Dibandingkan dengan kasus korupsi lainnya, kasus yang menimpa Anas Urbaningrum (AU) termasuk yang paling menyedot perhatian media. Hal ini setidaknya tergambar dari pelbagai pemberitaan, sejak jauh hari (sekitar dua tahun) sebelum AU ditetapkan menjadi tersangka, ketika ditetapkan sebagai tersangka, saat penahanan hingga persidangan yang kini tengah berlangsung.
Kasus AU dinilai cukup kontroversial. Ada penyataan "tekanan" Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dari Jeddah. Ada pula sprindik yang "dibocorkan" yang mendahului prosesnya. Kasus AU juga begitu menarik perhatian para ahli hukum. Ada ahli hukum yang meminta kalau tak cukup alat bukti agar kasus AU dihentikan. Ada juga pandangan agar sebelum menersangkakan seseorang, KPK memperhatikan banyak sisi, termasuk sisi kemanusiaan tersangka, dan beragam komentar lainnya.
Fakta persidangan
Setelah menjalani masa penahanan secara maksimal, sejak 30 Mei 2014 kasus AU mulai disidangkan. JPU mendakwa AU telah menerima Toyota Harrier, Toyota Vellfire, uang Rp 116,525 miliar, uang 5,261 juta dolar AS, dan mendapat fasilitas survei dari PT Lingkaran Survei Indonesia (LSI) senilai Rp 478, 632 juta. AU juga didakwa melakukan tindak pidana pencucian uang (TPPU) sebesar Rp 23,8 miliar. Total duit yang diterima AU menurut JPU digunakan untuk pencalonan AU sebagai ketua umum Partai Demokrat (PD) pada 2010. Sebuah dakwaan yang fantastik dan akan semakin fantastik bila JPU juga memasukkan ocehan-ocehan M Nazaruddin yang ganjil lainnya terkait kepemilikan AU atas uang Rp 2,5 triliun di salah satu bank di Singapura dan apa yang disebut sebagai kantong-kantong bisnis.
Dalam eksepsinya, AU membantah dakwaan JPU dan menyebutnya sebagai dakwaan imajiner, fiktif, dan spekulatif, karena sebagian besar dakwaan berasal dari ocehan-ocehan Nazaruddin. Tetapi seperti biasanya, majelis hakim menolak eksepsi AU. Terkait TPPU, dua majelis hakim berbeda pendapat (dissenting opinion). Menariknya, dua hakim dissenting opinion merupakan hakim non-karier, yang relatif tidak mempunyai "kepentingan" soal masa depan karier hakimnya.
Meskipun eksepsinya ditolak, namun bantahan AU atas dakwaan JPU justru diamini oleh banyak saksi yang dihadirkan JPU. Sekadar contoh persaksian yang justru secara telak memberatkan dan membantah dakwaan JPU yaitu Teuku Bagus Muhammad Noor (mantan kepala Divisi Konstruksi Adhi Karya). Merujuk pada dakwaan JPU, Adhi Karya disebut "memberikan" bantuan kepada AU dan dikaitkan dengan proyek Hambalang. Sejumlah pertanyaan yang diajukan JPU, di antaranya, tentang aliran dana Adhi Karya untuk keperluan Kongres PD dijawab Teuku Bagus dengan jelas dan tegas bahwa tidak tahu apakah dana tersebut sampai pada AU. Di dakwaan JPU pun disebutkan bahwa yang meminta bukan AU, yang menerima juga bukan AU. Yang lebih telak adalah bantahan Teuku Bagus tentang pemberian mobil Harrier sebagai tanda jadi proyek Hambalang. Dialog yang dikutip oleh JPU di dalam dakwaan dibantah oleh Teuku Bagus. Bahkan, Teuku Bagus juga menjelaskan bahwa dia tidak kenal dan tidak pernah bertemu dan memberi uang kepada AU. Padahal jelas, AU menjadi tersangka karena tuduhan menerima gratifikasi Harrier dari Adhi Karya terkait proyek Hambalang.
Demikian juga dengan saksi-saksi lain, Ahmad Mubarok, Ignatius Mulyono, Wafid Muharram, Joyo Winoto, Paul Nelwan, Wasit Suaidy, Nunung Krisbianto, Opapaci, konsultan media, Metro TV, Rakyat Merdeka, dan lain-lain. Keterangannya di persidangan jauh berbeda dengan dakwaan JPU. Yang lebih menarik adalah kesaksian Clara Maureen, bekas pegawai Nazaruddin, yang menjelaskan skenario rekayasa Nazaruddin dan para pegawainya untuk menjerat AU. Clara dan para pegawai Nazaruddin disuruh untuk membikin cerita palsu untuk bisa menjerat AU.
