Jumat 15 Nov 2013 06:00 WIB
Penyadapan Telepon

Penyadapan AS dan Australia Mencederai Hubungan

 Puluhan aktivis Hizbut Tahrir Indonesia menggelar aksi demonstrasi di depan Kedubes AS, Jakarta, Jumat (1/11).  (Republika/Yasin Habibi)
Puluhan aktivis Hizbut Tahrir Indonesia menggelar aksi demonstrasi di depan Kedubes AS, Jakarta, Jumat (1/11). (Republika/Yasin Habibi)

REPUBLIKA.CO.ID, Kali kesekian, sikap Amerika Serikat (AS) dan Australia membuat Indonesia seakan kehilangan martabat bangsa. Kedua negara diduga melakukan penyadapan komunikasi terhadap Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan sejumlah pemimpin nasional, salah satunya mantan presiden BJ Habibie.

Disamping itu, Indonesia disebut menjadi salah satu dari 90 pos tempat kedutaan AS dan Australia memiliki fasilitas penyadapan. Informasi itu berdasarkan kesaksian whistleblower Edward Snowden yang kemudian dikutip Sydney Herald Tribune dan beberapa media lainnya. Edward Snowden adalah mantan pekerja kontraktor NSA (Badan Keamanan Nasional AS).

Koran tersebut memberitakan peta rahasia yang berisi 90 daftar fasilitas pengintaian di seluruh dunia. Di wilayah Asia, menurut koran tersebut, fasilitas penyadapan itu, antara lain, terdapat di Kedubes AS di Jakarta, Bangkok, Kuala Lumpur, dan Yangoon.

Sikap kedua negara sontak membuat marah sejumlah pihak, seperti MPR, DPR, serta sejumlah politisi. Sebaliknya, Presiden SBY justru tidak menunjukkan sikap gusar atau marah kepada kedua negara tersebut. 

Wakil Ketua MPR Hajriyanto Y Tohari mengatakan Indonesia berhak marah dan kecewa dengan pratik penyadapan yang dilakukan AS terhadap sejumlah pejabat negara di Indonesia. "Jika informasi itu benar sungguh kita berhak kecewa dan marah," tegasnya. Aksi penyadapan itu dinilai merupakan tindakan tak terpuji AS dalam bersahabat.

Wakil Ketua Komisi I DPR Agus Gumiwang menambahkan aksi penyadapan tersebut sangat mengkhawatirkan. Sebab, penyadapan bukan hanya dilakukan terhadap presiden dan wakil presiden, tapi juga politisi, menteri, dan para ketua umum partai, termasuk pimpinan DPR. "Menurut pandangan saya, mereka cukup 'telanjang' dan mudah disadap. Apakah mereka punya pengamanan yang cukup sehingga tidak disadap," ujarnya.

Ketua Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa Marwan Jafar mengatakan penyadapan tersebut merupakan bentuk pelanggaran kedaulatan Indonesia. Penyadapan itu bagian dari penjajahan bidang teknologi informasi Indonesia.

Indonesia saat ini dinilai ibarat rumah kaca. Segala hal yang dilakukan dan terjadi di Indonesia bisa diawasi lewat aksi-aksi intelijen. Tragisnya, kasus penyadapan ini menunjukkan institusi intelijen negara tidak berjalan maksimal. Padahal, seharusnya Badan Intelijen Negara (BIN), Lembaga Sandi Negara (Lemsaneg), dan Kementerian Luar Negeri (Kemenlu) bisa mengantisipasi penyadapan itu.

Pemerintah, khususnya Presiden SBY, diminta segera melakukan tindakan-tindakan pengamanan. SBY harus membangun sistem yang bisa menangkal penyadapan. "Kedaulatan negara itu tidak hanya lewat fisik, tapi kedaulatan negara itu harus dijaga juga melalui teknologi komunikasi," katanya.

Ketua DPR RI Marzuki Alie meminta Pemerintah Indonesia memprotes keras AS dan Australia terkait penyadapan. Tindakan keras terhadap AS dan Australia penting demi menegakkan kedaulatan Indonesia. “Sebagai negara yang berdaulat, harusnya kita punya sikap dengan apa yang dilakukan intelijen luar negara. Maka, kita harus lebih tegas, lebih keras lagi,” ujar Marzuki.

Namun, sebelumnya, Marzuki mengatakan, pemerintah harus melakukan klarifikasi terlebih dahulu. Harus dibuktikan mengenai siapa yang melakukan penyadapan. Apakah penyadapan itu menimbulkan dampak sistemis atau tidak. Selain meminta pemerintah memprotes AS dan Australia, DPR pun mendesak kedua negara itu meminta maaf atas insiden penyadapan terhadap Indonesia.

Pengamat hubungan internasional dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Ganewati Wulandari mengatakan, dugaan penyadapan yang dilakukan kedua negara itu menjadi bukti tidak ada teman abadi dalam hubungan internasional. Keduanya diduga melakukan pencurian secara diam-diam terhadap data-data milik Indonesia, meski negara ini memiliki hubungan diplomatik yang baik dengan kedua negara tersebut.

Menurut dia, karena sifatnya yang sudah masif, maka isu penyadapan sekarang ini menjadi isu internasional. “Ini mengakibatkan bahwa dalam konteks hubungan internasional menjadi goncangan. Karena, ada persoalan trust dan confident building yang rusak,” ujarnya.

Sejumlah ormas yang tergabung dalam Lembaga Persahabatan Ormas Islam (LPOI) juga mengutuk keras isu penyadapan. Penyadapan dituding menghina martabat Indonesia. "Negara mana pun yang lakukan penyadapan itu jelas menghina martabat Indonesia sebagai sebuah bangsa," kata Ketua Umum LPOI Said Aqil Siroj, Kamis (7/11).

Dia berharap pemerintah bersikap lebih tegas. Bila perlu, pemerintah bisa memanggil dubes terkait. "Pemerintah jangan sampai diam dan kurang bertindak tegas," ujarnya.

Ketika ditanyakan apakah perlu memutus hubungan diplomatik, Said berpendapat hal tersebut bisa saja dilakukan. "Kalau memang keterlaluan, ajukan saja pemutusan hubungan diplomatik, supaya bangsa kita enggak dianggap penakut," tegas Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama ini.

Sikap kecewa dan protes mereka justru berbanding terbalik dengan sikap resmi pemerintah maupun Presiden SBY. Staf Khusus Presiden Bidang Hubungan Internasional Teuku Faizasyah menjelaskan, ada perbedaan antara isu penyadapan Kanselir Jerman Angela Merkel dan SBY. Menurut Faizasyah, Merkel dikabarkan disadap langsung melalui telepon selulernya.

Saat itu, Angela Merkel marah besar saat mengetahui kabar bahwa dirinya disadap pihak AS. Berbeda dengan Merkel, Presiden SBY justru diam menanggapi isu penyadapan yang juga menimpa dirinya. SBY tak bereaksi sekeras Merkel, lanjut Teuku, karena isu penyadapan terhadap SBY muncul karena informasi tentang adanya perangkat alat sadap di kantor Kedutaan Besar AS di Jakarta.

"Beberapa kepala negara memang bereaksi karena alat komunikasinya disadap, termasuk Merkel. Jadi, privacy mereka terusik. Kalau untuk Indonesia, diduga ada alat penyadapan di kantor perwakilan AS dan Australia," kata Faizasyah, Jakarta, Sabtu (9/11). Faiz menolak jika SBY dikatakan diam terkait isu penyadapan itu. Menurutnya, pernyataan keras dari Menlu Marty Natalegawa justru berdasarkan instruksi dari Presiden SBY.

Menanggapi tudingan Indonesia bersikap lembek atas kasus penyadapan ini, Menteri Luar Negeri Indonesia Marty Natalegawa membantahnya. "Tak ada yang lembek dalam menyatakan kita menolak. Tak ada yang lembek dalam menyatakan protes keras. Kami akan mengkaji ulang pertukaran informasi antara kedua negara," kata Menlu Marty Natalegawa setelah menutup Bali Democracy Forum VI di Nusa Dua, Bali.

Istilah "kaji ulang" penuh dengan makna dan arti dalam diplomasi. Kaji ulang adalah melakukan proses secara terus-menerus hingga ada titik penyelesaian. "Masalah rasa saling percaya di antara kedua negara juga harus diperbaiki dan dikembalikan," kata Marty.

Menteri Pertahanan Purnomo Yusgiantoro mengaku sulit untuk membuktikan penyadapan. Menurutnya, penyadapan bisa dibuktikan melalui dua sumber. "Dari intelijen dalam negeri dan pengakuan negara penyadap," kata Purnomo seusai menerima kunjungan Menhan Australia David Johnston di kantor Kemenhan, Jakarta, Jumat (8/11).

Pernyataan Menteri Pertahanan Australia David Johnston belum bisa menjawab pertanyaan Indonesia. "Isu penyadapan termasuk makro dan menjadi urusan Menteri Luar Negeri Australia," kata Purnomo, menirukan jawaban David Johnston. Menurut Menhan Australia, isu penyadapan tersebut telah dibahas pada level yang lebih tinggi oleh Menlu Indonesia dan Menlu Australia.

Meski Indonesia marah karena kasus penyadapan itu, menurut Guru Besar FH UI Hikmahanto Juwana, pemerintah juga berhak marah, tidak perlu ditunjukkan dengan memutus hubungan diplomatik kedua negara tersebut. Secara diplomatik, ujar Hikmahanto, pemerintah dapat melakukan pengusiran (persona non grata) terhadap sejumlah diplomat AS dan Australia.

Sejumlah pembaca Republika memberikan komentar beragam. Ada yang menilai tuntutan sikap pemerintah dan Presiden SBY kurang tegas karena hanya memerintahkan para menterinya untuk klarifikasi kepada AS dan Australia. Sebaliknya, ada pembaca yang menilai penyadapan sudah terjadi sejak era presiden Sukarno, karena AS menaruh sejumlah kepentingan di negeri ini. n ed: zaky al hamzah

Berita-berita lain bisa dibaca di harian Republika. Terima kasih.

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement