Tak mudah menunaikan ibadah haji setiap tahun walaupun tinggal di Arab Saudi. Baik itu pendatang maupun penduduk asli. Pasalnya, mereka harus mempunyai izin khusus atau tasrih untuk melaksanakan ibadah haji.
Untuk mencegah masuknya jamaah haji tidak resmi, Pemerintah Arab Saudi menempatkan pos penjagaan atau check point di setiap jalan utama menuju Makkah. Jika ditemui ada jamaah calon haji tidak resmi, mereka pasti diberhentikan.
Meskipun demikian tetap saja ada celah bagi penduduk atau mukimin (warga negara Indonesia yang sudah berdiam di Arab Saudi). Salah satunya adalah Aisyah (34), asal Madura, Jawa Timur. Ia telah enam kali naik haji selama 15 tahun bekerja di Arab Saudi. Begitu pula Eman Khorman (35) yang berhaji dengan cara berpetualang.
Foto:PRASETYO UTOMO/ANTARA
Ribuan umat muslim berdoa di Jabal Rahmah, saat wukuf di padang Arafah, Arab Saudi.
Aisyah yang ditemui saat sedang mabit atau bermalam di Mina mengatakan, mukimin yang ingin berhaji harus mempunyai cara-cara khusus. Tahun ini, tidak tanggung-tanggung, rombongan yang bersama Aisyah mencapai 60 orang. Mereka sebagian besar adalah keluarganya yang tinggal di Makkah. Komunitas Madura memang cukup banyak bekerja di Arab Saudi.
Aisyah saat ini sedang bekerja di Jeddah, sekitar satu jam perjalanan darat ke Makkah. ''Kalau kita tidak punya tasrih maka tidak boleh masuk Makkah,'' katanya.
Untuk mengakali masalah izin, Aisyah melaksanakan haji tamattu, yakni melaksanakan umrah wajib dahulu baru berhaji. Pertama, ia berangkat umrah wajib pada saat bulan Ramadhan karena pada waktu itu pemeriksaan belum ketat. ''Kalau sudah mendekati wukuf sangat ketat,'' kata ibu satu anak yang suaminya bekerja di Makkah ini.
Setelah itu, ia kembali bekerja ke Jeddah. Saat mendekati masa wukuf di Arafah, dia lalu membayar kepada agen yang merupakan warga setempat sebesar 1.000 riyal (sekitar Rp 3,2 juta).
Pembayaran senilai itu, Aisyah mengatakan, sudah paket penuh. Ia dijemput ke Jeddah dan dikembalikan lagi ke Jeddah. Ia pun mendapat makan dan tenda (saat di Arafah) serta penginapan di Makkah. Jika tidak paket penuh, menurutnya, pembayarannya bisa lebih murah.
Kebetulan, sopir yang mengangkutnya dari Jeddah adalah orang Arab. Hal itu cukup memudahkannya masuk ke Makkah. Tentu sebagai jamaah haji tidak resmi, dia tidak akan mendapat fasilitas sebagai haji resmi. Haji resmi harus membayar general service fee atau biaya layanan umum guna fasilitas jamaah di Arafah dan Mina, terutama tenda dan transportasi.
Mereka juga diantar ke Arafah. Namun, selama di Padang Arafah saat melakukan wukuf, mereka tidak tinggal di tenda-tenda resmi, melainkan mendirikan tenda sendiri yang dibangun oleh agennya. Agen tersebut juga menyediakan makan selama di Arafah. Maklum saja, karena di Arafah tidak ada penjualan makanan.
Seusai melaksanakan wukuf, mereka kembali menggunakan kendaraan yang disediakan untuk melakukan ritual haji lainnya, yakni mabit (bermalam) di Muzdalifah dan dilanjutkan perjalanan ke Mina pagi harinya.
Lain lagi yang dilakukan Eman Khorman, warga Indonesia yang bekerja sebagai sopir di Madinah selama enam tahun. Tahun ini, ia ingin berhaji untuk pertama kalinya sebelum pulang ke Tanah Air.
Karena gajinya yang kurang memadai maka ia berhaji dengan cara murah. Ia cukup membayar 500 riyal saja ke sopir taksi Arab Saudi. Namun, tentu perjalanannya cukup sulit.
Saat mendekati pos pemeriksaan, Eman bersama teman-temannya turun dari kendaraan. Petualangan pun dimulai. Sang sopir langsung meneruskan perjalanan, sementara Eman dan kawan-kawannya jalan melalui gunung yang tentu tidak mudah.
Setelah menempuh perjalanan sekitar empat kilometer, mereka bertemu kembali dengan sopir taksi untuk meneruskan perjalanan. Dan pembayaran baru dilakukan setelah mendekati Masjidil Haram. Namun untuk pilihan murah itu mereka harus berhati-hati karena jika tertangkap maka risikonya akan dideportasi. antara ed: andi nur aminah