Sabtu 07 Jan 2017 16:00 WIB

Nostalgia Suburnya Nusantara

Red:

Gedung tua berwarna putih di Jalan Brigjen Katamso Nomor 53, Medan, Sumatra Utara itu tampak berdiri kokoh dan terawat. Gedung itu peninggalan Belanda. Salah satu gedung milik Pusat Penelitian Kelapa Sawit (PPKS) itu sekarang berubah fungsi menjadi Museum Perkebunan Indonesia.

Tadinya, bangunan peruntukan museum tersebut, sejak 1926 adalah "Administrateur huis" (rumah administratur) perkebunan. V Ris, pimpinan pertama "Algemenee vereniging van Rubberplanters ter Ooskust van Sumatera" atau Perhimpunan Pengusaha Perkebunan karet di Pantai Timur Sumatra, bermukim di situ bersama keluarga dan para pembantunya.

Pemerintah Orde Lama kemudian menasionalisasi gedung dan perusahaannya pada 1958. Namanya pun berganti menjadi Pusat Penelitian Kelapa Sawit.

Gagasan pendirian museum perkebunan berawal dari perhelatan peringatan Hari Perkebunan ke-55 atau pada 2010 di Universitas Sumatra Utara. Gagasan muncul karena ketiadaan monumen perkebunan di Sumatra Utara yang menjadi sentra awal mula perkebunan komersial di Indonesia.

"Karena itu, peresmian Museum Perkebunan Indonesia pada 10 Desember 2016 menjadi pamungkas pendirian museum sekaligus menjadi awal penataan museum di masa yang akan datang," kata Ketua Dewan Pendiri Museum Perkebunan Indonesia (Musperin), Soedjai Kartasasmita, saat diwawancara Antara, Kamis (5/1).

Sumatra Timur (sekarang Sumatra Utara) adalah pusat perkebunan komersial pertama di Indonesia. Komersialisasi ini dirintis oleh seorang warga negara Belanda Nienhuijs sejak tanggal 17 Juli 1863.

Pada perjalanannnya, perkebunan tersebut terus berkembang dan mencakup hampir seluruh pesisir timur Sumatra Utara, mulai dari Langkat hingga Labuhanbatu.

Mengunjungi museum ini, pengunjung akan melihat bagaimana subur dan kayanya keragaman hayati bumi dan tanah Indonesia. Pengunjung juga bisa mempelajari kedatangan awal bangsa asing ke Nusantara yang berkaitan dengan perburuan hasil bumi. Perburuan ini dilanjutkan dengan penjajahan, penguasaan, dan pengembangan tanaman berbagai komoditas. Sampai dengan pengelolaan oleh bangsa Indonesia pascaproklamasi kemerdekaan dan pengambilalihan di tahun 1959.

Tata pameran tetap di museum itu terdiri atas di dalam gedung (indoor) dan di luar gedung (outdoor). Untuk pameran di dalam gedung, Museum Perkebunan Indonesia tersebut memiliki dua lantai.

Lantai pertama didesain dengan grafis konteks kekinian perkebunan, sementara lantai dua menyajikan koleksi berupa artefak perkebunan dari masa lampau hinga saat kini.

Di museum tersebut pengunjung bisa membaca dan mempelajari sejarah perkembangan perkebunan kelapa sawit, kopi, teh, tembakau, karet, dan tebu yang tersebar di berbagai daerah di Indonesia. Juga bisa membaca keberadaan Pusat Penelitian Kelapa Sawit (PPKS), Pusat Penelitian Perkebunan Gula Indonesia (P3GI), serta Pusat Penelitian Karet (PPK).

Pengunjung bisa juga menikmati "trick eye", yaitu suatu fasilitas pelengkap museum yang bersifat edutainment dalam bentuk ilusi mata sensasi foto tiga dimensi.

Sementara koleksi yang ditampilkan di luar gedung berupa pesawat terbang dan lokomotif. Pesawat terbang yang ditampilkan adalah Piper Pawnee produksi tahun 1958 milik PTPN II yang digunakan selama 49 tahun sebagai penyemprot hama tanaman tembakau sampai tahun 2007.

Juga ada lokomotif Ducro and Brauns buatan Belanda produksi tahun 1940 yang terakhir dioperasikan oleh PTPN IV pada Mei 1996. Lokomotif tersebut saat berfungsi bertugas mengangkut berbagai hasil perkebunan.

Koleksi lain adalah montik atau kepala kereta buatan Scoma di Jerman. Lori itu digunakan untuk mengangkut sawit hingga kapasitas 50 ton yang digunakan oleh PT Socfin Indonesia untuk mengangkut buah kelapa sawit di perkebunan Aek Loba mulai 1982 hingga 2015.      antara, ed: Stevy Maradona

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement