Kemarin pagi, tiba-tiba saja seorang teman mengirim sebuah pesan digital. Secara halus dan hati-hati, ia menegur saya karena menurutnya saya telah berbuat keingkaran atau lebih tepatnya kelalaian intelektual. Mulanya saya terhenyak dan kaget.
Namun, ia menjelaskan, sudah lama saya tidak menulis artikel akhir tahun seperti biasanya. Sebuah tradisi yang saya lakukan sejak 1990 di kolom saya. Kemudian entah mengapa saya berhenti menulisnya. Seolah saya dibelenggu kemalasan yang semakin mapan.
Barangkali juga karena kontemplasi dan refleksi yang sering kali saya lakukan pada akhir tahun terlalu banyak mengingatkan kepada kekecewaan dan kesedihan. Kemarin, saya mencoba memaksakan sebuah proses refleksi dan kontemplasi selama 2016—saya kembali merasakan kesedihan yang luar biasa.
Sebuah acara di televisi mengulas berbagai perang berkepanjangan dan peristiwa teroris serta kegaduhan politik di seantero jagat. Terus terang, saya merasa sangat kerdil dihantam kekecewaan terhadap kemerosotan dan konflik yang mencederai kita.
Di Indonesia situasinya tidak berbeda jauh karena konflik dan perseteruan di negara kita sudah meruncing sedemikian rupa sehingga kita melecehkan dan mengadu keimanan kita masing-masing. Seolah ada satu kebencian yang semakin sarat.
Boleh dibilang konflik di negara ini membawa ke kebencian baru yang semakin berbahaya karena membenturkan antara Tuhan yang kita imani dan Tuhan yang diimani saudara kita yang lain. Padahal, dalam sila pertama Pancasila, kita meyakini Tuhan itu hanya satu—dan kita menyebutnya Tuhan yang Maha Esa.
Artinya, kalau kita melecehkan Tuhan dari kerabat dan sahabat kita yang lain, kita juga melecehkan Tuhan yang kita imani. Seperti tahun-tahun sebelumnya, ada bencana, baik ciptaan manusia maupun alam, pada akhirnya di ujung tahun kita selalu merumuskan optimisme yang selalu sama.
Selama bumi yang kita pijak masih memberikan harapan, seburuk apa pun situasinya kita masih terjaga dan mencoba selamat dengan harapan itu. Inilah semangat manusia yang tak pernah bisa dipatahkan siapa pun. Tidak oleh iblis dan tidak juga oleh musuh kita.
Harapan adalah benteng terakhir yang selalu menyelamatkan dan melindungi kita dari kemusnahan dan tragedi. Menyimpulkan harapan itu, saya teringat pada dua peristiwa pada 2016, yang membuat kita tersenyum dan yakin kita akan tetap kuat kembali berjuang pada 2017.
Kedua peristiwa ini mewarnai komunikasi digital yang sangat pekat dan lekat di dunia media sosial. Pertama adalah Mukidi. Karakter Mukidi sebenarnya diciptakan Soetantyo Moechlas atau yang akrab dipanggil Yoyo pada 1990-an.
Lalu menjadi sangat populer dan begitu banyak lawakan didaur ulang yang namanya diganti dengan Mukidi. Kita pun tertawa. Kita merasa Mukidi lebih dekat. Kita merasa Mukidi adalah perlawanan diam kita terhadap semua kekerasan dan kekonyolan yang merongrong tatanan masyarakat kita.
Begitu ketagihan kita dengan Mukidi sampai ada teman yang selalu minta dikirimi cerita Mukidi yang baru. Mukidi adalah kenikmatan sesaat—sebuah lonjakan endorphin yang membuat kita lega dan puas. Sebuah pelepasan yang membuat kita tersenyum.
Membebaskan kita dari ketegangan yang membuat kita sesak napas dalam kehidupan sehari-hari. Mukidi adalah obat dan gejala sekaligus. Begitu kata teman saya—seorang pemerhati masalah sosial. Ia mengatakan, semakin banyaknya orang menderita asam urat dan demam berdarah, menunjukkan kemunduran gaya hidup dan lingkungan kita.
Mukidi juga bandul yang sama. Ke kiri, Mukidi melepaskan kita dari ketegangan hidup, tetapi ke kanan bandul yang sama menunjukkan ketergantungan kita pada Mukidi karena kepenatan kita terhadap konflik dan kebencian dalam komunikasi digital di media sosial setiap hari.
Uniknya Mukidi bukan tokoh nyata dan tanpa kita sadari Mukidi lebih populer daripada sejumlah menteri. Kita hafal Mukidi. Kita mungkin lebih sayang Mukidi dibandingkan sejumlah pemimpin kita. Minimal Mukidi itu tidak korup dan sangat lucu. Mukidi juga sederhana, membumi, dan lugu.
Mukidi adalah Tokoh Tahunan 2016, tokoh tanpa wajah, tetapi lekat dalam keseharian kita. Peristiwa kedua yang membuat kita tersenyum adalah fenomena "Om Telolet Om." Bayangkan sesuatu yang sangat remeh bila dikemas sangat kreatif akan menjadi fenomena dunia yang heboh.
Walaupun fenomena ini menuai sejumlah kritik, bagi saya pribadi ini juga merupakan perlawanan diam terhadap komersialisme yang menghantui kehidupan kita sehari-hari. Om Telolet Om mirip Mukidi, sebuah pelepasan yang kita rindukan dalam kepenatan hidup ini.
Om Telolet Om itu gratis dan kreatif. Tetapi, mobilisasi media sosial bisa menjadikan Om Telolet Om sesuatu yang membuat kita tersenyum malah tertawa sekaligus. Mukidi dan Om Telolet Om adalah fenomena mobilisasi media sosial.
Di luar keduanya, kita juga sadar mobilisasi media sosial dipakai pihak-pihak tertentu menyebar kebencian, mempertajam konflik, dan memengaruhi cara berpikir. Mobilisasi media sosial menjadi semakin efektif menghipnotis persepsi kita. Memengaruhi cara kita berkomunikasi dan berpikir.
Malah di Amerika, media sosial terbukti ampuh memenangkan pemilu. Kita sebaiknya lebih bijak. Belajar dari Mukidi dan Om Telolet Om, media sosial bisa kita bangkitkan menjadi keampuhan sebuah media baru untuk menginspirasi negeri dan bangsa ini.
Namun, media sosial cuma alat biasa. Tidak kurang dan tidak lebih. Adapun yang menjadi inti dan fokus adalah keampuhan subjek dan objek itu sendiri.
Berbagai kisah teror di Eropa hingga kisah pengungsi dan pengalaman terakhir Olimpiade di Brasil yang membuat kita selalu dan tetap bersemangat serta tetap berjuang adalah semangat manusia yang tidak pernah terpatahkan. Ini yang membuat saya optimistis.
Saya yakin, akhirnya kita tetap selamat sebagai bangsa dan negara. Apa pun konflik yang mendera, apa pun hasutan pihak-pihak yang ingin memecah kita akhirnya akan ada Mukidi baru yang mempersatukan kita dan Om Telolet Om yang lebih kreatif— memotivasi kita bersatu dan melawan secara diam.
Siapa pun yang menjadi pemimpin bangsa ini seharusnya bisa belajar dari kedua fenomena ini untuk 2017. Mukidi dan Om Telolet Om adalah semangat Indonesia yang asli, dengan keluguan dan kesederhaan kita untuk tetap pasrah tersenyum. Tetap kreatif tidak pernah menyerah.
Dengan semangat yang sama, saya tetap optimistis, 2017 akan lebih baik, apa pun konflik dan masalahnya. Karena kita tidak akan pernah menyerah!
Kafi Kurnia
Motivator dan Pakar Marketing