Bantuan air bersih tak bisa mencapai seluruh wilayah terdampak kekeringan.
WONOGIRI -Krisis air yang menimpa sejumlah daerah juga menggerogoti kas daerah. Bupati Wonogiri Danar Rahmanto pesimistis kemampuan keuangan daerah mampu mengatasi bencana kekeringan untuk jangka panjang.
"Anggaran APBD kita tidak mampu untuk memberikan solusi permanen atau jangka panjang, yakni pemanfaatan salah satu sumber air bersih untuk memenuhi kebutuhan masyarakat saat musim kemarau,''kata Danar, Jumat (26/9).
Pada musim kemarau ini, kekeringan melanda Kabupaten Wonogiri bagian selatan, khususnya di wilayah tujuh kecamatan. Di antaranya Paranggupito, Pracimantoro, Giritontro, Giriwoyo, Manyaran, Eromoko, dan Nguntoronadi.Dari tujuh kecamatan itu, yang paling parah dilanda kekeringan adalah Paranggupito, Giritontro, dan Pracimantoro. Kegiatan dropping air bersih saat ini setiap harinya ratarata 400 tangki ukuran 5.000 liter.
Sejauh ini, Pemkab Wonogiri menyiapkan dana senilai Rp 200 juta guna mengatasi kekeringan tahun ini.Dana itu akan disalurkan untuk peng adaan seribu tangki air bersih melalui BPBD (Badan Penanggulangan Bencana Daerah) Wonogiri, Dinas Sosial (Dinsos) Wonogiri, atau pemangku kepentingan lain. Dana tersebut masih utuh karena selama ini bantuan di tujuh kecamatan itu baru dari pihak swasta dan perseorangan.
Kendati demikian, Danar menegas kan, bantuan dropping air bersih ini bukan salah satu solusi dalam mengatasi kekeringan yang datang tiap tahun. `'Sebenarnya, saya tidak ingin masyarakat Wonogiri ini seakan-akan meminta-minta bantuan di saat musim kekeringan seperti ini.
Tapi, bagaimana lagi, anggaran kita tidak mampu untuk memberikan solusi permanen atau jangka panjang untuk pemanfaatan salah satu sumber air bersih,'' kata bupati.
Danar berharap, ada kerja sama dari pihak pemerintah provinsi ataupun pusat untuk duduk bersama dalam memecahkan kekeringan yang rutin melanda Wonogiri Selatan ini secara tuntas.
Pemerintah Kabupaten Purba ling ga melalui BPBD juga terus menyalurkan bantuan pasokan air ke wilayahwilayah yang mengalami dampak kekeringan.
Ke pala Harian BPBD Purbalingga, Priyo Satmoko, menyebutkan hing ga saat pihaknya sudah melakukan dropping air bersih sebanyak 268 tangki.
Namun, pasokan itu tetap tidak bisa memenuhi kebutuhan air bersih di daerah-daerah yang mengalami kekeringan. Warga yang berada di Dusun Bambangan, Desa Kutabawa, Kecamatan Karangreja, misalnya, terpaksa membeli air bersih untuk kebutuhan rumah tangga.
Kepala Bidang Humas BNPB Sutopo Purwo Nugroho mengatakan, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) telah menyiapkan dana sebesar Rp 50 miliar untuk membantu sembilan pemerintah provinsi untuk mengatasi kekeringan.
Kendati demikian, menurut Sutopo, hal itu bukan solusi permanen.
Ia menegaskan, untuk menge nyahkan kekeringan, perlu upaya menyeluruh dan komitmen politik yang kuat. rep:Edy Setyoko/Eko Widiyatno/c91, ed: fitriyan zamzami
Total Bantuan Dana dari Pusat : Rp 50 miliar
Daerah Penerima Dana: Jawa Barat, Jawa Tengah, Yogyakarta, Jawa Timur, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur
Lampung, Sumatra Selatan, Sulawesi Utara,
Sumber: BNPB
Sapi Makan Sapi
Memasuki musim kemarau, istilah "sapi makan sapi"familier di antara kalangan masyarakat kaki lereng Gunung Merapi-Gunung Merbabu. Persisnya, di wilayah Kecamatan Musuk dan Kecamatan Cepogo, Kabupaten Boyolali, Jateng.
Dampak musim kemarau puncak mendera warga yang tinggal di sana. Bencana krisis air bersih terjadi sepanjang tahun. Hingga kini, persoalan itu belum juga terpecahkan. Tak jarang, warga mesti merogoh kocek cukup mahal untuk membeli air bersih dari jasa bisnis pihak swasta.
Mengingat mahalnya harga air, tidak sedikit di antara petani yang terpaksa menjual sapi untuk membeli air. `'Jadi, biasa ada istilah `sapi makan sapi'. Artinya, orang menjual sapi untuk membeli air untuk minum sapi,'' kata Suharno (50) warga Musuk, Boyolali, kepada Republika, Jumat (26/9).
Istilah ini muncul lantaran warga terpaksa menjual hewan ternak sapi untuk membeli air. Padahal, kebutuhan air paling besar justru untuk minum ternak sapi mereka. Kadang, orang mengalah tidak mandi demi untuk memberi minum ternaknya.`'Orang berani menjual ternak untuk membeli air seperti ini, namanya sudah kepepet. Terpaksa.
Ini karena tidak ada lagi persediaan air bersih, terpaksa menjual sapi untuk membeli air bersih dari swasta. Airnya, ya untuk minum sapi juga,'' tambah Tukiman (56), peternak sapi dari Desa Lanjaran, Kecamatan Musuk, Boyolali.
Fenomena "sapi minum sapi" di iyakan Kepala Desa Lanjaran, Kecamatan Musuk, Kabupaten Boyolali, Sudarto (52). Bencana kekeringan di wilayah desanya, menurut dia, sudah sangat parah. Tandon air warga rata-rata sudah habis sejak beberapa bulan lalu. Guna men cukupi kebutuhan air bersih, warga terpaksa harus membeli dari pihak swasta.
Harga air bersih setiap tangki ka pasitas 6.000 liter di desa ini mencapai Rp 130 ribu. Satu tangki air bersih cukup untuk satu pekan saja. Air bersih selain untuk kebutuhan memasak, mencuci, dan man di, sebagian besar juga untuk memberi minum ternak sapi.
Harga air tergantung lokasi warga pemesan air. Bila lokasinya jauh dan sulit dijangkau kendaraan truk, harganya mencapai Rp 150 ribu. Dan untuk mendapatkan pesanan air, warga harus mengantre panjang. Satu pekan belum tentu mendapat giliran jatah.Menurut Sudarto, warga di Lanjaran jarang mendapat bantuan dropping air bersih.
rep:edy setiyoko ed: fitriyan zamzami