Kamis 03 Nov 2016 15:00 WIB

Ulama, Penistaan Agama, dan Politik

Red:

Masih teringat jelas bagi penulis polemik "kudeta" Presiden Mesir Mohammad Mursi tahun 2013 silam. Sikap Al-Azhar sebagai institusi keagamaan Islam paling berpengaruh di Mesir yang "mendukung" penggulingan Mursi oleh rakyat dan militer menuai pro-kontra. Syekh besar Al-Azhar Ahmad Thayyib mengutarakan pertimbangan kaidah "akhaffu dhararain", yaitu memilih dampak buruk yang lebih kecil, ketika mendukung penggulingan Mursi.

Meski pertimbangan Al-Azhar tersebut adalah pertimbangan maslahat sesuai dengan ajaran Islam dan bukan pertimbangan politik, melainkan pergolakan politik ketika itu membuat para ulamanya terjebak dalam fitnah politik. Tidak dapat dimungkiri, sikap ulama juga terpecah dan terbawa arus dalam pusaran dinamika politik. Independensi ulama ketika itu menjadi kabur karena sangat rentan dipolitisasi. Misalnya saja, polemik antara Syekh Yusuf Qardhawi dan Syekh Ali Jumah.

Fitnah politik seperti itu memang bukan kali pertama terjadi. Fitnah politik bahkan sudah terjadi pada zaman sahabat Nabi Muhammad. Maka tidak sedikit dari ulama yang kemudian mengambil sikap diam dari fitnah politik itu, agar tidak memperluas kericuhan dan perpecahan.

Lebih-lebih dalam alam demokrasi dan heterogenitas seperti di Indonesia ini, gesekan antara persoalan agama dan politik memang sulit dihindari. Kondisi tersebut dapat "menyeret" ulama dalam pusaran dinamika politik. Dengan begitu, fitnah politik bagi para ulama pun sangat rentan terjadi.

Polemik penistaan agama yang dituduhkan kepada Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok bisa menjadi bumerang bagi para ulama di Indonesia. Secara waktu dan kondisi, penistaan agama yang dilakukan oleh Ahok menjadikan kasus ini sangat sensitif dan dilematis, sebab sangat rawan untuk dipolitisasi. Dan faktanya, sikap terbelah di kalangan ulama mulai terlihat. Maka sedikit banyaknya tentu saja sikap terbelah itu dipengaruhi oleh dinamika politik menjelang pemilihan kepada daerah.

Keengganan sebagian ulama untuk terlibat dalam kasus penistaan agama tersebut bisa saja disebabkan oleh dorongan untuk menjaga muruah dan independensi ulama, yang netral dari tarik-ulur kepentingan politik. Meski kasus ini memang membutuhkan perhatian serius, pertimbangan menjaga stabilitas dan menghindari kegaduhan harus diapresiasi. Kasus ini dibiarkan saja kepada proses hukum yang tengah berjalan.

Sedangkan sebagian ulama lainnya yang memutuskan untuk terjun dalam polemik kasus penistaan agama oleh Ahok juga patut dihormati. Inilah salah satu praktik lain dari demokrasi yang harus diakui, dalam konteks menjaga toleransi dan kerukunan hidup antarumat beragama. Terlebih di tengah krisis kepercayaan masyarakat terhadap penegakan hukum di Indonesia yang sudah mulai akut seperti saat ini, pilar demokrasi dibutuhkan untuk mengawal dan menyeimbangi pilar hukum.

Namun, permasalahan selanjutnya adalah sejauh mana independensi ulama yang terjun langsung dalam kasus penistaan agama ini, dapat terjaga dari kepentingan pragmatis di tengah panasnya suhu politik pilkada? Bagaimana supaya para ulama tersebut tidak terjebak di dalam fitnah politik?

Kasus penistaan agama ini sebenarnya murni kasus hukum. Namun momentum telah menyeretnya ke dalam arus politik. Maka yang perlu dijaga adalah mengesampingkan anasir-anasir politik dalam kasus ini, dan mengembalikannya kepada kasus hukum.

Dalam kasus ini, menyuarakan kebenaran dan menuntut keadilan sangat tipis bedanya dengan menyuarakan kepentingan politik pragmatis. Meski sebenarnya, kondisi adanya tiga pasangan calon dalam Pilkada DKI Jakarta sedikit menolong untuk menepis asumsi politisasi tersebut.

Namun ke depan, yang perlu diwaspadai ketika Pilkada DKI Jakarta harus melalui proses putaran kedua, dan Ahok menjadi salah satu calon yang lolos di putaran kedua tersebut. Jika kondisi seperti itu terjadi, independensi ulama dalam menuntut keadilan atas kasus penistaan agama semakin terjepit di lorong sempit. Maka itu, menjadi urgen menyelesaikan kasus penistaan agama ini sebelum pelaksanaan Pilkada DKI Jakarta tahun depan.

Selain itu, yang sangat penting untuk dijaga adalah persatuan dan stabilitas nasional. Dalam menyikapi kasus penistaan agama ini, tidak perlu ada penggiringan opini yang bersifat "pemaksaan". Perbedaan sikap di kalangan ulama juga tidak perlu dibingungkan dan ditafsirkan macam-macam. Kasus ini jangan sampai membuat umat terpecah-belah akibat perbedaan sikap ulama. Saling menghargai atas sikap dan pendapat masing-masing adalah jalan keluar yang lebih beradab.

Penggiringan opini kasus penistaan agama kepada kasus agama dapat menyebabkan perpecahan tersebut. Ulama pun perlu menegaskan dan memahamkan umat bahwa kasus penistaan agama adalah murni kasus hukum, dan pertarungan perebutan kursi di pilkada adalah murni masalah politik. Pemilahan seperti ini sangat penting, supaya tidak ada pihak penyusup yang berupaya menggiring opini umat Islam, untuk menempatkan kasus penistaan agama ini ke dalam kasus agama.

Apa yang terjadi di Mesir tiga tahun silam cukup menjadi pelajaran bagi umat Islam dan rakyat Indonesia. Upaya penggiringan opini publik soal penggulingan Mursi menjadi kasus agama dan mengatasnamakan solidaritas keagamaan, telah merenggut persatuan rakyat Mesir ketika itu. Pertumpahan darah akhirnya tidak dapat terelakkan. Wallahu'alam.

Ahmad Sadzali

Sekretaris Eksekutif Pusat Studi Hukum Islam (PSHI) Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia, Alumnus Universitas Al-Azhar, Kairo.

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement