Jumat 26 Jul 2013 07:30 WIB
Komite Sekolah

Komite Sekolah Bisa Picu Pungutan

Lulus sekolah, pungutan menunggu (ilustrasi).
Foto: tribun-timur.com
Lulus sekolah, pungutan menunggu (ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ombudsman Republik Indonesia menyatakan komite sekolah berperan sebagai pihak yang memunculkan pungutan liar dalam pelaksanaan dan penerimaam peserta didik baru (PPDB) 2013. "Mereka menjadi agen untuk mewakili kepentingan sekolah, bukan kepentingan peserta didik," kata anggota Ombudsman Bidang Penyelesaian Laporan dan Pengaduan, Budi Santoso.

Pernyataan itu dikemukakan berdasarkan laporan dan evaluasi Ombudsman RI dalam pelaksanaan  PPDB 2013. Laporan dan evaluasi PPDB 2013 itu, kata dia, menunjukkan panitia penerimaan peserta didik dan komite sekolah menjadi kelompok terlapor paling banyak dengan persentase 80,9 persen.

"Saya menduga komposisi komite sekolah tidak seperti dalam Pasal 197 PP No 17/2010 tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan, tapi lebih banyak titipan dari kepala-kepala sekolah," kata Budi kepada wartawan di Jakarta, Kamis (25/7). Namun, dia mengakui, jika komite sekolah dibubarkan, tidak ada lagi perwakilan orang tua siswa di sekolah-sekolah.

Atas laporan itu, Ombudsman akan memberikan saran ke kepala-kepala dinas kota/kabupaten dan kepada bupati dan wali kota di 23 provinsi.  Budi menjelaskan, 23 provinsi yang masuk dalam laporan Ombudsman tentang PPDB 2013 adalah DKI Jakarta, Jawa Barat, Nusa Tenggara Barat, Kalimantan Selatan, Sumatra Barat, Bali, DI Yogyakarta, Kalimantan Barat, Sulawesi Tenggara, Papua, Nusa Tenggara Timur.

Lainnya, Sulawesi Tengah, Jawa Timur, Riau, Jawa Tengah, Sulawesi Utara, Nanggroe Aceh Darussalam, Sumatra Selatan, Sulawesi Selatan, Kalimantan Timur, Lampung, Kepulauan Riau, dan Sumatra Utara. "Ada peningkatan sebanyak 387 laporan dibanding laporan pada 2012 karena kami menambah kantor perwakilan di 16 provinsi," tuturnya.

Budi juga menuturkan permintaan uang, barang, dan jasa atau pungutan liar mendominasi laporan Ombudsman RI tentang pelaksanaan PPDB 2013 dengan persentase 47,8 persen. "Permintaan uang, barang, dan jasa masih menjadi laporan maladministrasi paling banyak sebagaimana laporan 2012," katanya.

Laporan PPDB 2013 Ombudsman itu menunjukkan pungutan liar tersebut berupa penarikan biaya saat pendaftaran ulang siswa baru (40,6 persen), penarikan biaya saat pendaftaran awal, seperti formulir (3,1 persen), penarikan biaya pendaftaran ulang siswa lama (2,6 persen), penarikan biaya untuk pembinaan siswa (0,8 persen), dan penarikan biaya perpisahan (0,5 persen).

Jumlah pungutan paling banyak yang diminta pihak sekolah sebesar Rp 100 ribu hingga Rp 500 ribu pada tingkat sekolah dasar (SD) dan sekolah menangah pertama (SMP), lebih dari Rp 2 juta pada sekolah menengah atas (SMA).

Budi mengatakan, Peraturan Menteri Pendidikan No 44 Tahun 2012 tentang Pungutan dan Sumbangan pada Satuan Pendidikan Dasar menjadi payung hukum bagi pungutan-pungutan liar. "Sebelumnya terdapat Permendikbud No 60 Tahun 2011 tentang Pelarangan Pungutan Biaya Pendidikan yang kemudian dianulir oleh Permendikbud No 44/2012 itu," kata Budi. Ombudsman, lanjut Budi, akan memberikan surat saran kepada Menteri Pendidikan dan Kebudayaan untuk meninjau ulang peraturan yang menjadi rujukan bagi sekolah-sekolah meminta pungutan liar.

Seragam

Pusat Telaah dan Informasi Regional (Pattiro) Semarang menyoroti penjualan seragam di koperasi sekolah yang nilainya di luar kewajaran harga pasar. Ini dinilainya merugikan orang tua murid. Kepala Divisi Keterbukaan Informasi Pattiro Semarang, Agi Suprayogi, di Semarang, Rabu (24/7) menjelaskan, sebenarnya masalah seragam sudah menjadi kasus berulang setiap tahun. Sekolah beralasan, mereka tidak mewajibkan siswa untuk membelinya.

Ketidakwajaran harga seragam tersebut terlihat dari hasil temuan di lapangan untuk pembelian dua stelan seragam OSIS, satu stelan seragam pramuka, satu stelan batik, satu stelan pakaian olahraga, dan satu stelan wearpack harganya Rp 1,5 juta. Setelah dilakukan rasionalisasi dengan harga pasar, empat stel seragam hanya Rp 765 ribu. “Itu menunjukkan ada keuntungan hingga Rp 735 ribu per siswa yang membeli seragam di sekolah tersebut," katanya, tanpa mengungkapkan nama sekolah itu. n antaraed: burhanuddin bella

Berita-berita lain bisa dibaca di harian Republika. Terima kasih.

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement