Intelektual Muslim dinilai telah mengalami perubahan orientasi. Tak seperti pada era Orde Baru (Orba), khususnya dekade 1970-an hingga 1980-an, intelektual masa kini tak dapat dilihat peran dan kiprahnya secara konkret.
"Karena stabilitas politik tidak ada masalah, secara ideologis juga tidak ada gejolak, kemudian secara profesional mereka sudah masuk struktur-struktur profesional yang sudah jelas, akhirnya yang disebut sebagai intelektual Muslim sekarang ini tidak mempunyai gaung dan peran yang begitu konkret," ujar peneliti pendidikan Islam dan demokrasi, Khoirun Niam, dalam makalahnya yang disampaikan pada "International Conference on Education in Muslim Society" di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, belum lama ini.
Dosen Fakultas Tarbiyah UIN Sunan Ampel Surabaya ini menjelaskan, pada masa Orba, kaum intelektual ditekan oleh kondisi pembungkaman suara-suara demokrasi. Peran kaum Muslimin pun mengalami marginalisasi, baik dalam ranah pemerintahan maupun politik.
"Kondisi tersebut memunculkan daya dorong pada masyarakat yang sudah terdidik dan sadar akan peran serta fungsinya dalam menyuarakan aspirasi," katanya.
Sebaliknya, tekanan tersebut tak terjadi pada saat ini. Kondisi ini bisa dilihat sebagai sisi positif dari perkembangan demokrasi. Namun, di sisi lain, ada tantangan yang harus dihadapi para intelektual. Kondisi ini memaksa orientasi intelektualisme masuk kepada wilayah-wilayah yang bersifat praktis dalam kehidupan masyarakat.
Kini, para intelektual semakin disibukkan dengan aktivitas akademis yang menjadi ukuran keberhasilan dalam menempuh pembelajaran. Padahal, Khoirun menilai, pendidikan pada dasarnya tidak hanya berupa pengetahuan kognitif dan nilai-nilai di atas kertas. "Akan tetapi, pendidikan adalah pendewasaan yang kritis terhadap realitas sosial serta peka terhadap permasalahan-permasalahan konkret," katanya.
Jika dilihat dari perspektif lembaga pendidikan Islam sebagai pencetak intelektual, menurut lulusan Freie Universitat, Berlin, Jerman, ini, kelembagaan pendidikan Islam sekarang ini terlalu "terninabobokkan" oleh tugas-tugas akademis. Banyak lembaga di kampus-kampus yang memberikan kemudahan begitu luas dalam pendidikan. Alhasil, kata dia, wilayah daya dorong dan kepekaan mahasiswa untuk bisa menyuarakan sesuatu yang timpang akhirnya menjadi agak sempit.
"Ini menjadi suatu tantangan untuk memunculkan sosok kritis terhadap dinamika sosial yang terjadi. Tantangan-tantangan itu harus dihadapi oleh dunia mahasiswa dan dunia akademis sekarang. Orientasinya sekarang mengisi, bukan lagi merebut ataupun memperluas," ujar Khoirun.
Menurut Khoirun, pembuat kebijakan di wilayah akademis memiliki peran yang sangat besar dalam menjaga sikap kritis para intelektual Muslim. Sebagai contoh, pada pendidikan dengan sistem asrama yang cenderung "memaksa" mahasiswa menghabiskan waktu sepanjang hari di asrama maka pembuat kebijakan harus memberi ruang terhadap aktivitas di luar asrama.
Pada saat yang sama, mahasiswa juga perlu menyiasati sistem yang kaku ini dengan mencari celah untuk mempelajari aspek-aspek di luar aktivitas akademis. Kritis, menurut Khoirun, bisa dimulai dari diskusi-diskusi dan pencermatan terhadap aspek di luar kurikulum.
Cendekiawan Muslim, Prof Didin Hafidhuddin, punya pendapat lain. Menurut dia, banyak juga intelektual Muslim sekarang yang memiliki kepekaan sosial dan berpikir kritis. "Mereka juga melakukan pengabdian kepada masyarakat," ujar guru besar Institut Pertanian Bogor ini.
Tak seperti pada masa Orba, lanjut Didin, intelektual Muslim saat ini lebih fokus pada aspek sosial dan pemberdayaan masyarakat. Pada masa Orba, meski berada di bawah pemerintahan yang otoriter, kesejahteraan masyarakat lebih baik. Karena itu, intelektual Muslim lebih fokus mengkritisi kebijakan-kebijakan pemerintah yang sifatnya mengekang.
Sementara, saat ini, kata Didin, permasalahan nyata yang dihadapi masyarakat adalah soal kemiskinan. Kendati pemerintahan cenderung longgar, banyak masyarakat yang kurang sejahtera.
"Sehingga, banyak intelektual Muslim yang melakukan kegiatan-kegiatan untuk masyarakat kecil," kata mantan ketua umum Badan Amil Zakat Nasional (Baznas) ini.
Ia pun memberi contoh, yakni upaya dalam membangun masyarakat ekonomi syariah. "Ini bukan semata gerakan praktisi perbankan, melainkan gerakan intelektual Muslim Indonesia yang mempunyai komitmen yang kuat untuk membangun ekonomi bangsa." n c16 ed: wachidah handasah