Pemerintah akhirnya memutuskan ujian nasional (UN) tetap dilakukan seperti yang sudah berlangsung selama ini. UN diharapkan menjadi patokan untuk kemajuan para siswa di kemudian hari dan pelaksanaannya pun harus terus diperbaiki.
Hal itu menjadi keputusan rapat terbatas khusus membahas evaluasi UN yang berlangsung di Istana Kepresidenan Jakarta, Senin (19/12). Rapat yang dipimpin Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengakhiri kesimpangsiuran kebijakan soal moratorium UN yang sempat berkembang di tengah-tengah masyarakat belakangan ini.
Kita memahami keputusan yang diambil pemerintah tersebut dengan mempertimbangkan dari berbagai faktor. Apalagi, pro dan kontra terhadap UN juga selama ini masih kita temukan. Kedua belah pihak memiliki pertimbangan masing-masing untuk mendukung pendapatnya.
Sejak dimulainya UN pada era pemerintah Susilo Bambang Yudhono dan Jusuf Kalla tahun 2004-2009, orang tua murid, para guru, pengamat pendidikan, dan anggota dewan memiliki pendapat yang berbeda. Penolakan dan kritik terhadap UN banyak dilakukan saat awal-awal UN diterapkan. Namun, belakangan penolakan terhadap UN sudah mulai berkurang, terutama dari orang tua murid, setelah Kementerian Pendidikan memutuskan UN bukan satu-satunya syarat kelulusan siswa.
Walaupun demikian, persoalan yang muncul dari pelaksanaan UN masih tetap terjadi. Di antaranya dalam pelaksanaan UN yang berbasis kertas, masih ditemukan keterlambatan pengiriman soal ke sekolah-sekolah yang letaknya di pedalaman. Selain itu, masih ditemukan adanya kecurangan yang dlakukan siswa dan guru demi mendapatkan nilai UN yang tinggi. Karena selama ini dengan nilai UN tinggi bagi sekolah dianggap sebagai tolok ukur keberhasilan sekolah bersangkutan. Sedangkan bagi siswa mendapat nilai UN yang tinggi, khususnya mereka yang lulusan SD dan SLTP, dapat digunakan sebagai 'paspor' masuk ke sekolah lanjutan.
Bagi para pendukung diberlakukannya UN, seperti Wapres Jusuf Kalla, karena ia menganggap negara ini membutuhkan tolok ukur keberhasilan pendidikan secara nasional. UN dianggap sebagai salah satu tolok ukurnya sehingga moratorium yang diwacanakan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan tidak perlu dilakukan.
Terlepas dari setuju tidaknya moratorium UN, faktanya Presiden Jokowi sudah memutuskan program ini terus dilangsungkan. Itu artinya, sekarang bagaimana kita mampu melaksanakan UN dengan lebih terukur, lebih baik, dan dapat membantu siswa untuk lebih berprestasi.
Karena itu, langkah yang harus cepat dilaksanakan saat ini adalah bagaimana pelaksanaan UN 2017 yang tinggal sekitar empat bulan lagi. Selama ini, persiapan UN untuk tahun depan sudah mulai dipersiapkan ketika tahun ajaran baru dimulai. Kini, karena ada rencana untuk melakukan moratorium UN, persiapan tersebut hanya bisa dilakukan empat bulan ke depan.
Kita berharap dengan waktu persiapan terbatas tidak menimbulkan masalah-masalah yang pada akhirnya mengganggu pelaksanaan UN. Kita juga tidak ingin muncul masalah pengiriman soal UN, seperti yang pernah terjadi sebelumnya. Aparat Kementerian Pendidikan selama ini sudah terlatih untuk melaksanakan UN. Karena, itu semoga kekhawatiran akan bermasalahnya UN tidak terjadi.
Ke depannya, pemerintah harus memikirkan supaya pelaksanaan UN yang hanya terdiri atas beberapa mata pelajaran tidak membuat mata pelajaran yang tidak di-UN-kan dianaktirikan. Selama ini, sekolah-sekolah selalu memprioritaskan pelajaran-pelajaran yang masuk dalam kelompok UN sehingga terkesan kurang memberi perhatian pada pelajaran di luar UN.
Padahal, kita semua menyadari beberapa pelajaran yang tidak masuk dalam UN adalah pelajaran-pelajaran yang menyangut etika kehidupan dan nilai-nilai norma yang berlaku di masyarakat. Mata pelajaran di luar UN inilah yang sebenarnya menjadi modal dalam kehidupan karena mengajarkan nilai-nilai kehidupan. Sebab itu, mata pelajaran di luar UN seharusnya menjadi perhatian pemerintah dan juga sekolah-sekolah.