitek rumah gadang.''

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Makam yang terletak di Jalan Tantejo Gurhano itu benar-benar pan jang. Ukurannya 25,5 m x 7 m.Bisa dibayangkan tubuh orang di dalam makam itu amat besar.

Rumah gadang dengan atap bergonjong (orang Minangkabau menyebutnya bagonjong) mirip tanduk melengkung ke atas itu dipercaya hasil karya Tantejo Gurhano. `'Gonjong itu hasil karya Tantejo Gurhano,''

kata Datuk Jamaluddin.

Prototipe atap bagonjong itu lanjut dia, masih ada hingga kini. Yakni, Balairung Sari di Nagari Tabek, dekat Nagari Pariangan. Bangunan ba gonjong tertua itu diperkirakan berusia 450 tahun, berukuran 48 m x ,4 m dibuat berdasarkan sistem adat lareh Bodi Caniago yang bersifat egaliter.

Cirinya, lantainya datar sementara masyarakat Nagari Tabek tak menganut sistem demokrasi itu.Tak ada bukti tertulis. Namun, di percaya Tantejo Gurhano hidup di era Kerajaan Koto Bato yang berpusat di Nagari Pariangan. Kerajaan ini ada lah kerajaan pertama di Minang kabau.

Benarkah Tantejo Gurhano arsi tek rumah gadang? Saya mengaju kan pertanyaan ini pada pakar arsitektur heritage Dr Osrifoel Oesman dan pakar sejarah Minangkabau Prof Dr Gusti Asnan. Secara terpisah, mereka sepakat rumah gadang mun cul dari hasil evolusi, bukan karya satu orang.

Namun, salah satunya, mereka sepakati, adalah Tantejo Gur hano Osrifoel Oesman berpendapat, atap bagonjong itu adalah kearifan lo kal untuk menyikapi tantangan alam. `'Amat cocok untuk daerah de ngan curah hujan yang tinggi seperti kawasan Bukittinggi itu,'' katanya.

Reportase oleh Nina Chairani

Fotografer : Edwin Dwi Putranto

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement