Buat Ahmad Dasuqy (28 tahun), menikahkan pasangan merupakan pengabdian. Kepala Kantor Urusan Agama (KUA) Kecamatan Marikit, Kabupaten Katingan, Kalimantan Tengah, ini harus menikahkan pasangan di daerah terpencil yang memakan waktu dan biaya. Saking jauhnya, ia sempat melakukan perjalanan dua hari dua malam untuk menjangkau satu tempat hajatan pernikahan.
"Kalau ada tugas menikahkan pengantin, saya harus berangkat pagi-pagi sekali, bahkan sering menginap di rumah keluarga pengantin karena kalau pulang saat itu juga keburu kemalaman," ujar nya melalui sambungan telepon kepada Republika.
Foto:ANTARA
Meski telah diberlakukan kebijakan pemerintah bahwa menikah di dalam KUA gratis, lanjut dia, masyarakat Mus lim setempat lebih memilih memanggil penghulu dan mengadakan hajatan di rumahnya masing-masing. Selain akses yang sulit, masyarakat masih beranggapan orang-orang yang menikah di KUA adalah mereka yang menikah karena "kecelakaan" dan itu merupakan suatu aib. Maka, mau tak mau dialah yang menghampiri pengantin ke rumah.
"Padahal, saya berharap balai nikah yang ada di KUA bisa dimaksimalkan penggunaannya," ujarnya. Ia bercerita, suatu ketika ada undangan untuk menikahkan calon pengantin yang merupakan mualaf dari suku Dayak. Jadwal telah ditetapkan pada sore hari. Pada hari H, ia bersiap berangkat pagi-pagi sekali, sekitar pukul 07.00.
Dari kantor, Dasuqy berangkat me nuju tepi anak Sungai Katingan, berniat menjangkau lokasi hajatan dengan menyeberangi Sungai Katingan dengan menyewa perahu bermotor. Selama se kitar sembilan jam ia menempuh perjalanan air. Bahaya arus sungai dan benturan bebatuan sudah jadi makanan sehari-hari. Ia telah terbiasa meski bahaya kematian selalu menyapa.
Ongkos yang ia keluarkan disesuaikan dengan "nego" antara dia dan pengemudi. "Makanya, harganya jadi tidak tentu, kadang mahal, kadang juga sedangse dang saja," tuturnya. Ia menyebut, ongkos naik perahu sekitar Rp 1,1 juta. Uang ongkos ia peroleh dari dana operasional KUA yang terkadang kurang. Ma kanya, ia kerap me nombok dari saku pri badi sekitar Rp 500 ribu sekali meni kahkan.
Tak ada angkot, ojek, maupun kendaraan umum lainnya. Dia melalui jalan setapak yang terjal jika kemarau dan berlumpur jika hujan. Maka, sesampainya di tepian, ia harus berjalan kaki sekitar satu kilometer untuk menjangkau rumah pengantin yang berlokasi di daerah bernama Batu Panahan, Keca matan Marikit.
Kejadian tersebut tak berlangsung sekali atau dua kali. Risiko bertugas di pedalaman harus dia tempuh dengan tabah. Untungnya, Dasuqy memang doyan traveling. Dia pun menikmati perjalanan meski harus nombok. "Memang sesekali sering merasa sulit, tapi semua harus dijalani," tuturnya.
Suguhan keluarga pengantin ketika usai menikahkan tergolong sederhana. Dia hanya menikmati singkong rebus dan se gelas teh panas. Hidangan itu terasa nik mat karena semangat kebersamaan dan toleransi yang dipancarkan. Ia pun ber harap, pemerintah memperhatikan ke beradaan penghulu-penghulu di pedalam an yang mengalami situasi serupa dirinya.
Salah satu caranya dengan menuntaskan pencairan dana tunjangan untuk penghulu. Ia berharap, secarik keadilan pun berlaku bagi penghulu di pedalaman. Agar penghulu dalam menjalankan tugasnya tak lagi mengalami kendala. rep:c78 ed: a syalaby ichsan