Rabu 13 Apr 2016 14:00 WIB

Gurita Korupsi

Red:

Dalam dua pekan terakhir, dua operasi tangkap tangan (OTT) dilakukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi terhadap pejabat publik. Setelah sebelumnya KPK melakukan OTT terhadap anggota DPRD DKI Jakarta dari Partai Gerindra, KPK kembali melakukan OTT terhadap Jaksa Kejati Jawa Barat terkait kasus dana BPJS di Kabupaten Subang, Senin (11/4). Setelahnya, KPK pun menangkap Bupati Subang.

Penangkapan para pejabat publik tersebut tentu saja membuat kita sangat miris. Tertangkapnya para abdi negara itu menggambarkan bahwa korupsi di negeri tercinta ini sudah seperti seorang yang kecanduan rokok. Pecandu rokok berat maupun ringan, tidak mudah untuk membebaskan diri dari keinginan untuk kembali mengisap sebatang rokok. Apalagi, lingkungan di negeri ini untuk merokok sangat mendukung, seperti harga rokok yang murah, mudah mendapatkan rokok di mana-mana, dan aturan yang kurang ketat terhadap merokok di tempat umum.

Seperti itu pulalah budaya korupsi yang sudah mendarah daging di Tanah Air, baik itu di eksekutif,  legislatif, maupun yudikatif. Di kalangan birokrasi, tidak melakukan korupsi seperti sesuatu yang "aneh". Para pejabat publik seperti sudah kecanduan untuk melakukan korupsi. Mereka susah sekali untuk tidak korup. Tak jarang jabatan publik menjadi incaran banyak orang karena dengan kekuasaan yang besar, aktivitas korupsi pun lebih gampang dilakukan.

Bertahun-tahun aktivitas korupsi terjadi di sebuah lembaga pemerintahan, di lembaga dewan, dan lembaga hukum secara turun-temurun. Bahkan, sebuah sistem kerja di sebuah lembaga seakan diciptakan agar korupsi yang terjadi seperti sesuatu yang legal dan lumrah.

Dalam catatan Republika, dalam dua tahun terakhir OTT yang dilakukan KPK terhadap pejabat publik setidaknya ada 26 kasus. Itu penangkapan pelaku korupsi lewat tangkap tangan. Kasus-kasus korupsi lainnya yang dibongkar oleh KPK ataupun kejaksaan jumlahnya ratusan. Bahkan, para pelaku korupsi, baik dalam jumlah besar maupun kecil, yang jumlahnya jutaan masih berkeliaran.

Sering kali korupsi agak sulit diungkap karena dilakukan secara berjamaah. Para pelaku korupsi di  satu lembaga saling menutupi penyimpangan yang mereka lakukan. Keadaan ini membuat pembongkaran aktivitas korupsi bukanlah sesuatu yang mudah. Apalagi, bila penegak hukum yang ditugaskan untuk memberantas korupsi adalah penegak hukum yang korup. Akibatnya, keinginan masyarakat agar para perampok "uang rakyat" mendapat sanksi hukum berat hanya menjadi angan-angan.

Kita menyadari tantangan melenyapkan korupsi dari bumi pertiwi ini sangat berat. Apalagi, bila  aktivitas korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) masih tetap terjadi di lingkungan eksekutif,  yudikatif, ataupun legislatif. Sulit bagi seorang pimpinan di eksekutif melarang anak buahnya  melakukan korupsi ketika si pejabat sepanjang kariernya telah sering berbuat KKN. Sulit berharap pada penegak hukum yang korup membersihkan korupsi di lembaga pemerintah. Begitu juga, tak mudah berharap para anggota dewan yang korup dapat memperjuangkan kepentingan rakyat di lembaga dewan.

Meski demikian, tidak ada kata terlambat memiliki cita-cita Indonesia menjadi negara yang bebas  korupsi walaupun itu barangkali baru terwujud puluhan tahun kemudian. Kita masih memiliki lembaga penegak hukum KPK, kita juga masih memiliki polisi, anggota dewan, hakim, dan jaksa yang jujur. Memang jumlah mereka jauh lebih sedikit dari mereka yang melakukan korupsi. Namun, dengan keyakinan dan kerja keras, mimpi kita melenyapkan gurita korupsi bisa diwujudkan.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement