Harga-harga kebutuhan pokok di berbagai daerah kini sedang tidak terjaga dengan baik dan tidak stabil. Catatan Republika (9/6) menunjukkan terjadinya kenaikan harga bahan-bahan pangan, seperti beras, daging sapi, telur ayam hingga sayuran, bawang merah, dan cabai. Harga bahan-bahan pangan itu diperkirakan bakal terus meninggi karena kita akan segera menemui Ramadhan dan Lebaran, saat konsumsi akan segala hal melonjak.
Banyak variabel yang memengaruhi kenaikan harga pangan. Katakanlah soal pertumbuhan ekonomi yang kemudian berdampak pada daya beli masyarakat. Daya beli masyarakat menempati posisi yang strategis dalam menjaga harga-harga kebutuhan. Juga dari pengamatan dan analisis para penggiat ekonomi, kenaikan harga-harga komoditas penting memang dipicu oleh meningkatnya harga di pasar internasional. Padahal, bangsa kita amat bergantung pada pasokan impor dalam memenuhi kebutuhan dalam negeri.
Sangat aneh memang jika kita berontak dengan kenaikan harga komoditas pertanian di level internasional. Barangkali yang harus kita sesali adalah mengapa bangsa yang katanya dibangun dengan berbasiskan pertanian, toh juga harus melakukan impor. Kita lalai membangun fondasi pertanian kita, khususnya dalam pemenuhan kebutuhan pangan. Kita terpaku dengan budi baik negara luar yang seolah-olah memberi kemudahan dan kemurahan untuk memakai produk mereka. Politik dumping yang diterapkan oleh bangsa-bangsa lain, membuat kita terlena untuk tidak memperkuat fondasi pertanian dalam negeri.
Pemerintah sebenarnya sudah memiliki konsep yang mendasar mengenai pengamanan kebutuhan pokok masyarakat, termasuk peran negara dalam melunakkan mekanisme pasar yang berlebihan demi kepentingan rakyat. Sudah ada Surat Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomor 115/MPP/Kep/2/1998 yang mengatur penyediaan barang kebutuhan pokok. Juga, UU No 7 Tahun 1996 tentang Ketahanan Pangan mengatakan bahwa ketahanan pangan adalah kondisi di mana terjadinya kecukupan penyediaan pangan bagi rumah tangga yang diukur dari ketercukupan pangan dalam hal jumlah dan kualitas dan adanya jaminan atas keamanan (safety), distribusi yang merata, dan kemampuan membeli.
Anehnya, tidak pernah lepas dari masalah sembako yang pasokannya sering menghilang atau, kalau tidak, harganya melonjak. Kenaikan harga kebutuhan pokok yang tak terkendali mengingatkan kita bahwa ketahanan pangan kita sangat memprihatinkan dan rapuh. Indonesia sebagai negeri agraris, dengan lahan yang subur dan luas, tetapi masih banyak mengandalkan hasil pertanian dari luar negeri.
Bagaimana agar ketahanan pangan bisa dicapai? Bukan saja agar kita tidak terlalu bergantung pada luar negeri, melainkan juga sekaligus menyejahterakan masyarakat Indonesia yang sebagian besar adalah petani. Pertama, pemerintah perlu mendorong peningkatan produksi pada komoditas yang banyak dibutuhkan oleh masyarakat. Perlu adanya pemberian bibit unggul, baik untuk padi, kedelai, atau yang lain. Rangsangan juga bisa dilakukan lewat pemberian kredit berbunga rendah. Bisa juga berupa jaminan pasar karena selama ini banyak kasus ketika terjadi panen raya harga komoditas anjlok sehingga petani harus tekor. Langkah lain adalah dengan memberikan subsidi harga pada petani. Subsidi ini jamak terjadi, bahkan di Amerika ataupun Jepang.
Kedua, meningkatkan upaya pengembangan pangan alternatif yang berbasis umbi-umbian (ubi, ketela, garut, dan lain-lain), tanaman pohon (sukun dan sagu), serta bahan pangan berbasis biji-bijian (beras, jagung, sorgum, dan lain-lain), yang juga dapat diproses menjadi tepung, yang bisa tahan lebih lama, dapat diperkaya dengan mineral dan vitamin, serta lebih fleksibel pengolahannya.
Masyarakat luas bersama pemerintah perlu terus-menerus melaksanakan sosialisasi dan kampanye diversifikasi pangan, disertai bimbingan teknis dan insentif ekonomi dari pangan pokok beras pada pangan pokok lokal lainnya. Untuk membangun kemandirian pangan, diperlukan pula kebijakan pengembangan agroindustri pangan secara terpadu dari hulu sampai hilir. Amat penting mengembangkan dengan baik bagian paling hulu, yaitu produksi benih yang berkualitas. Tanpa memiliki industri benih yang baik, mustahil peningkatan produksi dapat terjadi. Demikian pula, pada industri-industri pendukungnya, seperti peralatan pertanian dan permesinan serta pupuk dan obat-obatan.
Ketiga, melalui percepatan penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek), termasuk bioteknologi dan rekayasa genetika dalam bidang pangan diharapkan dapat dihasilkan produk pangan yang meningkat dan berdaya saing tinggi. Dengan melihat besarnya peningkatan produksi pangan yang kita butuhkan, upaya peningkatan produksi itu perlu ditempuh melalui semua cara yang tersedia, baik intensifikasi, ekstensifikasi, rekayasa genetika, maupun diversifikasi pangan.
Keempat, visi-misi capres untuk membangun kedaulatan pangan, energi, dan sumber daya alam harus benar-benar diwujudkan. Selanjutnya, perlu dihidupkan kembali menteri muda urusan pangan yang memiliki peran, fungsi, dan kewenangan mengatur dan mengendalikan pangan serta optimalisasi fungsi Bulog, yaitu sebagai lembaga stabilisasi harga kebutuhan pokok. Pemerintah juga perlu segera membentuk kelembagaan pangan sebagaimana amanat Pasal 126 UU No 18/2012 tentang Pangan. Dengan terbentuknya kelembagaan pangan, diharapkan bisa menjadi solusi dalam menuntaskan permasalahan (krisis) pangan yang kini melanda negeri ini.
Agaknya, kita perlu mengingat kata dan pesan Bung karno terkait dengan pangan. Bung Karno menyatakan bahwa pangan merupakan persoalan hidup dan mati bangsa. Maka, jika tidak dipenuhi, berarti matinya bangsa. Sebab itu, pangan merupakan hak bagi warga negara dan menjadi pertahanan terakhir negara. Terkait dengan hal ini, sebagai suatu bangsa adalah terus-menerus melakukan peningkatan produktivitas dan kualitas produk-produk kita, membangun daya saing yang semakin tinggi dalam upaya meningkatkan kesejahteraan rakyat.
Sutrisno
Penulis adalah Mahasiswa Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS)