Ahad 21 Sep 2014 16:30 WIB

‘Garut Mooi … Mooi‘

Red: operator
Situ Cangkuang.
Situ Cangkuang.

Ratu Wilhelmina disebut-sebut memiliki tempat peristirahatan di Garut.

Jika cinta bersandar pada nilai keindahan, daerah ini tentu ada di hati setiap orang. Masih terasa sisa `mabuknya' saat beberapa waktu lalu menyambangi Garut, kabupaten di Provinsi Jawa Barat. Alam yang indah di bentang pegunung an vulkanis yang luas. Garut di keliling lima gunung ternama di Jawa Barat.

Ada gunung Papandayan, Guntur, Talaga Bodas, serta Gunung Sadahurip yang terkenal dengan sebutan Gunung Piramida.

Pada masa lampau, pesona alam Garut telah berembus ke setengah belahan dunia.Sejak abad ke-19, aroma keagungannya dibonceng embusan angin menuju barat.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Karismanya menembus garis khatulistiwa melewati Laut Arabia. Cerita keeksotisannya tak pudar meski melewati pekatnya Laut Merah. Maka kemudian, Garut pun menjadi wisata ternama bagi orang-orang Belanda dan sekitarnya. Ratu Belanda, Wilhelmina Helena Pauline Marie van Orange-Nassau (1880-1962), konon memiliki tempat peristirahatannya di sini.

Hingga pada 1920, Garut mendapat julukan Swiss van Java.

Julukan yang mendampingi daerah tetangganya, Bandung, yang disebut-sebut Parijs van Java. Sebuah cerita yang terkenang hingga sekarang. Awalnya, penamaan itu merupakan ulah sebagian oknum dari lembaga Bandoeng Vooruit--Bandung Maju (perkumpulan arsitek, perancang kota, dan penata kebun pemerintahan Belanda).

Bandung Vooruitmenjelma menjadi agen wisata turis-turis Eropa. Swiss van Java disemat untuk trek perjalanan di timur Priangan tersebut. Boleh jadi, hal ini dianggap perbandingan pas tatkala menyandingkan Garut dan Swiss di papan klasemen daftar wisata tanah ketinggian.

Daerah berjulukan Kota Intan ini berbatasan dengan Kabupaten Bandung, Tasik, Sumedang, dan Cianjur. Dikepung gu nung dan pegunungan, membuatnya sebanding dengan geografis Swiss yang dibentengi pegunungan Alpen. Jika Swiss in dah melalui Danau Interlaken, Garut punya Situ Bagendit dan Situ Cangkuang.

Liak-liuk Sungai Cimanuk bisa jadi seliuk keindahan Sungai Aare yang membelah Kota Bern. Keindahan yang selalu membuat turis Belanda meneriakkan `Garut mooi ... mooi'(Garut indah ... indah).

Kota Bisnis dan Pengusaha Keindahan ini mengiring pertanyaan besar. Bagaimana pengaturan tata wilayah di pusat kota pada zaman kolonial Belanda. Jika di pinggiran kota dibangun banyak destinasi wisata, apa kabar permukiman Garut tengah kota? Sebuah pertanyaan terselip harapan, bangunan pemerintahan, sisa aktivitas rasa kolonial masih ada di sana.

Di Jalan Ahmad Yani, di pusat kota, saya bertemu pegiat sejarah Garut, Gilang Gumilang. Pemuda bujang itu mengajak saya bersama fotografer Suherdi Riki berkeliling kota menengok sisa peninggalan kolonial. Jalan Ahmad Yani yang membelah Kota Garut, melintas persis di depan alun-alun kota. Zaman pemerintahan Hindia Belanda, jalan ini bernama societetstraat, jalannya para pejabat yang juga menjadi episentrum bisnis kota.

Jajaka Garut 2010 itu kemudian mengajak saya berkeliling ke beberapa sudut keramaian lainnya. Ada beberapa tempat pertanda Garut sebagai pusat peristirahatan wisatawan. Ada Villa Dolce yang kini berubah fungsi menjadi penginapan Empang Sari, atau Villa Papandayan yang kini difungsikan sebagai Markas Kodim.

Semasa kejayaan Garut sebagai destinasi wisata, tercatat kota ini pernah berdiri hotel megah sekelas bintang lima, yak ni Hotel Villa Dolce, Villa Paulina, dan Hotel Cisurupan. Kelengkapan pesona alam dan fasilitas ini membuat Garut pernah dikunjungi Ratu Belgia, Ratu Thailand, dan Charlie Chaplin. "Juga me rupakan pusat bisnis distribusi teh zaman Hindia Belanda," ujar Gilang.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Antara Alun-Alun dan Kantor Asisten Residen

Saya juga sempatkan bertemu sejarawan dari Garut Heritage, Frans Lumiart.Pegiat sejarah itu menyebut keberadaan Garut sebagai pusat ibu kota kabupaten bukan tanpa perjalanan panjang. Kota Garut, ujarnya, barulah muncul saat pemerintahan pindah dari Lim bang an menuju Kota Garut sekarang. Pemindahan ibu kota dilakukan pada 1813 saat Garut dipimpin Bupati Adiwijaya (1813-1831).

Boleh jadi, pemindahan dilakukan lantaran Limbangan yang kerap terjadi bencana pada masa itu. Garut dipilih juga lantaran posisinya strategis di pinggiran Sungai Cimanuk. Sungai merupakan sarana transportasi vital pada awal abad ke-19.

Pemindahan ibu kota di 17 kilo meter dari Limbangan itu dila kuk an dengan membentuk pola peme taan yang populer seperti di be lahan Jawa lainnya. Ada pendopo, masjid agung, dan perwakilan pemerintah Belanda melalui kantor Asisten Residen. Pola ini dibangun berdasarkan kebutuh an Be landa. Garut butuh peng awas an ka rena lumbung yang ba nyak mengi rim upeti bagi kantong kolonial.

Namun demikian, catatan pemindahan ini yang kemudian mem buat goresan menarik tentang asal usul nama Garut. Dikisah kan dan dipercaya secara tu run temurun, asal usul nama Ga rut muncul saat pesuruh Bupati Adiwijaya menemukan sebuah mata air yang masih dikerumuni rawa. Seorang petugas berucap kakarut(bahasa Sunda:

tergores) ranting pohon.

Seorang Belanda tak dapat me nirukan kata tadi dan menyebutnya gagarut. Awal rencana nya, kata Frans, meski dipindah kan pusat ibu kota, nama kabupaten masih akan tetap menggunakan na ma Kabupaten Limbang an. Namun, berdasarkan pesan dan saran sepuh setempat, nama Ga rut yang kemudian diperkenalkan."Lokasi mata air itu kini berada di atas bangunan SMP 1 dan II Garut," ujar Frans.

Di Seputaran Alun-Alun

BABANCONG

Bangunan yang mendadak monumental dan dianggap sebagai ikon sejarah Kota Garut. Babancong merupakan bangunan kecil seperti pendopo atau pesanggrahan yang sejak pertama didirikan digunakan sebagai mimbar para pembesar.

Bangunan seluas 15 meter persegi berada di depan Pendopo Garut. Digunakan sebagai tempat duduk bupati, raja kecil asuhan Belanda setiap menengok aktivitas keramaian alun-alun.Babancong juga sempat dipijak Presiden Soekarno saat berpidato di hadapan ribuan masyarakat Garut.

MASJID AGUNG

Diyakini didirikan pada 1813 seiring pembangunan pusat ibu kota. Masjid Agung Garut gagah meski arsitekturnya diyakini sudah tak lagi sama seperti sedia kala. Kubah yang hinggap di puncak bangunan, mengubah arsitektur lamanya yang dulu dibuat dengan atap limasan tumpang berlapis tiga. Konsep masjid di tatar Priangan memang dikenal dengan atap dengan istilah `nyungcung'.

KANTOR ASISTEN RESIDEN

Raja-raja boleh terlihat besar di hadapan rakyatnya. Namun, tidak demikian jika di mata Belanda. Bangunan yang kini menjadi Bakorwil Garutlah yang kemudian menjadi buktinya. Merupakan bangunan pengawas seluruh aktivitas kerajaan Garut. Posisinya berada di utara alun-alun, segaris lurus dengan keberadaan pendopo bupati. Bangunan yang menjadi bukti keberlangsungan pemerintahan raja-raja kecil di Garut, harus berdasarkan pengaturan Belanda.

BANGUNAN PENJARA

Masih di poros Jalan Ahmad Yani, tepatnya di seberang jalan alun-alun garut bagian timur. Bangunan ini digunakan sebagai rumah tahanan atau bui sejak zaman kolonial. Diperkirakan dibangun pada rentang 18601870.

Reportase oleh Angga Indrawan

Fotografer : Suherdi Riki

Editor : Nina Chairani

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement