Senin 08 Sep 2014 12:00 WIB

Kegelisahan Dibalik Gugatan

Red:

Baru-baru ini, publik digegerkan dengan tingkah empat alumni dan seorang mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Indonesia (UI) yang mengajukan uji materi UU No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan ke Mahkamah Konstitusi (MK). Kelimanya adalah Damian Agata Yuvens, Anbar Jayadi, Lutfi Saputra, Rangga Sujud Widigda, dan Varida Megawati Simarmata.

Mereka mempersoalkan Pasal 2 Ayat 1 undang-undang tersebut. Pasal itu berbunyi "Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu". Sejumlah pihak ramai-ramai menolak gugatan tersebut. Apa alasan para mahasiswa menggugat?

"Di pasal ini, norma hukum memberikan ruang kepada setiap orang untuk menentukan perkawinan yang sah seperti apa. Nah,   implikasinya perkawinan beda agama jadi enggak jelas statusnya," kata Damian Agata Yuvens (24), salah satu pemohon uji materi tersebut, kepada Republika, Sabtu (6/9).

Alumnus FH UI Jurusan Hukum Transaksional Angkatan 2008 tersebut mengaku, awalnya dia melihat banyaknya permasalahan sosial persoalan menikah beda agama. Teman-temannya banyak yang mengeluhkan peraturan perundang-undangan yang tidak mengakomodasi pernikahan beda agama.

Kelima penggugat, sejauh ini belum menikah dan tidak memiliki pengalaman menjalin hubungan dengan pasangan berbeda agama. Tapi, mereka memandang ada permasalahan sosial, sehingga merasa perlu ada peraturan yang diubah.

Ide mengajukan gugatan muncul saat Damian bersama empat temannya mengkaji Pasal 2 Ayat 1 UU No 1 Tahun 1974 tersebut. Dia melihat, pasal itu tidak membicarakan tentang pernikahan beda agama. Pasal tersebut juga menjadi persoalan jika ada perkawinan satu agama, tapi beda aliran.

Damian menilai, dalam ranah hukum, khususnya hukum perkawinan, tugas negara dikembalikan hanya untuk mencatat. Sedangkan, persoalan agama tergantung dari pihak yang bersangkutan. "Kami tetap percaya perkawinan harus tetap mengandung aspek religius. Tapi, tindakan negara tinggal mencatat tidak perlu menilai apakah ini sah menurut aparaturnya," kata Damian.

Dalam sidang perdana pada Kamis (4/9), MK masih memberikan masukan perbaikan dokumen, terutama soal legal standing pengajuan uji materi tersebut. MK mensyaratkan ada kerugian dari pemohon, sehingga mengajukan uji materi. Tapi, MK juga mempertimbangkan orang-orang yang memiliki kerugian potensial.

Tidak hanya diskusi dengan teman sekampus dan dosen, Damian juga berdiskusi dengan orang tuanya. Menurutnya, orang tua mendukung pengajuan uji materi undang-undang tersebut.

Pakar hukum dari Universitas Katolik Parahyangan Bandung Asep Warlan Yusuf mengatakan gugatan tentang UU Perkawinan tidak sejalan dengan prinsip Ketuhanan Yang Maha Esa yang menjadi salah satu dasar negara ini. "Jika permohonan uji materi tersebut dikabulkan MK maka itu sama saja artinya negara tidak lagi menjamin warganya untuk menjalankan hukum agama yang  mereka anut," kata Asep Warlan Yusuf.

Asep menuturkan, Indonesia memang bukanlah negara agama. Tapi, ada beberapa aspek yang mendasari sistem hukum yang diterapkan di negara ini. Salah satunya adalah kesadaran masyarakat untuk menjalankan hukum agamanya masing-masing, termasuk di dalamnya masalah pernikahan. rep:c87/ahmad islamy jamil ed: fitriyan zamzami

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement