Sabtu 30 Aug 2014 22:00 WIB

Prioritas Pemerintahan Baru

Red: operator

Berbagai pekerjaan rumah terkait kehidupan bangsa dan negara--baik di bidang ekonomi, politik, maupun hukum--telah menanti segera dituntaskan setelah Joko Widodo dan Jusuf Kalla resmi dilantik sebagai presiden dan wakil presiden pada tanggal 20 Oktober mendatang.

Di bidang ekonomi, sejumlah pekerja an rumah ditinggalkan pemerinta- han Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Memang harus diakui pemerintahan SBY telah menorehkan prestasi ekonomi gemilang berupa pertum- buhan secara konsisten di atas lima persen ketika negara-negara maju terkena dampak resesi ekonomi global.

Bahkan, pemerintahan Presiden SBY telah menghantarkan ekonomi Indonesia terdepan di kawasan Asia Tenggara di mana kurang lebih setengah produk domestik bruto ASEAN berasal dari Indonesia. Namun, prestasi gemilang di bi dang ekonomi harus juga dicermati dalam konteks persoalan yang dihadapi kelompok rawan secara eko nomi, seperti pekerja upah rendah dan pengangguran.Bagi mereka pertumbuhan ekonomi dapat menjadi bencana. Pertumbuhan ekonomi tinggi otomatis akan mendorong biaya hidup kian mahal.

Apabila pekerja upah rendah tidak mengalami besaran tingkat upah minimum, maka nilai tambah hasil kerja industri cuma akan jatuh ke pe milik modal. Alhasil ketimpangan ekonomi semakin besar sebagaimana ditunjukkan angka rasio Gini yang meningkat cukup tajam 10 tahun terakhir. Jika di awal pemerintahan SBY tahun 2004 rasio Gini 0,38 kini meningkat menjadi 0,42.

Selain pekerja upah rendah, pengangguran juga akan menjadi kelompok rawan paling terpukul dengan pertum- buhan ekonomi negara. Mereka tidak memiliki pendapatan tetap, tetapi harga dan standar hidup terus meningkat.

Konektivitas melalui percepatan dan perbaikan infrastruktur juga menjadi pekerjaan rumah lain dari pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla.Kendala infra- struktur meng akibatkan pusat-pusat produksi tidak terkoneksi sehingga Indonesia dikenal sebagai salah satu negara dengan ongkos logistik termahal.Kendala infrastruktur ini pula biang keladi rendahnya daya siang Indonesia.

Pekerjaan rumah lain di bidang ekonomi tidak kalah pelik adalah subsidi bahan bakar minyak (BBM). Betapa tidak, subsidi BBM saat ini sudah sangat mem bebani Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Kepentingan politik pencitraan pemerintah dan DPR selama ini membuat belanja subsidi BBM terus mengalami kenaikan.

Pada tahun 2012, realisasi subsidi BBM mencapai Rp 211 triliun. Satu tahun berselang subsidi BBM mengalami se dikit penurunan menjadi Rp 199 triliun. Subsidi BBM kembali naik di tahun 2014 menjadi Rp 249 triliun. Bahkan, di dalam RUU APBN tahun 2015, besar subsidi BBM diperkirakan akan melonjak tajam menjadi Rp 291 triliun.

Selaras dengan itu, realisasi konsumsi BBM bersubsidi juga mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Pada tahun 2012, realisasi konsumsi BBM bersubsidi 45,07 juta kiloliter. Realisasi konsumsi BBM bersubsidi melonjak tahun 2013 menjadi 46,25 juta kiloliter. Sedangkan tahun ini, realisasi konsumsi BBM bersubsidi per 30 Juni 2014 mencapai 22,91 juta kiloliter dan diperkirakan akan melampaui kuota BBM bersubsidi yang dite tap kan pemerintah 46 juta kiloliter.

Padahal berbagai hasil penelitian menunjukkan subsidi BBM tidak akan tepat sasaran. Alih-alih di nikmati oleh golongan tidak mampu, subsidi BBM justru lebih banyak dimanfaatkan oleh kelompok ekonomi menengah ke atas.

Karena itu, muncul pemikiran agar subsidi BBM dikurangi atau dicabut untuk kemudian dialihkan kepada sektor-sektor penting lain. Untuk itu dalam 100 hari pertama pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla harus tegas memutuskan apakah subsidi akan dicabut atau dikurangi bertahap? Bila dilakukan secara bertahap, berapa nominal besar pencabutan itu dalam setiap tahap dengan diiringi scheduledefinitif.

Selain terimbas subsidi BBM, APBN mengalami defisit neraca perdagangan akibat impor migas. Konsumsi dalam negeri naik setiap tahun, tetapi lifting minyak tidak mengalami peningkatan signifikan sehingga impor migas dilakukan berlebihan. Pemerintahan JokoWi dodo-Jusuf Kalla harus mulai merencana kan secara serius roadmap melepaskan bangsa ini dari ketergantungan terhadap ba han bakar fosil dan beralih ke energi alternatif, seperti gas.

Sedangkan pekerjaan rumah paling mendesak pemerintahan Joko Widodo- Jusuf Kalla di bidang politik dan hukum adalah reformasi hukum. Reformasi hukum dimaksud berupa tumpang tindih aturan, ketidakpastian hukum, dan birokratisasi perizinan. Praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme masih marak di berbagai sektor birokrasi pemerintahan.

Berbagai pekerjaan rumah bidang ekonomi, politik, dan hukum di atas harus menjadi agenda prioritas Joko Widodo-Jusuf Kalla. Me mang berbagai pekerjaan rumah itu terlihat sangat sulit dituntaskan dalam waktu lima tahun, tapi bukan berarti tidak bisa.

Diperlukan kebijakan tepat dan komprehensif plus kepemimpinan tegas dari presiden dan wakil presiden terpilih untuk menuntaskan seluruh pekerjaan rumah tersebut. Kini publik menantikan solusi konkret dari duet Joko Widodo dan Jusuf Kalla, bukan sekadar janji-janji manis seperti masa kampanye lalu.

BAWONO KUMORO

Peneliti Politik The Habibie Center

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement