REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pernyataan lisan Wakil Kepala Kepolisian RI (Wakapolri) Komisaris Jenderal Pol Oegroseno perihal penggunaan jilbab bagi polwan ditunda menimbulkan polemik di masyarakat.
Pernyataan Wakapolri itu mendorong Majelis Ulama Indonesia (MUI) menyatakan sikap. Dewan Pimpinan Pusat MUI bersama ormas-ormas Islam perempuan, seperti Muslimat Nahdlatul Ulama (NU), Aisyiyah, dan Badan Kontak Majelis Taklim (BKMT) mendorong Kapolri memfasilitasi para polwan untuk dapat mengenakan jilbab dalam melaksanakan tugas.
Wakil Sekretaris Jenderal Majelis Ulama Indonesia (MUI) Welya Safitri mengatakan, penggunaan jilbab bagi polwan tidak mengganggu tugas polwan, bahkan dapat mendukung kelancaran pelaksanaan tugas mereka. Selain itu, menurut dia, mengenakan jilbab merupakan bagian dari hak asasi manusia yang harus dilaksanakan dan dihormati.
"Mengenai model jilbab itu merupakan urusan rumah tangga polisi. Tugas MUI hanya mendorong agar masalah ini tidak berlarut-larut," kata Welya, Jumat (20/12). Dalam pernyataan sikapnya, MUI juga mengajak pimpinan Polri untuk bersama-sama merumuskan model dan ketentuan mengenai pakaian jilbab bagi polwan.
Ketua Bidang Pemberdayaan Perempuan (BPP) MUI Tutty Alawiyah mengatakan, pakaian polwan sebenarnya sudah tertutup. Dan, penyeragaman warna jilbab di antara polwan juga bisa dilakukan dalam waktu dekat.
Dia juga mengimbau para polwan yang telah mengenakan jilbab agar tidak melepasnya. Karena itulah, Tutty mendorong agar Kapolri segera membuat aturan penggunaan jilbab ini. Sebab, menurutnya, setiap warga negara berhak melaksanakan ajaran agamanya yang dilindungi undang-undang sebagaimana termaktub dalam Pasal 29 Ayat 1 dan 2 UUD 1945.
"Untuk menjamin ketenangan batin polwan dalam menjalankan ibadahnya melalui penggunaan jilbab, perlu diciptakan suasana yang kondusif dalam lingkungan kedinasan di lingkungan Polri," ujar Tutty.
Dia juga berharap jangan lagi ada halangan bagi seseorang yang ingin menjalankan norma Islam. Tutty mengatakan, awalnya ia menyambut baik pernyataan Kapolri Jenderal Pol Sutarman yang mengizinkan polwan mengenakan jilbab. Namun, Tutty akhirnya kaget dan kecewa karena penundaan tersebut.
Menurut Tutty, ia akan bertemu dengan Kapolri untuk menyampaikan pernyataan sikap MUI dan mendorong agar penggunaan jilbab disahkan dalam bentuk peraturan.
Sementara itu, menurut Ketua Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (FPKS) DPR Hidayat Nur Wahid, polemik jilbab polwan adalah soal sederhana. Jika yang diinginkan adalah keseragaman, kata dia, polwan tinggal merujuk pada rancangan seragam polwan berjilbab yang pernah diajukan mantan kapolri Jenderal Pol Timur Pradopo atau mencontoh seragam polwan Aceh.
“Jangan dibuat ruwet,” kata Hidayat. “Jika ini soal anggaran, saya yakin polwan bisa membeli jilbab yang sesuai dengan dana sendiri. Warga Indonesia dan ibu-ibu majelis taklim pun bersedia membantu jika memang para polwan tidak sanggup.”
Menurut Hidayat, dia memahami bahwa sisi keseragaman adalah poin penting di sebuah kesatuan. Namun, hal itu bisa dibuat sederhana. Jika masalahnya hanya dana APBN, kata dia, harusnya bisa diatasi. “Komisi III DPR siap membahas. Oleh karena itu, Polri sebaiknya segera mengajukan agar bisa dimasukkan dalam APBNP.”
Hidayat menilai, upaya MUI mendesak Kapolri dengan memanggil ormas Muslimah merupakan sikap yang baik. Namun, kata dia, tanpa memanggil ormas pun, MUI tetap bisa menghadap dan meminta Polri segera mengeluarkan izin penggunaan jilbab. “Pada dasarnya, Jenderal Polisi Sutarman tidak asing dengan jilbab. Sebab, beliau juga pernah di madrasah,” katanya.
Menurut Hidayat, polisi akan jadi sosok yang dihormati sebagai pengayom masyarakat jika membolehkan penggunaan jilbab. Jika penundaan jilbab tidak segera dicabut, ia menegaskan, tidak akan menguntungkan siapa pun. n ani nursalikah/c20 ed: chairul akhmad
Berita-berita lain bisa dibaca di harian Republika. Terima kasih.