Berita palsu atau hoax menjadi fenomena yang makin menggejala akhir-akhir ini. Berita hoax yang terutama bersumber dari media sosial dirasakan semakin meresahkan. Demikian kreatifnya pengemasan berita palsu itu sehingga pembaca sulit membedakan mana informasi yang benar dan mana yang dipalsukan.
Fenomena berita palsu ini tentu merisaukan kita semua. Dampak yang ditimbulkan akibat berita palsu amat besar. Jika fenomena tersebut dibiarkan merajalela, tentu kita semua akan semakin dirugikan. Karena itu, praktik berita hoax harus dihentikan.
Bersamaan dengan ulang tahunnya yang ke 24 tahun hari ini, Harian Republika mencanangkan kampanye melawan berita hoax.
Kampanye melawan berita hoax itu kami sampaikan dengan menampilkan sejumlah berita hoax di hampir semua halaman. Bahkan, headline halaman 1 hari ini adalah sepenuhnya berita palsu yang pernah beredar. Kami ingin mengingatkan pembaca bahwa sulit membedakan berita palsu dan berita benar, apalagi jika bercampur menjadi satu. Betapa menyesatkannya juga berita palsu itu dianggap sebagai kebenaran.
Masyarakat berhak untuk mendapatkan informasi yang benar. Adalah salah satu tugas media untuk memberikan informasi yang benar. Namun, media juga punya tugas untuk mengedukasi pembacanya. Masyarakat perlu diedukasi agar tidak gampang percaya dan begitu mudahnya membagikan (share) informasi yang dia terima. Pemerintah punya tanggung jawab agar arus informasi, terutama melalui media sosial, tetap sehat dan jauh dari penyebaran berita palsu.
Sebenarnya, Presiden Joko Widodo pun sudah menyampaikan kerisauannya dengan fenomena berita hoax. Pada pengujung tahun lalu, Presiden menggelar rapat khusus guna membahas bahaya informasi palsu alias hoax, yang banyak beredar di media sosial. Presiden dalam kesempatan itu meminta Kementerian Komunikasi dan Informatika melakukan evaluasi pada sejumlah media daring (online) yang memproduksi berita hoax. Presiden juga menginstruksikan adanya tindakan tegas pada media-media fiktif, yang beritanya telah menyesatkan persepsi banyak masyarakat.
Kita menyambut baik dan mendukung langkah Presiden untuk menangkal berita palsu di media sosial khususnya. Tapi, langkah itu pun harus dilakukan dengan hati-hati dan seadil-adilnya. Bukan rahasia lagi bahwa berita-berita palsu selama ini banyak disebarkan oleh para pendukung kandidat presiden pada pilpres yang baru lalu.
Kita juga mengapresiasi Kementerian Agama yang kabarnya akan mengkaji fikih media sosial. Jika ini terwujud, tentu bisa menjadi panduan pengguna media sosial, terutama yang beragama Islam.
Kita juga berharap kalangan media, seperti Dewan Pers, Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), serta Aliansi Jurnalis Independen (AJI) melakukan kampanye melawan berita hoax. Ini penting dilakukan dalam upaya menjaga muruah jurnalisme. Berita palsu itu jelas bukan jurnalisme, karena inti dari jurnalisme adalah fakta. Sedangkan berita hoax justru mengabaikan fakta.
Justru dengan fenomena berita hoax ini menjadi momen mengingatkan masyarakat untuk kembali percaya pada jurnalisme, yang dikembangkan oleh media-media mainstream. Produk jurnalistik dikerjakan dengan cara profesional, berdasarkan fakta, melalui proses verifikasi dan mengikuti rambu-rambu etik jurnalistik. Perusahaan media massa tidak akan dengan sengaja memproduksi berita palsu. Itu sama artinya dengan bunuh diri.
Kita berharap semua pihak termasuk masyarakat mendukung kampanye melawan berita palsu. Jangan biarkan masyarakat kita terus dibombardir dengan berita penuh kebohongan.