oleh:Mokhamad Abdul Azaz -- Setelah menjadi isu nasional dengan perjuangan yang lama, akhirnya ada titik terang soal kejelasan penerapan busana jilbab untuk polwan Muslimah.
Rancangan jilbab polwan tersebut diperkenalkan Wakil Kepala Kepolisian RI Komisaris Jenderal Badrodin Haiti dalam agenda Rapat Kerja bersama Komisi III DPR RI, Rabu (2/7). Badrodin mengajukan anggaran seragam polisi wanita (polwan) berjilbab yang ter masuk program peningkatan sarana dan prasarana aparatur Polri yang diajukan Rp 7,658 triliun dan dilaksa nakan 579 satuan kerja. Kelengkapan seragam polwan berjilbab itu termasuk kelengkapan perorangan yang diketahui polwan beragama Islam 10.546 orang atau 74,05 persen dari total 14.242 polwan. (Republika, 3/7).
Ini menjadi harapan para polwan Muslimah khususnya dan umat Islam. Sebab, akhir tahun lalu, Polri menunda penggunaan jilbab pada polwan karena terkendala anggaran. Kini, DPR RI menyutujui anggaran yang diajukan Polri.
Selanjutnya, anggaran diajukan tersebut disampaikan ke Badan Akuntabilitas Ke uangan Negara DPR RI untuk ditindaklanjuti. Setelah itu, Polri melaksa nakannya. Seragam polwan berjilbab ada surat perintah
dikeluarkan berda sarkan nomor: Sprin/1164/VI/2013 tanggal 26 Juni 2014 dan Sprin/1063/VI/2014 tanggal 17 Juni 2014.
Polemik pengenaan jilbab polwan saat menjalankan tugas ini bukan persoalan baru. Namun, masalah ini menjadi “keruh” karena langkah Polri memutuskan hal tesebut lamban. Beberapa waktu lalu, sempat Kapolri Jenderal Pol Sutarman menginstruksikan jajaran polwan bahwa mereka boleh menggunakan jilbab saat bertugas. Namun, intruksi itu harus ditunda pelaksana an nya, menyusul keluarnya telegram rahasia perihal penundaan jilbab.
Mekipun sudah masuk dalam proses persetujuan anggaran DPR, tetapi langkah ini terlambat. Menjadi aneh bahwa negeri mayoritas penduduknya bera gama Islam ini, melarang warga negaranya, dalam konteks ini adalah polwan, menjalankan perintah agama. Padahal, Inggris—yang Islam merupakan agama minoritas dianut penduduknya—justru membolehkan polwan beragama Islam mengenakan jilbab saat bertugas. Tentu, ini menjadi pukulan telak bagi umat Islam di Indonesia.
Kewajiban Muslimah Dalam Islam, memakai jilbab bagi Muslimah adalah kewajiban. Oleh karena itu, setiap Muslimah harus mengenakan jilbab, tanpa memandang profesi apa pun, karena Islam mengajarkan keadilan. Namun, pembahasan mengenai jilbab di kalangan umat Islam mengalami perbedaan pendapat. Dalam konteks ini, yang menjadi perdebatan bukanlah bentuk atau bagaimana jilbab itu, tetapi para ulama bersepakat bahwa setiap orang, baik pria atau wanita, diwajibkan menutup aurat.
Sementara, batasan aurat bagi wanita adalah seluruh tubuhnya, kecuali wajah dan kedua tapak tangan. Sampai di sini pun ada lagi perdebatan, apakah menutup aurat itu selama mengerjakan shalat saja, atau juga ketika berhadapan lawan jenis yang bukan mahram.
Dengan demikian, ada berbagai perbedaan mengenai keyakinan memakai jil bab. Dan, itu sah saja, sebagai wujud perbedaan manusia dalam memahami ajaran agama. Untuk konteks polwan tentu juga sama. Ada polwan Muslimah yang meyakini bahwa memakai jilbab adalah kewajiban, termasuk di luar shalat, dan ada juga yang meyakini hanya waktu shalat diwajibkan menutup aurat.
Namun, sebagian besar Muslimah Indo nesia berse pakat menutupi aurat; mengenakan jilbab merupakan kewajiban Muslimah, baik dalam maupun di luar shalat. Jika sudah demikian, maka tidak ada alasan bagi negara melarang polwan memakai jilbab saat bertugas. Sebab, hal itu merupakan wujud dari kebebasan memilih agama dan menjalan kannya.
Terlepas dari perdebatan itu, Polri harus memberikan kebebasan kepada warga negara untuk meyakini memakai jilbab merupakan kewajiban Muslimah.
Kebijakan yang terbilang besar ini merupakan tindak lanjut Polri terhadap aspirasi masyarakat yang ber harap polwan diberi kebebasan mengenakan jilbab.
Tidak hanya dari masyarakat, banyak anggota Korps Polisi Wanita di Tanah Air yang ingin memakai jilbab saat menjalankan tugas. Bahkan, salah seorang polwan di Jawa Tengah berterus terang (curhat) kepada seorang kiai dan beritanya diekspose oleh media massa.(Baca: Republika Online (ROL), 4/6/ 2013).
Tentu ini menjadi sangat ironis, karena institusi sebesar Polri ternyata belum memperhatikan prinsip hak asasi manusia (HAM) dan pluralitas anggo tanya. Bukan hanya hak asasi sebenarnya, UUD NKRI 1945 mengamanatkan setiap warga negara berhak me milih dan menjalankan ajaran agama sesuai kepercayaannya.
Dalam hal ini, UUD 1945 amendemen sebenarnya mengatur rinci tentang kebebasan beragama. Pasal 28E ayat (1) menegaskan bahwa setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya. Hak kebebasan beragama juga dijamin Pasal 29 ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan bahwa negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.
Tak hanya itu, Pasal 28E ayat (2), Pasal 28I ayat (1), Pasal 28I ayat (4), dan Pasal 28I ayat (2) UUD 1945 juga mengatur jelas kebebasan warga negara dalam menjalankan kepercayaannya.
Dalam konteks ini, Polri telah me nerabas pasal-pasal di atas. Padahal, Polri sebagai institusi negara seharusnya justru menjalankan amanat UUD 1945 itu dengan penuh tanggung jawab.
Konsekuensi dari UUD NRI 1945 itu adalah negara bertanggung jawab untuk melindungi, memajukan, dan meme nuhi kebebasan beragama sebagai hak asasi manusia (Pasal 28I ayat (4) UUD 1945). Negara juga harus menjamin bahwa seseorang tidak diperlakukan secara diskriminatif atas dasar agama yang diyakini dan ibadah yang dijalankannya (Pasal 28I Ayat (2) UUD 1945). Agar Polri tidak menerabas pasal-pasal di atas maka sebagai intitusi negara yang dihormati, seharusnya justru menjalankan amanat UUD NRI 1945 itu penuh tanggung jawab.