Donggala menjadi kota yang banyak disinggahi para pelaut dan pebisnis dari berbagai daerah.
Sebuah tulisan "Bioskop Megaria" terlihat samar pada sebuah kayu berbentuk persegi panjang. Tulisan tersebut adalah sisa-sisa huruf yang tertempel pada bekas papan petunjuk dari sebuah bangunan yang ada di salah satu sudut Kota Donggala.
Tulisan itu menggantung di antara atap bangunan berbentuk segitiga. Atap itu dilapisi seng yang telah lapuk digerus waktu. Pada beberapa bagian, seng itu terlihat sudah berkarat dan berlubang.
Foto:Yasin Habibi/Republika
Lalu, pada bagian tembok yang juga tampak kusam, tertulis dengan huruf kapital, "TANAH TEMPAT BERDIRI GEDUNG INI MILIK ALMARHUMAH HJ FATIMAH BINTI HASAN." Tulisan tersebut dibuat dengan cat berwarna hitam.
Saat menemukan gedung Bio skop Megaria ini, saya seperti tak percaya. Apa yang saya lihat terhadap bangunan ini tak lebih seperti menyaksikan bangunan tua yang tak terurus. Padahal, pada dekade awal 1950-an, gedung tersebut menjadi satu-satunya tempat untuk menonton "film bergerak"yang ada di Sulawesi Tengah.
`'Kalau dulu, semua orang yang mampir ke Donggala pasti selalu berusaha untuk menonton di bioskop itu,'' kata Ambo Adar menunjuk bangunan tua yang ada di simpang jalan rumahnya tersebut.
Adar adalah salah satu warga sepuh di Donggala. Ia telah menetap di kota ini sejak 1936. Di depan bioskop tersebut, ia dulu pernah menjadi penjual makanan. Bangunan bioskop ini menjadi salah satu bangunan tertua yang ada di Kota Donggala. `'Kalau film India yang diputar, biasanya banyak penonton yang datang,'' kata lelaki yang kini telah berusia 81 tahun ini.
Pada masa lalu, Adar bercerita, Donggala menjadi kota yang banyak disinggahi para pelaut dan pebisnis dari berbagai daerah. Ia sendiri mengaku berasal dari Mamuju yang kini bernaung di dalam provinsi Sulawesi Barat.
Pada masa awal Kemerdekaan RI, Adar juga menceritakan, bangunan rumah di Donggala hanya terbuat dari bahan kayu. `'Rumah dari semen belum ada,'' katanya mengenang peristiwa yang terjadi pada masa separuh abad silam.
`'Dulu, dari Labuan Bajo sampai Tanjung Batu, rumah itu bisa dihitung. Kalau sekarang sudah begitu banyak dan padat sekali (tempat permukiman),'' sambungnya.
Dayus (49 tahun), salah satu warga Donggala, juga menceritakan bahwa Bioskop Megaria ini pada masa lalu menjadi ikon tempat hiburan paling kesohor di Sulawesi Tengah. Memasuki dekade 1990-an, kata dia, pamor bioskop ini meredup. `'Saat itu sudah banyak warga yang mulai memiliki parabola. Jadi, minat mereka untuk menonton ke bioskop turut berkurang,'' katanya.
Pada rentang 1990-an itulah, Dayus mengatakan, bioskop pertama di Sulawesi Tengah itu harus gulung layar alias tak lagi beroperasi. Selama tak beroperasi tersebut, nyaris bangunan ini tak lagi terurus.
Bioskop Megaria hanyalah salah satu contoh dan sejumlah bangunan tua yang tak lagi terurus di Donggala. Ketika saya diberi kabar ada bangunan tua di dekat dermaga lama, langkah kaki saya langsung menuju tempat tersebut.
Salah satunya adalah Gedung Bea Cukai. Bangunan ini bertingkat tiga. Pada dekade 1970-an, bangunan ini berperan untuk mengontrol lalu lintas barang yang masuk dan keluar dari Pelabuhan Donggala.
Pada bagian atas bangunan tersebut tertulis "Departemen Keuangan Republik Indonesia Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Kantor Cabang Tingkat II Donggala". Bangunan ini berada di areal yang cukup luas. Di pintu gerbang bangunan ini terlihat gembok yang juga sudah usang. Sedangkan, tak jauh dari bangunan ini masih terlihat bangunan mercusuar.
`'Ini juga salah satu bangunan tua yang ada di Donggala,'' kata Anjas. `'Sekarang bangunan ini sudah tidak lagi dipakai. Kosong tak diurus.''
Sementara bangunan yang dulu pernah menjadi denyut nadi pereko nomian Sulawesi Tengah adalah sebuah gudang milik Pusat Koperasi Kopra Daerah (PKKD)Donggala. Pada masa lalu, kopra menjadi salah satu produk ekspor unggulan dari provinsi ini.
Sayangnya, nasib gudang PKKD ini hanya tinggal menyisakan kenangan. Hampir semua warga di Donggala masih mengenal bangunan ini. Romantisisme popularitas kopra pada masa lalu juga masih teringat hingga generasi yang telah berbeda. `'Kata orang tua kami, dulu di sini bertumpuktumpuk kopra yang disimpan. Tapi, sekarang sudah tidak ada lagi,''
kata Gafur, pria berusia 38 tahun.
Adar juga bercerita bangunan PKKD tersebut sudah ada sejak masa penjajahan Belanda. Gedung berbentuk bulatan setengah lingkar an itu memiliki atap yang terbuat dari seng. `'Kalau dulu, kopra dari Sulawesi Tengah dikumpulkan semuanya di sana,'' kata dia.
Semua kondisi bangunan tua yang tak terurus itulah yang membuat Jamrin Abubakar gusar.Melalui blog pribadinya ia menulis kegelisahan Donggala yang belum menyelamatkan bangunan tua tersebut sebagai bangunan cagar budaya.
Merujuk pada aturan UU Nomor 11 Tahun 2010 mengenai cagar budaya, ia menulis, sebenarnya ada sejumlah bangunan bersejarah di Donggala yang dapat dilestarikan.
Sayangnya, potensi bangunan lawas tersebut, kata Jamrin, tidak mendapat respons hingga berangsur-angsur terbengkalai. Padahal, salah satu visi pembangunan pemerintah setempat, lanjutnya, adanya keinginan untuk menjadikan Donggala sebagai kota pariwisata dan budaya. `'Tetapi kenyataannya, tak satu pun cagar budaya yang dikelola sebagai obyek wisata sehingga wisatawan yang berkunjung hanya melihat tinggalan yang memprihatinkan saja,'' katanya.
Selintas tentang Donggala lGedung bioskop lKota Tua Donggala
Donggala adalah salah satu kabupaten tertua yang ada di Sulawesi Tengah. Kota ini berada di sebelah barat Teluk Palu. Dari Kota Palu, Donggala berjarak sekitar 45 kilometer atau dapat ditempuh dengan kendaraan tak sampai satu jam.
Sekarang ini, Donggala melabelkan dirinya sebagai kota niaga. Saat saya mengunjungi kota ini dua pekan silam, pusat kota ini tengah menata diri. Di antara yang tampak adalah reklamasi di bagian pantai Donggala.
Pada abad ke-18, kota ini pernah dijadikan pusat pemerintahan Belanda di Sulawesi. Di kota ini dibangun pelabuhan niaga dan penumpang.
Tapi, sejak 1978, aktivitas ekonomi di Pelabuhan Donggala mulai menyusut seiring dipindahkannya semua aktivitas ke Pelabuhan Pantoloan.
Popularitas Donggala ini ternyata juga pernah diabadikan oleh dua sastrawan besar Indonesia, yakni Buya Hamka lewat karyanya yang berjudul Tenggelamnya Kapan Van der Wijkserta karya Tetralogi Pulau Buru yang ditulis oleh Pramoedya Ananta Toer. Lantas, nama Donggala ini juga tetap melegenda bagi masyarakat Sulawesi Tengah berkat makanan khasnya yang bernama kaledo alias kaki lembu donggala dan sarung tenun donggala.
rep:m akbar ed:nina chairani