REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- DPR menunda pengesahan Rancangan Undang-Undang Organisasi Masyarakat (RUU Ormas). Rapat terakhir yang digelar Panitia Khusus (Pansus) RUU Ormas kemarin belum bisa membuat fraksi-fraksi mencapai titik temu.
"RUU Ormas tidak jadi disahkan besok. Ditunda," kata Ketua Pansus Abdul Malik Haramain kepada Republika di Kompleks Parlemen Senayan, Kamis (11/4). Pengesahan RUU Ormas awalnya dijadwalkan pada sidang paripurna, Jumat (11/4).
Malik mengatakan, secara substansi, sembilan di fraksi di DPR telah menyepakati RUU Ormas. Meskipun begitu, di antara mereka masih ada yang keberatan dalam sisi redaksional. Masih ada beberapa kalimat yang multitafsir dan sejumlah pasal yang masih membutuhkan penjelasan.
Belum ada kepastiaan kapan RUU Ormas akan disahkan. Malik menyatakan saat ini Pansus masih membuka diri terhadap berbagai masukan masyarakat.
Menurut Malik, masyarakat tidak perlu khawatir dengan RUU Ormas. Tentang wacana RUU ini bakal menjadi instrumen bagi pemerintah untuk bertindak represif, misalnya, belum bisa dibuktikan. "Ketika kita minta ditunjukkan pasal mana yang represif, belum ada yang bisa menunjukkan," ujarnya.
Fraksi PKS menilai Rancangan Undang-Undang Organisasi Masyarakat (RUU Ormas) tidak perlu terburu-buru disahkan. Menurut anggota Badan Legislasi DPR dari Fraksi PKS, Indra, masih banyak materi di RUU Ormas yang perlu diperbaiki.
Indra mengungkapkan, dalam rapat Pansus RUU Ormas terakhir masih ada ketidaksepahaman di antara fraksi-fraksi DPR. Di antaranya menyangkut sejumlah redaksi yang berpotensi mengekang kebebasan masyarakat dalam berkumpul dan berserikat. "Secara redaksi masih ada yang multitafsir dan represif," ujar Indra.
Redaksi yang menjadi keberatan PKS misalnya menyangkut redaksi yang menyatakan pemerintah bisa secara subjektif membubarkan ormas-ormas bermasalah. Indra menyatakan redaksi ini mengancam kebebasan berdemokrasi di masa depan. "Pemerintah sekarang mungkin tidak represif. Tapi, kita tidak tahu dengan pemerintah sekarang dan yang akan datang," katanya.
Indra mengatakan Pansus Ormas masih perlu mendengar masukan dan saran dari berbagai Ormas yang ada. Masukan mereka penting agar RUU Ormas bisa diimplementasikan secara nyata oleh ormas. "Catatan (dari) ormas harus diakomodasi karena mereka pelaksana undang-undang ini," ujarnya.
Pembahasan RUU Ormas sebelumnya banyak mendapat tentangan dari berbagai pihak. Pasal yang dijadikan keberatan juga tak seragam.
Salah satu yang berkukuh menolak pengesahan RUU tersebut adalah Muhammadiyah. Meski telah ditemui Pansus Ormas, Ketua Umum PP Muhammadiyah Din Syamsuddin bergeming dengan sikap mereka.
"Sudah, hentikanlah, ini tidak urgen. Banyak hal urgen yang perlu dibahas di DPR," kata Din usai menemui perwakilan Pansus RUU Ormas DPR dan pemerintah di kantor PP Muhammadiyah Jakarta, Rabu (10/4). Sikap Muhammadiyah ini didukung ratusan lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang tergabung dalam Koalisi Akbar Masyarakat Sipil Indonesia (KAMSI).
Di antara alasan penolakan adalah RUU Ormas dikhawatirkan jadi alat represif pemerintah. Selain itu, RUU itu juga dinilai antikemajemukan karena sejumlah pasal mengindikasikan penyeragaman.
Selain itu, hal yang dijadikan keberatan adalah karena RUU Ormas tak mengatur organisasi sayap politik. RUU Ormas juga dikhawatirkan akan membubarkan ormas-ormas perkumpulan.
Senada dengan itu, PB Nahdlatul Ulama juga sempat meminta pembahasan RUU Ormas ditunda. Salah satu alasannya, RUU tersebut terlalu menggeneralisasi organisasi masyarakat. "Harusnya dirumuskan juga UU Yayasan dan UU Perkumpulan," kata Wakil Ketua Umum PBNU As'ad Said Ali.
Kepala Subdirektorat Ormas Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) Bahtiar berpendapat penolakan terhadap ormas tak murni untuk kepentingan masyarakat. Menurutnya, penolakan LSM karena RUU Ormas mensyaratkan audit pendanaan yang lebih ketat.
Ada beberapa ormas yang khawatir aktivitasnya terganggu karena menggunakan pendanaan dari lembaga asing yang nantinya mesti dipertanggungjawabkan bila RUU Ormas digolkan. ”Sangat ironis tokoh/ormas Islam, terpengaruh oleh LSM penikmat dana asing," kata Bahtiar. n akbar wijaya/erik purnama putra/agus raharjo ed: fitriyan zamzami
Berita-berita lain bisa dibaca di harian Republika. Terima kasih.