Tidak bisa dimungkiri bahwa salah satu area pertempuran politik terpanas dalam pemilihan presiden Indonesia kali ini adalah media sosial. Perbedaan dua kutub kepentingan kandidat telah menyebabkan polarisasi yang tajam dan panas di antara pengguna situs jejaring sosial.
Tak hanya pada masa kampanye, bahkan pascapengumuman KPU 22 Juli kemarin euforia dan sinisme politik di antara dua kubu masih terasa gonggongannya di linimasa. Pengguna yang dulunya apatis dan apolitis dibuat untuk mau tidak mau terlibat secara emosional pada kutub tertentu ataupun justru semakin jengah dan risi dengan banjir pergunjingan politik yang beredar di media sosial.
Pembaca linimasa sering dibuat tenggelam tanpa sadar dalam dikotomi kami vs mereka, ingroup vs outgroup, serta benar vs salah. Masing-masing kubu menganggap dirinya adalah penegak kebajikan, sedangkan kubu yang berseberangan adalah kubu yang batil dan mengancam. Favoritisme ingroup sebagai kelompok pembela kebenaran hampir ada di benak setiap pendukung dengan menganggap kelompok lain sebagai lawan yang salah.
Foto:FIKRI YUSUF/ANTARA
Logistik Pilpres
Pernyataan baik dari kubu tertentu tak akan pernah menjadi baik pada kubu sebelahnya, sementara pernyataan yang salah dan blunder pada kubu sendiri, akan sesegera mungkin dicari pembenarannya oleh para pendukungnya sendiri. Linimasa kemudian menjadi lautan pencarian dan penciptaan pernyataan politik untuk mengagung-agungkan preferensi tertentu sekaligus melontarkan pandangan nyinyir dan sinis pada preferensi yang berbeda.
Kebebasan ekspresi, baik dalam bentuk aksi saling dukung dan hujat yang masif dan sporadis memang sulit bisa dihindari ketika dukungan terpolarisasi pada dua kandidat, apalagi di dalam dunia siber. Anonimitas visual telah memberikan efek kebebasan online (Suler, 2004) yang berdampak pada peluang yang egaliter bagi setiap orang untuk lebih berani menyuarakan dan mengekspresikan dirinya sendiri, namun pada taraf tertentu sifat anonim ini justru dapat menjadi racun yang merusak bagi diri sendiri dan orang lain.
Efek merusak ini disebut Suler (2004) sebagai toxic disinhibition. Seseorang atau kelompok dapat dengan mudah larut dalam bullying dan sarkasme yang tak berkesudahan. Superego dan nilai-nilai moral yang dipercaya secara kognitif dalam dunia nyata seakan dapat dikesampingkan secara temporer dalam dunia online, dengan menjadi pribadi yang berbeda dan terbebas dari tanggung jawab atas hubungan-hubungan sosial .
Di saat yang sama, kegaduhan politik dan kecepatan penyebaran informasi di linimasa yang supersporadis membuat pengguna nyaris dibuat tak pernah berjarak dengan dirinya sendiri. Mereka tak berkesempatan dan sulit membedakan mana fakta dan mana interpretasi realitas yang dibumbui perspektif kepentingan tertentu. Audiens media sosial yang percaya mentah-mentah acap kali tanpa ragu ikut menyebarkan informasi yang nyinyir dan penuh gosip yang belum bisa dipastikan kebenarannya.
Ironisnya, carut-marut informasi yang sarkas yang ditunggangi kepentingan di linimasa justru sering kali dipercaya dan dijadikan pembenar keyakinan para pendukung tanpa peduli dengan bias internal. Tidak tebersit dalam pikiran mereka bahwa sesungguhnya dalam logika kepentingan tak pernah putih absolut sebagaimana juga tak pernah ada yang benar-benar hitam.
Aksi dukung dan hujat sporadis dapat seketika memunculkan sentimen tertentu pada kesejahteraan psikologis seseorang. Kramer dkk (2013) meneliti efek penularan mood secara masif dengan melibatkan 689.003 pengguna Facebook dengan memanipulasi valensi konten di linimasa. Mereka menemukan bahwa linimasa yang berisi ekspresi negatif akan berdampak masif pada pengguna lain dalam menampilkan lebih banyak posting negatif dibandingkan positif. Sebaliknya, jika linimasa bermuatan positif akan berdampak pada ekspresi posting audiens yang lebih positif dibandingkan negatif. Singkat kata bahwa suasana emosi apa pun yang kita tulis dalam linimasa akan dengan mudah menular melalui jejaring yang kita punya.
Sehingga, bisa dibayangkan bagaimana lalu lintas pernyataan politik yang sporadis di linimasa membuat mood dan emosi tidak ubahnya seperti bola yang ditendang ke sana-kemari. Pengguna jejaring sosial kemudian terjebak dalam rasa benci, jengah, dan kesal yang berlebihan serta puja-puji yang tidak proporsional terhadap kandidat tertentu.
Kondisi emosi manusia menjadi rentan dan rapuh karena diombang-ambing oleh kegaduhan di linimasa. Tidak stabilnya kondisi emosi ini akan diperparah jika manusia gagal untuk memahami sudut pandang berbeda dari dirinya. Memasrahkan diri dalam favoritisme ingroup tanpa kesadaran kritis, apalagi dengan hanya memercayakan kebenaran atas interpretasi isu di sosial media yang carut-marut, justru akan membuat kesejahteraan psikologis kita semakin rendah.
Barangkali, bila arus informasi di media sosial membuat hidup kita menjadi nyinyir, penuh rasa benci, dan marah pada objek tertentu, maka di saat yang sama kita perlu mengambil jarak dari realitas keseharian dan mulai merenung dalam-dalam. Jangan-jangan objek dan kelompok yang kita bully, hujat, dan benci bukanlah pemicu dan katalisator sebenarnya yang menyebabkan jebloknya mood kita. Alih-alih terprovokasi dan marah dengan berita negatif oleh pihak lain, ternyata kita sendiri turut andil dalam efek berantai yang menyebabkan turunnya kesejahteraan psikologis diri sendiri dan orang lain.
Rahkman Ardi Dosen Fakultas Psikologi Universitas Airlangga, Kandidat PhD di University of Warsaw