Lazimnya, ketika JPU menghadirkan saksi-saksi harapannya tentu bisa memberatkan tersangka. Namun, yang terjadi justru sebaliknya. Saksi-saksi yang dihadirkan malah melahirkan bantahan atas dakwaan JPU. AU juga meminta JPU agar menghadirkan saksi-saksi yang relevan, sehingga penanganan kasusnya menjadi terang. Anas meminta agar saksi-saksi seperti Munadi Herlambang, Indradjaja Manopol, Ketut Darmawan, dan lainnya harus dihadirkan. Di dalam penyidikan AU juga pernah meminta kesaksian SBY dan Edhie Baskoro Yudhoyono karena dinilai sangat relevan. Faktanya, meskipun disebut dalam BAP, keduanya tidak dimintai kesaksian. Bahkan, ketika diminta menjadi saksi meringankan pun, keduanya juga menolak.
Menghukum dengan adil
Berangkat dari sebagian fakta-fakta persidangan AU, karena sidang masih berlangsung, rasanya tidak berlebihan menyebut bahwa kasus AU terlalu dipaksakan. Terbukti semua dakwaan JPU malah terbantah oleh banyak saksi yang dihadirkan JPU. Bahkan, bukti-bukti yang ditunjukkan JPU ada yang hanya foto kopi dan ada yang penuh coretan.
Siapa pun yang menyaksikan persidangan AU, pasti tidak terlalu sulit menyimpulkan soal ketakterlibatan AU dalam kasus Hambalang. Dalam kasus Hambalang malah sudah patah berkeping-keping. Fakta-fakta persidangan seharusnya menjadi pijakan JPU dalam membuat tuntutan hukum. Atas nama kejujuran dan keadilan, tuntutan hukum mestinya mendasarkan pada fakta persidangan dan bukan dakwaan awal JPU.
Begitu juga majelis hakim. Dalam membuat putusan hukum harus berangkat dari fakta persidangan. Harapannya, majelis hakim akan memutuskannya secara adil dan tidak mendasarkan pada prinsip bahwa "pokoknya" AU harus divonis bersalah dan dijatuhi hukuman dengan mengabaikan fakta persidangan dan mengesampingkan rasa keadilan.
Perlu kawalan publik
Selama ini ada konstruksi persepsi yang begitu mapan di masyarakat bahwa siapa pun tersangka di KPK tak akan pernah lepas. Persepsi ini sesungguhnya bagus, tetapi tidak boleh menjadi absolut. Jika proses hukum pasti membuat orang bersalah dan tinggal diputuskan saja bersalah, substansi persidangan menjadi hilang. Ikhtiar persidangan untuk menemukan keadilan yang sejati menjadi kehilangan kesempatan. Harusnya, KPK dan segala tindakannya yang diharapkan adil dan objektif tetap dilihat sebagai lembaga dengan kumpulan manusia.
Terkait kasus AU, kita semua yang mendukung dan berharap KPK dapat bekerja jujur dan objektif harus melihatnya secara proporsional (adil). Mereka yang sebelum AU ditetapkan sebagai tersangka, begitu ngotot agar KPK segera tersangkakan AU --meski bukti-bukti hukumnya diyakini belum cukup kuat, maka agar kengototan dan dukungannya menjadi adil, saat ini pula mereka semestinya mengawal dan menuntut JPU dan majelis hakim agar memutuskan kasus AU secara adil dengan mendasarkan pada fakta-fakta persidangan.
Kawalan publik ini penting agar supremasi hukum bisa tegak secara adil di bumi Indonesia. Itu juga bisa menjadi cara lain untuk membantu majelis hakim untuk benar-benar bisa berlaku adil. Kiranya akan sangat baik jika Komisi Yudisial secara serius juga mencermati persidangan kasus AU. Tujuannya sama, agar majelis hakim berani untuk memutuskan secara adil berdasarkan kebenaran yang diyakininya. Bukan karena faktor lain yang menekan. Semoga!
Ma'mun Murod Al-Barbasy
Dosen Program Studi Ilmu Politik UMJ dan Fungsionaris Pimnas Perhimpunan Pergerakan Indonesia (PPI).