Perluasan gerakan Islamic State of Iraq-Syiria (ISIS) pimpinan Abu Bakr al-Baghdadi di Indonesia membawa dampak negatif. Yakni pengikisan komitmen kebangsaan sebagian masyarakat kita. Pengikisan ini semestinya tak perlu terjadi sebab negara kita secara substantif bersifat Islami.
Akhir-akhir ini kita disibukkan dengan hadirnya ISIS yang membawa dua wacana sekaligus: khilafah Islamiyyah dan terorisme. Isu pertama bersifat ideologis dan terkait dengan masa depan politik kewargaan (citizenship) masyarakat kita. Isu kedua terkait dengan keamanan nasional. Resolusi DK PBB pada 14 Mei 2014 menetapkan ISIS sebagai bagian dari terorisme, serta dukungan kelompok teroris, Kelompok Mujahid Indonesia Timur pimpinan Santoso, memperkuat wacana ini.
Pada saat bersamaan, seruan al-Baghdadi agar umat Islam berpindah negara, dari negara-bangsa yang dianggap taghut, menuju khilafah Islamiyyah (ISIS), tentu merupakan seruan yang melanggar kedaulatan negara lain, termasuk Indonesia. Seruan inilah yang disambut oleh aktivis pejuang khilafah untuk melakukan baiat atas kekhalifahan al-Baghdadi. Sampai saat ini, penyebaran ISIS telah merambahi banyak wilayah, seperti Jawa Barat, Jakarta, Jawa Tengah, Madura, Aceh, Riau, Kalimantan, dll.
Persoalan yang hendak diangkat tulisan ini adalah masa depan politik kewargaan masyarakat Muslim, yang tengah dikikis oleh gerakan politik transnasional yang tentu saja ingin mendelegitimasi kebangsaan RI. Persoalan ini sebenarnya telah mendekam lama sejak di dalam tubuh kebangsaan kita, dan terpatri di dalam problem pendidikan, khususnya pendidikan Islam.
Kewargaan pendidikan
Pada tahun 2013, Puslitbang Pendidikan Agama dan Keagamaan merilis Laporan Pendidikan Keagamaan. Selain mengangkat isu teknis pendidikan, laporan ini juga merangkum hasil penelitian kami atas pendidikan kewargaan dan komitmen kebangsaan di lingkungan pendidikan.
Hasilnya beragam. Di lingkungan pendidikan menengah, yakni SLTA, rasa kebangsaan berkelindan dengan persetujuan atas penerapan syariat. Sebanyak 87,1 persen siswa SLTA sepakat dengan formalisasi syariat, baik dalam bentuk hukuman potong tangan pencuri (52,3 persen) maupun pengawasan atas ibadah puasa (45,5 persen). Hanya saja persetujuan ini lebih bersifat imani daripada ideologis, sebab ia dibarengi dengan komitmen atas nasionalisme dan kesetaraan gender. Sebanyak 67,5 persen siswa tak sepakat dengan partai berbasis agama, dan 76,3 persen tak sepakat dengan larangan presiden perempuan. Artinya, komitmen atas syariat merupakan ekspresi keimanan, bukan bagian dari ideologi Islamisme.
Keteladanan siswa juga masih mengarah pada sosok moderat seperti KH Abdurrahman Wahid (13,9 persen), disusul KH Ahmad Dahlan (5,6 persen) dan Eka Darmaputera (0,5 persen). Terdapat pula pengidolaan atas Abu Bakar Ba'asyir (0,7 persen) dan Habib Rizieq (0,5 persen). Gambaran ini menandai afiliasi keorganisasian siswa, di mana NU dan Muhammadiyah mencapai 19,4 persen dan 5,7 peren. Siswa kita juga terlibat di dalam FPI (2,9 persen), Jamaah Anshorut Tauhid (1,9 persen), Majelis Mujahidin Indonesia (1,2 persen), dan HTI (1,6 persen).
Di kalangan perguruan tinggi, 39,4 persen mahasiswa program studi MIPA memiliki corak keagamaan eksklusif. Hal ini searah dengan kesepakatan sebagian mahasiswa aktivis Islamis di PTAI atas penggunaan kekerasan untuk mewujudkan cita politik Islam. Hanya saja corak ekslusif ini membuyar di hadapan kesepakatan bersama semua mahasiswa atas kondisi politik nasional. Artinya, ketika dihadapkan pada keprihatinan bangsa, 75 persen mahasiswa di PTUN dan PTAI bersatu dan mengesampingkan perbedaan agama.
Di kalangan pesantren, rasa kebangsaan terasa kuat. Hal ini terjadi selama segenap nilai-nilai politik modern seperti demokrasi,negara-bangsa, dan Pancasila tidak bertentangan dengan Islam. Demikian pula dalam hal jihad. Mayoritas pesantren salafiyyah memaknai jihad sebagai kesungguhan beribadah dan menuntut ilmu. Jihad bisa saja bermakna perang, hanya di dalam kondisi perang. Karena Indonesia bukan wilayah perang (dar al-harb), maka jihad perang tak berlaku di negeri ini.
Dari sini terlihat bahwa mainstream dunia pendidikan kita masih bersifat moderat, meskipun terdapat benih radikalisme pemahaman agama. Potensi radikalisme terbesar memang di perguruan tinggi, karena sebagaimana riset Ronald L Bull, pendidikan tinggi merupakan "pasar bebas" ideologi-ideologi Islam. Di dalamnya terjadi lalu-lintas paham "keislaman impor"yang diuntungkan oleh iklim keagamaan urban (Bull, 2013:25). Suburnya ISIS di lingkungan PTAI perkotaan menunjukkan bahwa keawaman keagamaan mahasiswa urban menjadi "santapan lezat" bagi Islam ideologis ini.
Kebangsaan Islam
Yang perlu dipahami bersama adalah fakta bahwa negara kita secara substantif bersifat Islami. Secara ideologis, ia merupakan negara ketuhanan karena menempatkan tauhid (Ketuhanan Yang Maha Esa) sebagai sila pertama Pancasila. Dengan cara ini, segenap kebijakan negara tidak akan mencederai nilai-nilai agama.
Dalam kaitan ini kita perlu menengok status kebangsaan Indonesia yang oleh para ulama ditetapkan sebagai dar al-Islam, bukan dar al-salam, apalagi dar al-harb. Masing-masing status memiliki risiko. Dar al-Islam adalah wilayah Islam, di mana menurut Bughyatul Mustarsyidin karya Syeikh Abdurrahman Ba'alawi: syariat Islam dilaksanakan oleh umat Muslim, dan pernah tegaknya kekuasaan Islam, yakni kerajaan-kerajaan Islam Nusantara. Dar al-Islam ini berbeda dengan daulah Islamiyyah yang didirikan oleh ISIS, sebab sebuah wilayah bisa bersifat Islami tanpa harus berpemerintahan Islam. Sementara itu, dar al-salam merupakan wilayah damai, tetapi bisa tidak bersifat Islami. Sedangkan, dar al-harb ialah wilayah perang yang oleh kaum radikal menjadi objek terorisme. Bagi ISIS, Indonesia bisa dianggap sebagai dar al-harb karena tidak menegakkan daulah Islamiyyah.
Setelah menetapkan status wilayah nusantara sebagai dar al-Islam, para ulama mengesahkan Presiden Soekarno dan semua presiden RI sebagai pemimpin darurat yang memiliki otoritas menerapkan hukum Islam. Penetapan Presiden RI sebagai pemimpin darurat disebabkan oleh ketiadaan khalifah tunggal pascaruntuhnya Khilafah Ustmaniyah Turki. Dengan pengesahan ini, presiden RI memiliki wewenang menerapkan syariat Islam melalui pendirian peradilan Islam dan Kementerian Agama.
Oleh karena itu, ketika al-Baghdadi mendeklarasikan diri sebagai khalifah, deklarasi ini tidak mampu menghapus status syar'i Presiden RI sebagai pemimpin berotoritas di negara Indonesia. Apalagi klaim al-Baghdadi tidak diakui oleh seluruh dunia Islam.
Dari sini dapat disimpulkan bahwa penggerusan nasionalisme oleh ISIS akan mendapat tantangan di negeri ini.
Prof Abdurrahman Mas'ud PHD
Kapuslitbang Pendidikan Agama dan Keagamaan Kementerian Agama RI