Tajikistan merupakan salah satu dari lima negara Asia Tengah yang sebelumnya berada di ba wah kekuasaan Uni Soviet. Republik ini berbatasan dengan Afghanistan di selatan, Republik Rakyat Tiongkok di timur, Kirgistan di utara, dan Uzbekistan di barat.
Data menunjukkan, Muslim merupakan kelompok mayoritas di republik yang mer de ka pada 1991 itu. Persentasenya 90 persen dari keseluruhan populasi yang berjumlah 7,2 juta orang. Survei juga menunjukkan, terdapat 249 masjid dan 18 lembaga pendidikan Islam.
Meski Muslim merupakan mayoritas, Tajikistan bukanlah negara Islam. Tajikistan merupakan negara sekuler dengan jaminan kebebasan beragama dalam konstitusinya. Sebagai negara sekuler, penguasa Tajikistan kerap berlaku "paranoid" terhadap Islam. Salah satunya melarang penggunaan jilbab di lembaga-lembaga pendidikan seperti se kolah atau kampus.
Sebagian besar penduduk Tajikistan beretnis Tajik yang berbahasa Persia. Negeri ini memang berbagi sejarah, bahasa, dan budaya dengan Iran dan Afghanistan. Tajik membentuk sekitar 62 persen dari populasi Tajikistan. Kaum minoritas terbesar adalah Uzbek yang berasal dari negara tetangga, Uzbekistan. Jumlahnya sekitar 24 persen.
Ada pula penduduk yang beretnis Rusia, sekitar delapan persen dari total populasi. Etnis Tajik dan Uzbek beragama Islam, sedangkan etnis Rusia menganut Kristen Ortodoks. Selain di Tajikistan, orang-orang Tajik juga tinggal di Afghanistan bagian selatan.
Sejarah mencatat, Tajikistan pernah menjadi bagian Kekaisaran Samanid, sebe lum menjadi bagian dari Uni Soviet pada abad ke-20 dengan nama Republik Sosialis Soviet Tajikistan. Dushanbe adalah ibu kota dan kota terbesar Tajikistan dengan populasi sekitar 600 ribu penduduk.
Tajikistan berlokasi di Asia Tengah, sebuah kawasan yang menjadi tempat lahir nya orang-orang terkenal dalam peradaban Islam. Adalah Uni Soviet yang membidani lahirnya lima republik di kawasan ini yang semua namanya berakhirnya "stan" (dalam bahasa Persia berarti "tanah"), yakni Tajikistan, Kirgistan, Kazakh stan, Uz bekistan, dan Turk me nistan.
Islam versus sekularisme
Selama 20 tahun terak hir, setelah runtuhnya Uni So viet, negeri yang masih belia ini mengalami proses interaksi yang unik sekaligus rumit antara rezim penguasa yang berpaham sekuler de ngan kekuatan politik ko munitas Muslim. Sebagian besar penduduk Tajikistan adalah Muslim Sunni.
Sejarah mencatat, pa sukan Muslim menaklukkan kawasan tersebut pada 644 M. Selanjutnya, proses pe nyebaran Islam di wilayah itu harus melalui jalan yang terjal dan waktu yang lama. Selama beberapa abad, Ke kaisaran Samanid menguasai wilayah ini, menggantikan penguasa sebelumnya, yakni kaum Muslim Arab.
Di bawah Samanid, Kota Samarkand dan Bukhara ditata kembali menjadi lebih besar dan megah. Dua kota ini menjelma menjadi pusat kebudayaan bagi Muslim Sunni yang berbahasa Persia.
Pada masa itu, kunci penyebaran dan pengembangan budaya Islam dimainkan oleh tarekat sufi. Tarekat yang terbesar dan terkenal sampai saat ini adalah Naq sa ban diyah, Kubrawiyah, Qadiriyah, dan Yasa wiyah. Ada juga komunitas Ismailiyah yang tinggal di wilayah pegunungan terpencil. Saat ini, jumlah penganut tarekat Ismailiyah di Tajikistan mencapai 200 ribu orang atau sekitar tiga persen dari total penduduk.
Pada abad ke-19, Tajikistan masuk dalam wilayah Kekaisaran Rusia. Kemu dian, Tajikistan tergelincir ke dalam ceng keraman negara komunis Uni Soviet, me nyusul pecahnya revolusi sosialis 1917.
Selama periode Soviet, Tajikistan meng alami masa-masa suram. Kebudayaan dan peradabannya nyaris hancur. Begitu pula umat Islam hidup sengsara akibat penindasan rezim komunis. Kala itu, penguasa komunis menciptakan kaum elite baru yang sekuler dan ateis untuk memusuhi Islam.
Uniknya, justru pada periode Soviet lah Islam menancapkan pengaruh yang kuat dan dalam terhadap masyarakat Tajikistan. Hal itulah yang menjelaskan mengapa satusatunya partai Islam yang legal di bekas wilayah Soviet ada di Tajikistan. Partai yang lahir setelah ambruknya Soviet pada 1991 itu adalah Partai Kebangkitan Islam (PIR).
