Jumat 24 Jan 2014 08:01 WIB
Optimalisasi Ekonomi Syariah

Ekonomi Konstitusional Perlu Gandeng Syariah

Ketua Umum PP Muhammadiyah Prof Din Syamsuddin
Foto: ist
Ketua Umum PP Muhammadiyah Prof Din Syamsuddin

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Sebagian kalangan menilai pertumbuhan ekonomi saat ini tak sejalan dengan pemerataan ekonomi penduduk. Hal ini terlihat dari pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) pada 2012 sebesar 1,2 juta dolar di mana nominalnya Rp 7.000 triliun.

Akan tetapi, pemerataan pendapatannya buruk dengan menempati peringkat ke-82 dari 136 negara. Karena itu, sepatutnya pemerintah lebih mengedepankan kepentingan kesejahteraan dibandingkan pertumbuhan ekonomi.

Ketua Umum PP Muhammadiyah Dien Syamsudin menyatakan, Cina bisa memadukan ekonomi sosialis dengan bermacam prinsip. “Prinsip itu, antara lain, memperkuat kehadiran pemerintah dan landasan budaya konfusianisme,” ujar Dien pada Roundtable: Evaluasi Ekonomi Indonesia dalam Perspektif Ekonomi Islam di Jakarta, Kamis (23/1).

Karena itu, Indonesia yang dari awal cita-citanya meningkatkan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa bisa menggandeng ekonomi Islam. “Karena dasar dari prinsip dalam Islam ialah kesejahteraan bagi semua,” tuturnya.

Ia juga menyatakan, saat ini terjadi kesenjangan antara cita-cita bangsa dan fakta di lapangan. Khususnya, ungkap dia, cita-cita nasional meningkatkan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa.

Begitu juga dengan prinsip perekonomian nasional berdasarkan demokrasi ekonomi berasaskan keadilan, kebersamaan, dan keseimbangan kemakmuran yang bersifat teritorial. Ia menyebut hal itu sebagai ekonomi konstitusional.

Sayangnya, fakta di lapangan tak terjadi keseimbangan kemakmuran. Apalagi, kedaulatan negara malah runtuh oleh penguasaan energi. “Maka itu, Muhammadiyah selalu menyerukan jihad energi,” tegas Dien.

Fakta di atas semakin menguatkan asumsi bahwa terjadi inkonsistensi, bahkan ada deviasi dan distorsi dari cita-cita nasional dan konstitusi bangsa. “Muhammadiyah perlu atau menyatakan perlu adanya sustainable economic with meaning,” ujarnya.

Dalam artian, pembangunan dan pertumbuhan ekonomi harus bermakna bagi semua. “Karena, apa artinya jika ekonomi tumbuh, namun rakyat melarat,” ucap Dien Syamsuddin.

Dalam acara yang sama, Ketua II Ikatan Ahli Ekonomi Islam Indonesia Abbas Ghozali menyatakan, tujuan ekonomi Islam secara umum adalah kesejahteraan. Namun, bukan hanya bersifat materi, melainkan juga kesejahteraan seluruh aspek untuk kebahagiaan dunia dan akhirat. Selain itu, juga sangat memperhatikan pembangunan manusia seutuhnya.

Bahkan, ia menambahkan, Islam sangat memperhatikan konsumsi yang berdasar kepentingan pribadi, namun juga memperhatikan kepentingan umum. Begitu juga dengan distribusi pendapatan dan berdirinya pasar. Khususnya, pasar yang sesuai tujuan ekonomi Islam dan bukan pasar bebas. “Pasar bebas sering kali menyimpang dari persaingan sempurna dan mengarah ke monopoli, oligopoli, dan monopsoni,” papar Abbas Ghozali.

Menurutnya, dilihat dari sudut pandang ekonomi Islam, ekonomi Indonesia saat ini belum memenuhi kesejahteraan, bahkan pembangunan manusia. Memang, ungkap dia,  pertumbuhan PDB Indonesia berjalan tinggi di mana posisi Indonesia saat ini peringkat ke-15 pada 2012. Tak heran Indonesia masuk G-20.

Hanya, PDB per kapita Indonesia rendah dan menempati urutan ke-158 dari 227 negara pada tahun yang sama. PDB per kapita Indonesia hanya 4.900 dolar AS. Belum lagi, pemerataan pendapatan Indonesia dengan nilai indeks Gini 0,410 atau masuk peringkat ke-82 dari 136 negara.

Begitu juga dengan indeks pembangunan Indonesia sangat rendah, yaitu 121 dari 186 negara. Selain itu, penerimaan pajak rasio pendapatannya hanya 12,26 persen, padahal negara berkembang rata-rata 18 persen.

Satu hal yang paling miris adalah ekonomi Indonesia didominasi asing. Ia mencontohkan 75 persen pertambangan milik asing. Selain itu, perbankan 50,6 persen (Rp 1.551 triliun dari Rp 3.000 triliun) milik asing. “Bahkan, mayoritas pemilik telekomunikasi adalah asing,” tutur Abbas Ghozali yang juga ketua program studi Magister Manajemen Universitas Muhammadiyah Prof Hamka (UHAMKA). n ichsan emrlad alamsyah ed: irwan kelana

Berita-berita lain bisa dibaca di harian Republika. Terima kasih.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement