JAKARTA — Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) menyatakan penolakan legalisasi pernikahan beda agama dalam sidang lanjutan uji materi UU Perkawinan di Mahkamah Konstitusi (MK). Menurut ajaran Hindu yang dianut di Indonesia, pernikahan antara pasangan suami istri berbeda agama tidak sah dan selamanya dianggap melakukan zina.
"Perkawinan beda agama menurut ajaran Hindu dinyatakan tidak dapat disahkan. Bila hal itu dilakukan, dianggap tidak sah dan selamanya dianggap melakukan zina," kata anggota Dewan Pakar PHDI, I Nengah Dana, saat memberikan keterangan dalam sidang perkara pengujian Pasal 2 Ayat 1 UU Perkawinan di MK, Jakarta, Senin (24/11).
Dalam sidang yang dipimpin Hakim Arief Hidayat itu, I Nengah menjelaskan bahwa perkawinan merupakan bentuk kewajiban dan pengabdian kepada Tuhan. Karena itu, kehidupan berumah tangga harus dijalankan melalui proses keagamaan yang sakral.
UU Perkawinan, menurutnya, memuat persyaratan perkawinan hampir sama dengan ajaran Hindu. "PHDI sebagai majelis tertinggi umat Hindu tetap menginginkan pasal itu ada," ujarnya.
Dalam ajaran Hindu yang dianut di India, menurutnya, hanya yang keyakinannya serumpun boleh menikah. Misalnya, pernikahan antara mereka yang beragama Hindu dengan penganut aliran Sikh.
UU Perkawinan ini digugat oleh empat orang warga Indonesia atas nama Damian Agata Yuvens, Rangga Sujud Widigda, Luthfi Saputra, dan Anbar Jayadi. Mereka memohonkan Pasal 2 Ayat 1 UU Perkawinan yang menyatakan "Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaan itu" dibatalkan.
Pemohon mengatakan bahwa pengaturan perkawinan sebagaimana yang tercantum dalam aturan tersebut akan berimplikasi pada tidak sahnya perkawinan yang dilakukan di luar hukum agama dan kepercayaan masing-masing. Pengaturan itu dinilai menyebabkan ketidakpastian hukum bagi orang-orang yang hendak melakukan perkawinan di Indonesia.
Di lain pihak, Konferensi Waligereja Indonesia (KWI) menyatakan, pernikahan antara dua orang yang berbeda agama harusnya tidak dipersulit. Penanggung Jawab Pastoral Perkawinan KWI, Romo Purbo Tamtomo, dalam sidang menilai Pasal 2 Ayat 1 UU Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 mengalami kecacatan hukum. Karena, isi dan rumusan yang menyebutkan perkawinan dilakukan menurut hukum agama dan kepercayaan masing-masing diartikan secara de facto dengan pembatasan jumlah agama dan kepercayaan.
Menurutnya, tak jarang salah satu pihak baik suami atau istri terpaksa harus berpindah keyakinan hanya untuk mendapatkan pengakuan secara administratif dari negara.
"Menurut kami, siapa pun juga tidak boleh memaksakan seseorang untuk pindah agama," katanya.
Wakil Ketua Umum Majelis Tinggi Agama Khonghucu Indonesia (Matakin) Uung Sendana yang juga bersaksi di persidangan mengatakan, Konghucu tidak menghalangi pernikahan antara pasangan beda agama. Namun, saat pernikahan itu terjadi, Konghucu tidak bisa mengeluarkan Li Yen atau surat pemberkatan.
"Kami tidak akan me-Li Yen karena dalam upacara agama Konghucu itu kan mesti ada pengakuan menjadi umat. Tapi, kami tidak menghalangi mereka menikah," ujar Uung.
Penganut Konghucu yang menikah dengan pasangan berbeda keyakinan, menurutnya, tetap bisa menjalankan upacara agama. Namun, mereka tidak mendapatkan surat pemberkatan resmi. "Kami restui, tapi kami tak keluarkan surat Li Yen. Kami kasih surat keterangan mereka sudah nikah saja," katanya.
***
BEDA SIKAP DI SIDANG:
PBNU (Islam): Nikah harus sesuai ajaran agama.
Walubi (Buddha): Pernikahan diusahakan seiman.
PGI (Protestan): Memperbolehkan nikah beda agama.
PHDI (Hindu): Nikah beda agama sama dengan berzina.
KWI (Katolik): Nikah beda agama jangan dipersulit.
Matakin (Konhucu): Tak menghalangi nikah beda agama.
Sumber: Pusat Data Republika. rep: ira sasmita ed: fitriyan zamzami