Setelah Tajikistan menjadi negara merdeka, terjadi pergulatan sengit untuk meraih kekuasaan, yang akhirnya meng obar kan perang saudara. Sebagaimana umum nya perang saudara, konflik ini melibatkan kelompok berbeda yang masih satu bangsa (bangsa Tajik), yakni pendukung pemerintahan sekuler di satu sisi dan pendukung Serikat Oposisi Tajik (UTO) di sisi yang lain. UTO terdiri dari sejumlah kelompok yang menjadi oposisi bagi pemerintahan. Kelompok-kelompok itu antara lain kelompok nasional demokrat dan kelompok Islam.
Namun, kelompok terkuat dalam UTO adalah Islam, dipimpin oleh PIR. Pada masa itu, pemimpin PIR yakni Said Abdullo Nuri. Ia adalah pemimpin oposisi dan agama yang paling berpengaruh bagi bangsaTajik. Pengaruh partai Islam dalam konflik ini amat kuat, bahkan umat Islam dikenal sebagai pejuang paling tangguh selama masa perang. Perang sau dara terus berkobar hingga 1997 dan menewaskan se ba nyak 80-150 ribu orang.
Lima tahun berjibaku dalam perang saudara yang menghancurleburkan banyak hal, pihak-pihak yang terlibat konflik ak hir nya duduk bersama di meja perundingan. Dalam upaya perdamaian itu, peran kun ci mediasi dimainkan oleh Rusia. Namun karena ta jam nya konflik yang ter jadi, Kremlin baru bisa memulai proses negosiasi setelah upaya kesembilan. Hasil utama dari perjanjian itu adalah pihakpihak yang terlibat konflik sepakat membentuk Ko mite Rekonsiliasi Nasional (NRC).
Komite tersebut didi rikan pada 1997. Ber da sar kan perjanjian damai itu, oposisi mendapatkan 30 persen posisi dalam struk tur pemerintahan dan 25 persen posisi di Komisi Pe milihan Pusat. ¦ mg03 ed: wachidah handasah
***
Tak Mudah Menekan Islam
Buah dari perjanjian damai itu, selama beberapa tahun Tajikistan menjadi negara paling demokratis di Asia Tengah. Komunitas Muslim dan partai-par tai Islam mendapat kebebasan yang luas untuk melaksanakan kegiatan me reka.
Namun, beberapa tahun kemudian, kebijakan pemerintah terhadap Islam mulai berubah secara dramatis. Pada awal tahun 2000-an, pemerintah melarang pe muda Muslim yang berumur di bawah 18 tahun untuk mengunjungi masjid. Perem puan-perempuan juga dilarang mengenakan hijab di beberapa area. Mahasiswa Muslim juga dilarang meneruskan pendidikan Islam di negara-negara Arab. Pada saat yang sama, pemerintah juga melarang organisasi Islam internasional beraktivitas di Tajikistan.
Bahkan, rezim yang berkuasa secara te rang-terangan melancarkan kampanye anti-PIR. Mereka berusaha melabeli PIR sebagai kelompok ekstremis. Di beberapa distrik, otoritas setempat menutup masjid yang dikendalikan PIR dan mengubahnya menjadi klub serta tempat minum teh.
Namun, bukan hal mudah untuk memberangus Islam. Para pengamat Islam yakin, pemerintah akan gagal mengurangi pe ngaruh Islam dalam kehidupan penduduk Tajikistan. "Yang terjadi justru bisa hal yang sebaliknya," kata analis politik, Izzat Aman.
Menurut dia, generasi baru Muslim Tajik sangat religius dan militan. "Mereka tidak mau menonton saja kebijakan yang menekan Islam ini," katanya.
Layak untuk dicatat, pemerintah Taji kistan sangat menyadari potensi masya rakat Muslim. Dalam beberapa kasus, terlihat pemerintah mencoba menggunakan potensi ini sebagai alat politik untuk ke pentingan mereka sendiri. Sebagai contoh, Presiden Rahmanov menyebut kebijakan pembatasan terhadap aktivitas Muslim sebagai bentuk "kepedulian terhadap kemurnian tradisi untuk Mazhab Hanafi Tajikistan."
Belakangan terbukti, upaya keras pe me rintah untuk membatasi aktivitas umat Is lam tidak sukses. Bukan hanya karena se jarah negeri itu, tetapi juga karena peran dan potensi masyarakat Islam di seluruh dunia yang terus tumbuh. Tajikistan dan komunitas Muslim Tajik dengan potensi politiknya yang terus tumbuh menunjukkan betapa dalam dan kuatnya pengaruh Islam dalam kehidupan masyarakat tradisional Muslim di Asia Tengah. mg03 ed: Wachidah Handasah