Setiap manusia pasti menginginkan keturunan yang saleh, cerdas, dan memberi kontribusi positif bagi keluarga dan lingkungannya. Untuk melahirkan generasi yang saleh, dibutuhkan pendidikan yang baik sesuai tuntunan ajaran Islam.
Cara mendidik anak itu dapat di pelajari dari Alquran. Terdapat beberapa isyarat Alquran tentang cara mendidik generasi yang saleh. Salah satunya adalah model pendidikan Nabi Ibrahim AS yang melahirkan keturunan yang saleh, terutama Nabi Ismail AS.
Jika ditelaah beberapa ayat Alquran dan sejarah yang mengisahkan perjuangan hidupnya, dapat dirumuskan model pendidikan Nabi Ibrahim dalam mela hirkan anak saleh.
Pertama, mengutamakan istri yang salehah daripada sekadar kecantikan dan kekayaan. Sejarah mengungkapkan, istri pertama Nabi Ibrahim adalah Siti Sarah. Setelah beberapa lama menikah dan tidak kunjung memperoleh keturunan, atas saran Sarah, Ibrahim menikah dengan budak atau pembantu mereka yang berkulit hitam bernama Siti Hajar.
Ibrahim bersedia menikahi Siti Hajar, perempuan yang amat sederhana, ber status budak, berkulit hitam, bukan berparas cantik dan bukan pula kaya raya. Hajar adalah hamba yang beriman, taat, berhati mulia, dan berakhlak terpuji. Ibrahim termasuk orang yang menge depankan istri karena keimanan dan kemuliaan akhlaknya meskipun hanya seorang budak.
Memilih istri yang salehah merupakan prasyarat untuk melahirkan anak yang saleh. Sebab, istri akan menjadi madrasah pertama (al-ummu madrasah) bagi anak-anaknya.
Kedua, berdoa agar dikaruniai anak saleh. Meskipun, Ibrahim sebagai nabi Allah dan kekasih-Nya (khalilullah), tetapi ia bermunajat agar dikaruniai anak yang saleh. (QS ash-Shafat [37]: 100).
Doa ini mengajarkan untuk mendidik anak tidak bisa dengan usaha belaka atau membanggakan diri kita sebagai orang terdidik, tetapi butuh kepasrahan jiwa memohon pertolongan-Nya.
Apalagi, mendidik akidah atau sikap keberagamaan anak dibutuhkan hidayah dari Allah SWT. Maka, bermohonlah kepada-Nya dengan tetap berupaya memenuhi kewajiban kita sebagai hamba.
Ketiga, menjadi teladan bagi anakanak dan keluarganya. Kunci sukses model pendidikan Nabi Ibrahim adalah metode keteladanan. Dalam Alquran terdapat dua ayat yang menjelaskan bah wa Ibrahim adalah uswatun hasanah (QS al-Mumtahanah [60]: 4 dan 6) bagi umatnya, termasuk bagi anak-anaknya.
Dalam perkembangan psikologinya, anak cenderung meniru (imitatif) orangorang sekitarnya, terutama dari orang tua. Di sinilah diperlukan keteladanan orang tua, baik soal keimanan, ketaatan beribadah, sikap, maupun perilaku.
Keempat, memilih lingkungan yang baik untuk perkembangan mentalitas anak. Setelah Hajar melahirkan Ismail, Ibrahim pun mengantarkan mereka ke suatu tempat yang lengang, tandus, bernama Makkah. Lalu, Ibrahim pun bermunajat agar tempat itu diberkahi dan baik untuk perkembangan mentalitas anaknya (QS Ibrahim [14]: 37).
Kelima, bersifat demokratis dan komunikatif kepada anak. Sikap de mok ratis dan komunikatif Nabi Ibrahim terlihat dari kisah penyembelihan putra nya. Ketika Ibrahim mendapat perintah me nyembelih anaknya, ia panggil Ismail menggunakan kata "Ya bunayya" atau "Wahai anakku sayang". Kata itu merupakan panggilan penuh kasih sayang, komunikatif antara seorang ayah dan anak.
Ibrahim juga meminta pendapat Ismail tentang perintah itu (QS as-Shaffat [37]:102). Suatu perintah yang wajib dilaksanakan, tetapi tetap dikomunikasikan secara demokratis.
Hal ini mengisyaratkan kepada orang tua agar mendidik anaknya de ngan cara demokratis dan komunikatif. Orang tua tidak boleh memaksakan kehendak kepada anaknya, kecuali hal yang bersifat prinsip, misalnya, soal ketaatan pada ajaran agama. Orang tua juga jangan menam pilkan diri sebagai sosok yang ditakuti, tetapi jadilah sosok guru yang disayangi, dihormati, dan diidola kan.
Keenam, mencintai anak karena Allah. Sebagai manusia biasa, Ibrahim sangat mencintai putra semata wayangnya. Namun, Allah menguji cinta Ibrahim antara Allah dan Ismail. Demi cintanya kepada Allah, Ibrahim rela mengor bankan Ismail.
Kisah ini mengajarkan agar mencintai anak semata-mata karena Allah. Sebab, jika kecintaan kepada anak melebihi cinta kepada Allah, malapetaka akan ditimpakan dalam kehidupan keluarga itu (QS al-Taubah [9]: 24).
Ketujuh, melibatkan anak membangun baitullah, beribadah bersama anak, dan melibatkannya menegakkan agama Allah. Ibnu Katsir dalam kitab Qishash al-Anbiya'menjelaskan, Ismail turut mengumpulkan batu dan mengulurkannya kepada Ibrahim, lalu Ibrahim membangun bangunan Ka'bah yang rusak.
Kedelapan, Ibrahim menginginkan dan mempersiapkan anaknya men jadi pemimpin (imam) yang diiringi doa.
Dengan begitu, Ibrahim mendidik anaknya menjadi anak yang berlaku adil, bukan bersifat zalim, baik zalim secara akidah, yaitu syirik (QS Luqman [31]:13) maupun zalim terhadap diri sendiri (QS al-A'raf [9]: 23). Jadi, bukan membangun dinasti politik demi kekuasaan, melainkan untuk menjadi pribadi yang bertanggung jawab dan memberi manfaat bagi banyak orang.
MUHAMMAD KOSIM
Doktor Bidang Pendidikan Islam IAIN IB Padang