Selain ibadah haji, pada Dzulhijah ini, sebagian besar umat Islam akan menyembelih hewan kurban. Ibadah tahunan bagi Muslim yang mampu, sebagaimana diperintahkan Allah SWT dalam surah al-Kautsar (108): 1-2.
"Sesungguhnya Kami telah memberikan kepadamu nikmat yang banyak. Maka dirikanlah shalat karena Tuhan-mu dan berkurbanlah."
Makna dari ibadah kurban sangat dalam dan luas. Bukan sekadar ibadah tahunan yang bernilai spiritual-sosial. Lebih jauh lagi, esensi dari kurban adalah membangun kerangka budaya dan ekonomi umat Islam.
Nilai budaya
Makna simbolik kurban adalah mengekang sifat kebinatangan dan keduniawian. Kurban hendaknya menjadi nilai budaya untuk menjaga dari kecenderungan konsumerisme dan gaya hidup berlebihan (boros).
Budaya hidup sederhana harus dijadikan keseharian umat. Inilah salah satu strategi kebudayaan yang mendesak dilakukan. Umer Chapra dalam bukunya Islam and Economic Development menyatakan, umat Islam harus bersikap kritis dan mampu membedakan antara kebutuhan yang penting dan yang kurang penting. Sehingga, dapat dibedakan antara kebutuhan dengan kemewahan.
Dari perspektif budaya Islam, kurban artinya sikap budaya yang mengedepankan kebutuhan primer dan pentingnya berbagi dengan sesama dibandingkan hidup bermewah-mewahan. Umat Islam harus menghindari konsumsi yang berlebih-lebihan.
Dengan ibadah kurban, sifat kebinatangan dibuang dan sifat kepedulian kepada sesama ditumbuhsuburkan. Kaum berlebih dari sisi ekonomi (aghniya) memberikan kontribusi tidak hanya dengan zakat, infak, wakaf, dan sedekah, tetapi juga dengan berkurban.
Bahkan, sebagaimana diajarkan oleh Nabi Ibrahim AS, kecintaan kepada anak dan harta tidak boleh menghalangi kecintaan kepada Allah SWT. Jika Tuhan telah meminta apa pun yang paling dicintai, maka kita harus rela memberikannya. Sebagaimana Nabi Ismail AS, anak terkasih yang ditunggu bertahun-tahun oleh Nabi Ibrahim AS, direlakan untuk disembelih demi menjalankan perintah Tuhan. Cinta kepada Tuhan di atas segala hal yang paling dicintai sekalipun di dunia ini.
Jika dikaitkan dengan budaya cinta dunia yang mendominasi saat ini, harusnya kurban memberi nilai yang mampu membuat seorang Muslim mengedepankan kecintaan kepada Tuhan dibandingkan kepada harta benda yang pasti habis dan rusak.
Nilai ekonomi
Sebagaimana halnya zakat, infak, sedekah, dan wakaf, kurban memiliki kekuatan penggerak ekonomi. Tentu saja itu dapat terjadi jika dikelola dengan baik. Sayangnya, hingga saat ini belum ada lembaga nasional yang secara khusus menangani kurban. Atau paling tidak, ada koordinasi antarlembaga dalam melaksanakan kurban.
Dari data tiap lembaga tersebut, dapat diperoleh informasi di mana saja daerah yang banyak melakukan ibadah kurban, di mana yang tidak mendapatkan hewan kurban, siapa saja yang berkurban dan penerimanya, berapa jumlah dan data-data terkait lainnya. Ini sangat penting karena jika tidak dilakukan, ibadah kurban sepertinya kurang memiliki dampak ekonomi dan sosial apa pun.
Haruskah setiap tahun kegiatan kurban hanya membeli, menyerahkan kepada panitia, dan membagikannya, setelah itu selesai.
Mengapa tidak dilakukan koordinasi yang baik antarlembaga atau organisasi kemasyarakatan Islam? Ada baiknya juga, Majelis Ulama Indonesia (MUI) memberikan arahan pentingnya koordinasi data dan program dalam pelaksanaan ibadah kurban. Dengan demikian, pembenahan sistem organisasi dan manajemen kurban mutlak harus dilakukan.
Jika saja pengelolaan kurban dilakukan dengan sistem manajemen yang sangat baik, maka akan menjadi suatu strategi ekonomi umat yang luar biasa. Asumsikan saja, jika hanya 100 ribu orang yang melakukan ibadah kurban, maka ada dana lebih dari Rp 200 miliar yang berputar.
Saya kira jumlahnya bisa lebih dari 500 ribu orang karena ada banyak yang berkurban lebih dari satu. Artinya, ada dana Rp 1 triliun lebih yang berputar dalam waktu menjelang dan selama kegiatan ibadah kurban dilakukan. Belum lagi jika kita menghitung multiplayer effect-nya.
Hingga kini, tidak diketahui pasti, berasal dari mana hewan kurban yang diperdagangkan. Agar sesuai syariah, pemasok hewan kurban adalah ormas Islam atau lembaga zakat. Jika pun pemain kecil tetap ada, harus dikoordinasikan dan dipayungi oleh lembaga ekonomi umat yang besar, baik itu dikelola dalam bentuk koperasi syariah atau lembaga lainnya. Jangan sampai, peluang bisnis besar ini dipegang segelintir orang yang tak ada kontribusi dan bukan bagian dari umat Islam.
Sepertinya rumit, tapi ini sudah seharusnya dapat dilakukan. Ada beberapa argumentasi mengapa pengelolaan ibadah kurban harus diperbaiki manajemennya. Pertama, makna spiritual kurban itu adalah mengekang sifat kebinatangan, duniawi yang dominan. Jika ego antarlembaga masih tetap dipelihara, tidak mau sinergi satu sama lain, sama saja dengan memelihara sifat duniawi. Jadi memang, perbaikan manajemennya baik antarlembaga pengelola maupun di dalam kepanitiaan pengelolaan kurban itu sendiri.
Kedua, lembaga atau panitia hanyalah pihak ketiga yang diamanahi untuk mengelola dan memfasilitasi ibadah kurban itu. Hanya untuk koordinasi data dan sinergi program seharusnya dapat dilakukan. Terlebih ibadah kurban dilakukan setiap tahun. Kenapa tidak dirancang untuk program jangka panjang, puluhan tahun ke depan.
Ketiga, kurban, sebagaimana zakat, infak, sedekah, dan wakaf adalah bentuk kepedulian yang berpunya (aghniya) kepada yang kekurangan (dhuafa). Tujuannya mendorong pemerataan kesejahteraan ekonomi dan sosial. Jika demikian, mengapa tidak dibentuk panitia kurban nasional, daerah hingga tingkat DKM (masjid).
Keempat, kurban harus jadi salah satu pemicu lahirnya industri peternakan dan perdagangan milik umat. Bukankah Islam mengajarkan umatnya untuk produktif dan memiliki nilai manfaat besar. Pada 2014, kebutuhan daging sapi di Indonesia mencapai 530 ribu ton yang sebagian besarnya dipenuhi dengan impor.
Kelima, secara historis, Rasulullah SAW dan sahabat kebanyakan adalah peternak dan penggembala. Mengapa potensi ekonomi yang tidak akan habis ini ditinggalkan umat. Kebutuhan akan daging dan susu tidak akan pernah berkurang.
Karena itu, jangan jadikan ibadah kurban sekadar ritualitas dan pemenuhan kebutuhan gizi bagi umat yang kurang mampu. Ibadah kurban harus menjadi strategi kebudayaan dan ekonomi agar umat Islam mandiri, sejahtera, dan berdaulat. Wallahu a’lam.
Iu Rusliana
Dosen Fakultas Ushuluddin UIN Bandung