REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - DPR memastikan biaya operasional penghulu di seluruh Indonesia akan ditambah. Wakil Ketua Komisi VIII DPR RI Ledia Hanifa mengatakan, tambahan itu sudah masuk dalam Aanggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2014.
Penambahan itu, jelas dia, hasil desakan petugas pencatat nikah atau penghulu. Terutama, untuk biaya operasional pernikahan di luar KUA dan jam kerja. "Kenaikannya dari Rp 2 juta per orang pada 2013, menjadi Rp 3 juta per orang pada 2014,’’ katanya, Selasa (10/12).
Menurut dia, pembahasan perlunya penambahan biaya operasional penghulu, terutama bagi mereka yang menikahkan di luar KUA dan di luar jam kerja ini telah disikapi DPR. Khususnya, sejak adanya kritik dari Inspektorat Jenderal (Irjen) Kementerian Agama (Kemenag).
Namun, kata dia, permasalahannya tinggal di eksekutif, yakni menteri agama (Menag) sebagai eksekutor aturan tersebut. Aturan sebelumnya melalui peraturan menteri agama (PMA), biaya terkait biaya pencatatan nikah di KUA hanya Rp 30 ribu.
Jadi, sekarang harus ada PMA mengenai pembayaran biaya operasional penghulu di luar KUA dan jam kerja. "Kalau-PMA nya sudah ada, secepatnya tambahan operasional itu bisa dieksekusi,’’ ujar Ledia.
Kementerian Agama (Kemenag) prihatin dengan adanya keinginan mogok penghulu di Jawa dan Madura. Menurut Dirjen Bimbingan Masyarakat Islam Abdul Djamil, seruan mogok bukan solusi, tapi akan melahirkan masalah baru.
“Kami meminta para penghulu memikirkan ulang rencana mereka,” kata Djamil, Selasa (10/12). Dalam pertemuan di Cirebon, Jawa Barat, Senin, mereka berencana mogok pada 1 Januari 2014. Mereka tak akan melayani pernikahan di luar KUA dan jam kerja.
Langkah ini merupakan respons mereka atas penangkapan penghulu di Jawa Timur yang menerima imbalan nikah. Imbalan diberikan saat melayani pernikahan di luar jam kerja. Djamil mengatakan, rencana mereka akan berimbas tak baik bagi layanan nikah di masyarakat.
Menurut dia, yang menjadi permasalahan selama ini adalah beban biaya penghulu menikahkan pasangan di luar KUA dan jam kerja. Tak ada hukum yang mengaturnya. Aturan yang ada, berupa Peraturan Pemerintah Nomor 47 /2004 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak.
Itu mengatur biaya pencatatan pernikahan Rp 30 ribu dan berlaku ketika pernikahan dilakukan di KUA. Djamil meminta masyarakat memahami posisi penghulu. Di satu sisi, mereka tidak dibenarkan memungut biaya pernikahan di luar KUA.
Namun, di sisi lain ada budaya di masyarakat menikah di luar KUA dan jam kantor saat hari libur. Budaya ini pun dibarengi memberikan ucapan terima kasih kepada penghulu yang melayani nikah di luar KUA yang kemudian dimaknai sebagai gratifikasi. "Ini sangat dilematis."
Djamil menyatakan, tak bisa menyalahkan penghulu. Mereka memiliki referensi aturan atas tugas mereka, bahkan layanan di luar KUA. Mereka mengacu Peraturan Menteri Agama (PMA) pasal 21 ayat 2 yang mengatur pencatatan nikah di luar KUA sepanjang disetujui kepala KUA.
Untuk mengantisipasi kasus gratifikasi, Kemenag mengimbau, lebih mengutamakan layanan nikah di KUA. Jika ada permintaan di luar KUA dan jam kerja, tetap dilayani. Bila mendapatkan imbalan, segera laporkan ke Komisi Pemberantasan Korupsi.
Dalam pertemuan di Cirebon, Wagimum AW, perwakilan penghulu dari Jawa Timur yang akhirnya ditunjuk sebagai ketua Asosiasi Penghulu Indonesia (API), mengatakan, terpaksa penghulu memutuskan mogok. Sebab, tak ada payung hukum yang melindungi penghulu.
Terutama, saat mereka melayani pernikahan di luar KUA dan jam kantor. Ini juga bentuk solidaritas atas kriminalisasi yang dialami kepala KUA Kediri, Jatim, terkait layanan di luar KUA. Wagimun mengatakan, sebagian besar warga biasanya memilih menikah di luar jam kerja.
Penghulu terpaksa mendatangi rumah mereka. Tak jarang, rumah pengantin jaraknya sangat jauh. Negara tidak menyediakan biaya transportasi bagi penghulu. “Jika biaya transportasi itu harus ditanggung kami, akan sangat memberatkan,” kata Wagimun.
Karena itu, pihak pengantin memberikan uang transportasi kepada penghulu. Tapi, ketika penghulu menerima uang tersebut, pemerintah melarang dan menyebutnya sebagai pungli atau gratifikasi. “Ini tak adil.”
Sesuai aturan, kata Wagimun, tugas penghulu mencatat, menyaksikan, dan melaporkan pernikahan. Tak ada kewajiban penghulu melayani sampai harus mendatangi rumah atau lokasi tempat dilangsungkannya pernikahan.
Wagimun juga menagih janji Irjen Kementrian Agama M Jasin yang menyatakan pemerintah akan memberikan biaya transportasi kepada penghulu yang melayani pernikahan warga di luar kantor dan jam kerja. Janji itu disampaikan pada awal 2013.
“Tapi, sampai 2013-nya mau habis, janji Irjen Kemenag belum terealisasi,” tutur Wagimun. Sementara, anggota Komisi VIII DPR Ledia Hanifa menganggap penghulu tak mogok. Istilah itu tak tepat. Sebab, mereka hanya menghentikan layanan di luar KUA dan jam kerja.
Mereka tetap bekerja selama hari kantor dan melayani pencatatan nikah di KUA. Ia mengatakan, istilah mogok harus dikoreksi agar tak meresahkan masyarakat. Ia mengingatkan, penghulu adalah ujung tombak layanan pernikahan Muslim.
Jadi, layanan ini langsung dirasakan masyarakat. Buruknya layanan publik ini akan menjadi citra buruk layanan keagamaan pernikahan di Indonesia. Terlebih, kata dia, bila istilah mogok ini disalahtafsirkan masyarakat. n amri amrullah/lilis sri handayani ed: ferry kisihandi
Berita-berita lain bisa dibaca di harian Republika. Terima kasih.