SURABAYA - Kekerasan berupa pemukulan dan intimidasi kerap dialami warga asli Dolly. Hal tersebut terjadi karena warga asli dan anak-anak yang tinggal di kompleks lokalisasi prostitusi Dolly-Jarak, Surabaya, mendukung tempat itu ditutup. Wali Kota Surabaya, Jawa Timur (Jatim), Tri Rismaharini (Risma) mengungkapkan, warga asli yang mendukung penutupan kerap diintimidasi dan bahkan dipukul.
Risma menegaskan, dia akan tetap menutup Dolly sesuai jadwal, yaitu 18 Juni 2014. Dia menjelaskan, ada dua landasan hukum yang kuat mengapa Dolly harus ditutup. Pertama, yaitu Peraturan Daerah (Perda) Nomor 7 Tahun 1999 mengenai larangan bangunan atau rumah tinggal difungsikan sebagai tempat asusila dan sebagai tempat pemikatan melakukan tindak asusila.
Kedua, yaitu Undang-Undang Perdagangan Manusia (human trafficking). Sebagai aparat pemerintah, Risma menegaskan harus menegakkan aturan tersebut. Risma mengaku mendapatkan banyak dukungan untuk menutup Dolly. Mayoritas warga asli Dolly pun mendukung agar kompleks prostitusi terbesar di Asia Tenggara itu ditutup secara permanen.
Namun, dia menyayangkan adanya pihak yang kerap mengintimidasi bahkan main aksi pukul terhadap warga Dolly. ''Kan tidak adil seperti itu, karena warga bisa saja berubah pikiran dan mendukung penutupan namun diintimidasi,'' kata Risma, Senin (9/6).
Sayangnya, Risma tidak menyebut siapa pihak yang mengintimidasi warga. Risma mengaku sudah menyampaikan fakta adanya intimidasi warga itu kepada pihak keamanan. Kini, pihak keamanan siap memberikan pengamanan.
Tak hanya warga, Risma juga menceritakan bahwa ia banyak mendapat kiriman surat dari anak-anak yang tinggal di lokalisasi. Anak-anak tidak berdosa itu mengucapkan terima kasih kepada Risma karena pada akhirnya tempat prostitusi itu ditutup. Anak-anak itu juga berterima kasih karena akhirnya bisa belajar setelah Dolly benar-benar ditutup.
Terkait aksi tulis surat yang dilakukan para pekerja seks komersial (PSK) kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), Risma tdak mempermasalahkannya.
Menurutnya, tidak hanya muncikari dan pemilik wisma yang memiliki hak. ''Anak-anak yang tinggal di Dolly itu juga punya hak dan saya bisa juga bisa laporkan ke Komnas HAM,'' ujarnya.
Untuk menutup Dolly, Pemkot Surabaya menyiapkan anggaran yang tidak main-main. Sedikitnya, Rp 25,5 miliar anggaran disiapkan untuk penutupan Dolly. Dana tersebut berasal dari Kementerian Sosial, Pemerintah Provinsi Jatim, dan Pemerintah Kota Surabaya.
Menurutnya, wisma-wisma yang ada di Dolly akan dibeli Pemkot Surabaya dan segera dialihfungsikan. Kalau tempatnya luas, kata Risma, akan dibuat menjadi taman sentra pedagang kaki lima (PKL). Sehingga, para PKL yang berjualan di Dolly tetap bisa berjualan di kawasan tersebut. ''Jika luas wisma kecil, akan dijadikan perpustakaan dan pusat pembelajaran teknologi informasi,'' katanya.
Sementara itu, Ketua Pimpinan Daerah Muhammadiyah Surabaya Zayin Chudlori membenarkan bahwa para warga maupun PSK Dolly yang mendukung penutupan mendapat tekanan. Hal itu terungkap saat pihaknya mengumpulkan 16 warga dan PSK Ahad (8/6) lalu. Hasilnya, kata dia, mereka semua ingin berubah.
Namun, para PSK maupun warga yang ingin bertobat itu mendapat tentangan. ''Mereka diintimidasi, bahkan ada yang diancam tidak boleh menerima bantuan,'' ujarnya. rep:rr leany sulistyawati ed: andi nur aminah
***
Anggaran Pentupan Dolly
Kementerian Sosial : Rp 8 miliar (untuk dana kompensasi)
Pemerintah Provinsi Jawa Timur : Rp 1,5 miliar (untuk kompensasi mucikari)
Pemerintah Kota Surabaya : Rp 16 miliar (untuk pembebasan lahan)
Total : Rp 25,5 miliar
Sumber : Wali Kota Surabaya