REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Pengamat menilai tahun depan pemerintah akan menghadapi tantangan dalam menjalankan roda perekonomian. Tantangan tersebut berupa krisis ganda yang berasal dari tingginya defisit jasa dan perdagangan.
Ekonom senior Institute for Development of Economic and Finance (Indef) Didik J Rachbini menilai, kecenderungan tersebut sudah terlihat sejak tahun ini. Indonesia sudah mengalami defisit jasa yang terbilang tinggi. Selain itu, untuk pertama kalinya, Indonesia mengalami defisit perdagangan. Bahkan, sekarang ini tengah terjadi defisit kontribusi politik.
“Presiden mendatang akan mengalami persoalan. Persoalan itu akan datang pada sisi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). APBN itu sebenarnya instrumen pemerintah. Tapi sayangnya tidak berfungsi apa-apa karena pengambilan keputusannya buruk,” ujarnya, Selasa, (26/11).
Didik mengatakan, persoalan tersebut seharusnya diselesaikan sejak awal untuk keberlangsungan ekonomi di masa mendatang. Ia menilai, ekonomi Indonesia saat ini seolah-olah kuat di mata negara-negara tetangga di dunia karena defisit ganda masih bisa ditahan dengan derasnya modal portfolio yang besar.
Hal itu sebenarnya sangat rapuh karena dana tersebut sangat mudah menjadi aliran uang panas yang keluar. Aliran uang keluar menyebabkan sektor keuangan tidak stabil. Begitu ada masalah dengan kebijakan pemerintah, masyarakat tidak percaya dan ekonomi keuangan akan mudah terguncang.
Sementara itu, Deputi Gubernur Senior BI Mirza Adityaswara menyatakan, kekhawatiran tersebut sedikit berlebihan. Menurutnya, kondisi perekonomian Indonesia saat ini cukup stabil. Pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) yang telah mencapai Rp 11.765 dinilai sebagai level yang cukup baik untuk menekan defisit transaksi berjalan yang mencapai 3,8 persen dari produk domestik bruto (PDB).
BI menargetkan defisit transaksi berjalan dapat dipersempit menjadi 2,6 persen dari PDB pada tahun depan. Ia pun mengatakan, nilai tukar rupiah sudah di level yang cocok untuk situasi saat ini. “Jadi di level sekarang, para eksportir itu sudah bisa menjual hasil ekspornya,” ujarnya.
BI sebelumnya sempat menahan pelemahan rupiah agar berada di posisi Rp 9.500 - Rp10 ribu. Namun, hal tersebut menguras cadangan devisa. Oleh karena itu, rupiah dibiarkan melemah. Pelemahan rupiah juga membuat impor menjadi mahal sehingga impor barang nonproduktif akan berkurang dan ujung-ujungnya dapat memperbaiki transaksi berjalan.
Berkurangnya konsumsi tersebut mau tidak mau akan membuat pertumbuhan ekonomi melambat karena pertumbuhan ekonomi di Indonesia didorong oleh permintaan domestik. Namun, BI menilai pertumbuhan yang lebih rendah yang ditargetkan berada di level 5,5-5,8 persen akan lebih stabil.
Ke depannya, Mirza mengatakan bahwa BI akan selalu mencermati inflasi dan transaksi berjalan. “Tapi, transaksi berjalan penurunannya harus bisa dipastikan sehingga penurunan impor diperlukan,” ujarnya. Untuk merespons hal tersebut, BI tidak harus menggunakan instrumen moneter, yaitu suku bunga. BI akan mengombinasikan kebijakan kurs, rasio pinjaman terhadap nilai (LTV), rasio kredit terhadap simpanan (LDR), dan lain-lain.
Ekonom dari Bank Negara Indonesia (BNI) Ryan Kiryanto mengatakan, BI tengah menjaga stabilisasi karena Indonesia mengalami dua penyakit, yakni inflasi dan defisit transaksi berjalan. Inflasi salah satunya disebabkan inflasi impor, sedangkan defisit transaksi berjalan disebabkan ekspor nonmigas yang tidak mampu menutupi impor minyak. Akibatnya, nilai tukar rupiah tertekan.
Namun, Ryan mengatakan pendekatan moneter yang dikeluarkan BI tidak akan menyelesaikan masalah pada defisit transaksi berjalan. Tetapi, ia yakin koridor defisit akan semakin sempit. n satya festiani ed: fitria andayani
Berita-berita lain bisa dibaca di harian Republika. Terima kasih.