Selasa 23 Sep 2014 16:00 WIB

Ledia Hanifa Amaliah: Saat Panggilan Itu Tiba, Semua Terasa Mudah

Red: operator

Di hadapan Ka’bah, air mata Ledia pun bercucuran keluar tanpa bisa dikendalikan.

Berjibaku mengumpulkan tabungan haji harus dilakukan Ledia Hanifa Amaliah dan keluarga. Bersama sang suami, ia mengumpulkan uang untuk ke Tanah Suci. Meski terus manambah tabungan sedikit demi sedikit, jumlahnya belum mencukupi untuk berangkat ke Arab Saudi. Sampai di detik-detik terakhir, rezeki tak terduga datang dan akhirnya ia bisa berangkat.

Untuk menutup kurangnya tabungan, ia rela menjual sepetak tanah. Penjualan itu memang telah direncanakan sejak lama, sayangnya tak pernah kesampaian. Meski ada yang menawar, itu pun dengan harga yang kurang. Hanya pada saat-saat terakhir, sepetak tanah itu dibeli orang dengan harga yang cukup tinggi.

 

 

 

 

 

 

 

 

Foto:Republika/ Tahta Aidilla

Ledia Hanifa Amaliah

Anggota DPR dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) itu bersyukur atas kemudahan yang diberikan Allah SWT. Dengan penjualan tersebut ia bisa berangkat bersama suami dan anak sulungnya, Widad Maulana, yang saat itu baru berusia 13 tahun.

“Alhamdulillah, semua terasa mudah ketika waktunya tiba,” katanya saat ditemui Republika di ruang kerjanya di Kompleks Parlemen beberapa waktu lalu.

Istri Bachtiar Sunasto ini berangkat ke Tanah Suci pertama kali pada 2003. Saat itu ia berusia 34 tahun. Perempuan kelahiran Jakarta, 30 April 1969, ini tak pernah lupa dengan pengalamannya, mulai berjuang mendapatkan uang untuk ongkos haji sampai tiba di Masjidil Haram. Terlebih, saat itu Ledia belum menjadi anggota DPR seperti sekarang.

Ledia berangkat bersama suami dan putra pertamanya dengan menggunakan ONH plus. Biaya melalui program ini memang lebih mahal dari program reguler. Tetapi, untuk bisa berangkat bersama anaknya, cara itu harus dilakukan. Ia ingin anaknya lebih merasa memiliki tanggung jawab dengan Allah pada masa jelang akil baligh.

Waktu itu, biaya untuk berangkat haji dengan ONH plus sekitar 30 ribu dolar AS untuk satu orang. Lantaran uang yang dimiliki tidak banyak dan pas-pasan, ia bahkan sempat menawar. Tak hanya itu, sebelum berangkat, mereka bersepakat untuk tidak boros dan menahan diri dalam membeli sesuatu.

Ia menceritakan, ketika sang anak meminta untuk membeli bakso, ia bersama suami mengingatkan kesepakatan yang dibuat sebelumnya. Harga bakso waktu itu sebesar 25 riyal. Jumlah itu dalam hitungan uang saku mereka sangat besar. Akhirnya, putranya menyadari bahwa itu salah satu bagian dari menahan hawa nafsu. Ia pun hanya membeli kebab yang harganya hanya tiga riyal dengan juz buah satu riyal. “Memang semuanya terbatas,” ujarnya mengenang.

Di hadapan Ka’bah, air mata Ledia pun bercucuran keluar tanpa bisa dikendalikan. Ledia merasa semua sudah tiada, kecuali berhadapan dengan Tuhan. Air mata pun seperti es krim yang meleleh terkena panas. Tak terkendali dan terus keluar dengan sendirinya. Begitu juga ketika wukuf di Arafah. Rasa haru sangat ia rasakan di sana. “Di Ka’bah dan wukuf (di Arafah) luar biasa menangisnya, nggak tau kenapa kok rasanya seperti nggak ada remnya,” katanya memaparkan.

Segala keterbatasan membuatnya belajar untuk menahan hawa nafsu. Ledia mengambil makna dari perjuangannya hingga sampai bisa berangkat haji. Jika manusia ingin mencapai apa yang dicita-citakan, apa pun itu maka harus bisa menahan hawa nafsu.  rep:mas alamil huda ed: a syalaby ichsan

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement