Visi dan misi dari setiap pasangan capres-cawapres sudah kita dengar. Program kerja mereka sudah kita simak. Janji-janji mereka sudah kita persaksikan. Bahkan, mungkin, sebagian kita juga sudah ada yang menerima manfaat selama masa kampanye dari setiap pasangan capres-cawapres dan tim mereka.
Tidak mudah memang memilih satu pasangan dari dua pasangan yang ada. Apalagi, kedua pasang capres-cawapres memiliki kekuatan merata dengan kelemahan masing-masing. Kedua pasangan tersebut memungkinkan untuk memenangi "pertarungan" ini. Pasangan Prabowo-Hatta didukung partai koalisi besar dan Hatta punya kelebihan pengalaman di pemerintahan, sedangkan Jokowi-Kalla didukung partai pemenang pileg ditambah elektabilitas Jokowi yang tinggi serta Jusuf Kalla pernah menjadi wakil presiden. Jika masih bingung, shalat istikharah bagi yang Muslim, untuk meminta bantuan Allah dalam menentukan pilihan, dapat menjadi alternatif.
Dalam hal pilihan, hendaknya jangan memilih dari sosok, penampilan, kepandaian berpidato, dan keahlian menabur janji. Janganlah seperti saat kita membeli buah, tergiur karena kulitnya, tetapi isinya ternyata busuk, atau dalam bahasa politik, "janganlah beli kucing dalam karung".
Ada adagium terkenal tentang sejarah yang mengatakan hari/masa depan ditentukan oleh hari/masa kini. Hari/masa kini ditentukan masa lalu. Sejarah itu berkelanjutan dan merupakan rantai yang saling memengaruhi, turut menentukan pengertian kita tentang dan dalam menyusun visi, misi, dan program kerja. Jadi, visi, misi, dan program kerja kita ke depan ditentukan oleh visi, misi, dan program kerja mengenai masa kini, dan visi, misi, dan program kerja masa kini terbentuk dari penilaian kita mengenai keadaan kita dewasa ini.
Tentang penilaian yang ekstrem negatif terhadap pemerintah, khususnya terhadap presidennya, dalam demokrasi sikap-sikap/pendapat-pendapat yang demikian itu sah-sah saja. Tidak berarti sikap-sikap/pendapat-pendapat yang demikian itu benar, apalagi jujur (karena sudah ada praduga yang disebabkan, antara lain oleh kekecewaan, karena ekspektasi terlalu tinggi dan/atau oleh karena pengalaman-pengalaman pribadi). Keadaan bangsa dan negara dewasa ini memang belum pulih, masih harus bangkit dan beranjak kembali dari krisis multidimensi.
Memang, beragam problem akut masih membelit negeri ini. Mulai dari pengangguran, kemiskinan, kesehatan dan lainnya. Korupsi yang kian membudaya dengan seabrek kasus, TKI yang terus dirundung derita di negeri orang, kedaulatan negara dilanggar negara lain, utang luar negeri yang terus bertambah, lumpur Lapindo yang masih menyisakan segudang masalah, profesionalisme TNI/Polri, AIDS, narkoba, terorisme, pornografi-pornoaksi, konflik sosial, dan beragam problem lainnya yang terjadi.
Untuk itu, dibutuhkan heroisme untuk memerangi semua persoalan bangsa. Secara psikologis, heroisme tidak dimiliki secara eksklusif, tetapi berakar dalam kodrat manusia umumnya, seperti diungkapkan oleh William James di atas. Ada kecenderungan manusia untuk menganggap dunianya (keluarga, bisnis, karier, bangsa, dan sebagainya) sebagai teater peragaan heroisme. Akar heroisme sendiri terkait, meminjam istilah Freud, narsisisme (Ernest Becker, The Denial of Death, New York: The Free Press, 1973).
Sebenarnya tidak terlalu istimewa heroisme para kandidat presiden untuk menjadi penyelamat bangsa. Yang lebih penting, apakah heroisme itu membuahkan hal positif. Tuntutan masyarakat, terutama rakyat, pemimpin mendatang mampu memimpin dan memberi arah yang jelas bagi perbaikan bangsa. Semua calon mempunyai visi tentang Indonesia yang lebih baik, tetapi tiada jaminan mereka akan efektif bila terpilih.
Tanpa kepemimpinan yang berorientasi kepada rakyat, mendengar dan menindaklanjuti suara rakyat, pemimpin mendatang akan mengulangi cerita kepresidenan sebelumnya. Inefektivitas kekuasaan. Apalagi, heroisme simbolis menyimpan problem laten, yakni rasa percaya diri terlampau besar tetapi tidak mampu melihat kekurangan diri (Yonky Karman, 2004).
Pemimpin yang dibutuhkan adalah seperti dikatakan Ronggowarsito: "...sing sembodo lan waspodo". Dibutuhkan seorang pemimpin yang kuat, bukan dalam berpidato, bukan juga yang berani dalam memecat orang dan memberi janji-janji, namun yang kuat dalam menghadapi godaan dari kekuasaan, dan yang berani mengambil jarak/distansi dari kekuasaan. Jika yang kita inginkan adalah demokrasi. Seorang presiden terpilih, berdasarkan pemikiran yang negatif mengenai masa kini, dapat mengintroduksi aneka kebijakan ekonomi, politik, sosial budaya, dan keamanan baru yang sama sekali berbeda dari yang ada.
Sutrisno
Mahasiswa Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS)