REPUBLIKA.CO.ID, SEOUL -- Ketegangan politik antara Korea Utara (Korut) dan Korea Selatan (Korsel) telah merugikan kedua negara. Perseteruan ini membuat kompleks industri Kaesong yang menjadi simbol kerja sama keduanya tutup. Perusahaan Korsel tidak bisa beroperasi, sementara puluhan ribu pekerja asal Korut menganggur. Pemerintah Korsel meminta agar Korut tidak terlalu lama menutup kompleks perindustrian tersebut.
Menteri Unifikasi Korsel Ryoo Kihl-jae berharap, Korut dapat kembali ke meja negosiasi. “Kedua Korea harus mendiskusikan normalisasi kawasan industri ini dengan dialog,” ujar Ryoo Kihl-jae, seperti dikutip Yonhap, Kamis (11/4). “Penghentian kawasan itu hanya akan membuat perusahaan Korsel menderita, termasuk para buruh Korut.”
Kaesong masuk dalam Korut. Tepatnya, 10 kilometer dari perbatasan dengan Korsel. Korut telah menyatakan menarik pekerjanya, Senin (8/4), dan mengumumkan penghentian kawasan tersebut.
Langkah Korut diambil sebagai bentuk ketidaksukaan Pyongyang terhadap latihan militer Korsel dan AS serta sanksi yang dijatuhkan Dewan Keamanan PBB. Sanksi dijatuhkan PBB setelah Korut menggelar uji coba nuklir 12 Februari 2013.
Ryoo juga mengimbau agar Korut menghentikan ancamannya karena hanya membuat ketidakstabilan di kawasan. Korsel menginginkan Korut menjadi bagian internasional. Imbauan perdamaian juga datang dari kelompok aktivis mahasiswa di ibu kota Korea Selatan, Seoul, Kamis (11/4). Mereka mendesak pemerintah mengutus delegasi perdamaian ke Korea Utara. Mengirim delegasi perdamaian jauh lebih penting daripada mengirim peluru kendali ke Pyongyang,
“Kecuali, pemerintah (Korsel) ingin menyakiti kehidupan masyarakat melalui aksi saling menghancurkan kedua saudara,” kata seorang mahasiswa. Setidaknya, 10 ribu pemuda, bersama kelompok sipil menandatangani petisi antiperang.
Menurut mereka, Korsel tidak perlu meladeni tantangan perang dari pemimpin muda Korut Kim Jong-un. Selain mahasiswa, para aktivis antiperang, tokoh, dan anggota parlemen dari partai liberal, serta serikat pekerja, juga mendorong Presiden Park Geun-hye mengalah.
Reaksi para mahasiswa dan masyarakat sipil ini adalah pertama kali dalam gelanggang konfrontasi peperangan yang diumbar Korut dalam dua pekan belakangan. Selain mendesak pengiriman delegasi perdamaian ke Pyongyang, kelompok sipil ini juga meminta agar rezim di Korut membuka kembali zona industri Kaesong.
Dalam beberapa pekan terakhir, Korut mengumbar berbagai ancaman. Dari menyatakan negaranya dalam keadaan perang dengan Korsel dan Amerika Serikat (AS), hingga ancaman serangan rudal nuklir.
Pyongyang juga mendesak warga internasional untuk segera keluar dari Seoul dan Pyongyang.
Ancaman semakin menjadi ketika Korut menggeser armada rudalnya ke wilayah timur dan mengarahkannya ke Korsel dan Pangkalan Militer AS di Guam. AS dan Korsel menduga, rudal itu berhulu ledak nuklir. AS dan Korsel menanggapinya dengan serius.
Korsel menyatakan negaranya dalam siaga perang. Di Washington, Paman Sam berikrar akan membela sekutunya itu jika serangan terjadi. Menteri Pertahanan AS Chuck Hagel mengatakan, ancaman Korut sudah kelewat batas. AS, kata dia, tidak akan ragu meladeni serangan Korut.
“Tindakan apa pun yang Korut lakukan adalah bentuk provokasi. Kami sepenuhnya siap,” kata Hagel, saat rapat darurat menanggapi situasi di Semenanjung Korea, Rabu (10/4).
Di London, Inggris, Menteri Luar Negeri Rusia Sergei Lavrov melakukan pertemuan mendadak dengan Menlu AS John Kerry untuk membahas krisis di Semenanjung. Rusia selama ini akrab dengan Korut. Tapi, Lavrov mengatakan, Kremlin setuju dengan Gedung Putih untuk kali ini.
Berdasarkan laporan Reuters, meskipun negara dalam siaga perang, tidak ada kepanikan di Seoul dan lantai bursa. Presiden Korea Selatan Park Geun-hye kepada para pengusaha, Kamis (11/4), menjamin bahwa negaranya aman. Ada kekhawatiran Korut akan menyerang pada 15 April saat haul pendiri negara itu Kim Il-sung. n bambang noroyono/ap/reuters ed: teguh firmasyah
Berita-berita lain bisa dibaca di harian Republika. Terima kasih.