Hari ini, lima hari sudah kita memasuki tahun 2017. Tahun yang penuh tantangan karena kondisi ekonomi di dalam negeri maupun secara global masih belum seperti yang diharapkan banyak orang.
Pertanyaan terbesar kita tentu saja apa yang akan dilakukan oleh pemerintah mengatasi permasalahan ekonomi masyarakat yang dari hari ke hari belum menunjukan tanda-tanda perbaikan. Kemarin, pertanyaan itu dijawab oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang menegaskan, pemerintah tahun ini akan berfokus pada program pemerataan.
Saat memimpin Sidang Kabinet Paripurna di Istana Kepresidenan Bogor, Rabu (4/1), Jokowi menyatakan kita harus kerja keras, mati-matian untuk menurunkan angka kesenjangan, baik antara wilayah maupun angka kesenjangan antara kaya dan miskin. Dalam menekan angka kesenjangan tersebut, bagi Presiden, kebijakan distribusi aset dan legalisasi tanah menjadi sangat penting sekali karena pemerintah ingin rakyat mendapatkan akses terhadap tanah.
Pemerataan memang menjadi kata kunci keberhasilan sebuah pemerintahan. Kata pemerataan seperti sebuah mimpi bagi masyarakat yang tak mampu. Namun, seperti sesuatu yang ingin dihindari bagi orang-orang yang berduit.
Walaupun demikian, persoalan mengikis kesenjangan ekonomi antara si miskin dan si kaya juga menjadi pekerjaan rumah beberapa negara selain Indonesia. Laporan yang dikeluarkan oleh Credit Suisse di pertengahan Desember 2016 menyebutkan, Indonesia berada di peringkat keempat dengan tingkat kesenjangan tertinggi di dunia di bawah Rusia, India, dan Thailand.
Ketidakmerataan ekonomi Indonesia mencapai 49,3 persen. Artinya, hampir setengah aset negara dikuasai satu persen kelompok terkaya nasional. Di Rusia, sebanyak 74,5 persen kekayaan negara itu dikuasai oleh satu persen orang-orang kaya mereka. Lembaga itu juga menyebutkan besarnya kesenjangan terutama terjadi sejak krisis ekonomi yang melanda dunia tahun 2008.
Sebagai salah satu negara dengan tingkat kesenjangan yang cukup tinggi, langkah strategis pemerintah menjadi sangat dinantikan. Indonesia tidak bisa melakukan langkah seperti yang dibuat Malaysia karena dalam laporan tersebut Malaysia tidak masuk dalam 10 negara dengan tingkat kesenjangan tertinggi.
Apalagi, sejarah tidak meratanya ekonomi nasional sudah terjadi ketika Orde Baru di bawah pemerintahan Soeharto. Saat itu, ekonomi Indonesia terasa lebih baik dari sekarang karena harga-harga barang kebutuhan pokok terjangkau oleh masyarakat. Namun, kebijakan Pak Harto "memelihara" beberapa orang konglomerat membuat ekonomi nasional hanya dikuasai oleh segelintir orang.
Krisis moneter yang melanda Indonesia di tahun 1998 pun, meski melahirkan pemerintahan baru, hanya sedikit memunculkan pengusaha-pengusaha baru di kelas atas maupun menengah. Itulah alasan struktur penguasaan ekonomi nasional tidak banyak berubah pada saat ini dibandingkan pada saat Orde Baru.
Butuh puluhan tahun untuk menumbuhkan kelas menengah dan kelas atas baru yang bisa menguasai ekonomi di dalam negeri. Butuh waktu yang tak sedikit menekan garis kesenjangan tersebut.
Salah satu cara yang bisa menekan perubahan penguasaan ekonomi nasional adalah melahirkan pelaku-pelaku usaha baru. Sebab, dengan melahirkan pengusaha-pengusaha baru, walaupun itu hanya pelaku usaha kecil, akan meningkatkan pendapatan mereka.
Kita tidak ingin pemerintah melahirkan hanya sekadar pegawai-pegawai baru atau pekerja baru. Sebab, kesenjangan ekonomi itu terjadi akibat ekonomi dikuasai oleh segelintir pengusaha nasional. Jika pengusaha di dalam negeri banyak bermunculan maka dalam puluhan tahun ke depan ekonomi dikuasai bersama-sama oleh banyak pelaku usaha.
Untuk itu, pemerintah harus memberi sebanyak mungkin akses untuk para pelaku usaha kecil, baik itu akses mendapatkan dana maupun akses mendapatkan kesempatan mengerjakan proyek-proyek yang selama ini dilakukan oleh para pelaku kelas menengah dan atas.
Tidak hanya pemerintah di pusat yang harus memiliki komitmen seperti ini, tetapi juga pemerintah di daerah-daerah. Semua kepala pemerintahan seharusnya berpikir, dengan memunculkan pelaku-pelaku usaha baru maka angka kemiskinan di wilayahnya akan berkurang. Dengan banyaknya muncul pelaku usaha baru akan menyerap banyak tenaga kerja yang secara otomatis juga akan menekan pengangguran di wilayah tertentu.
Selama ini, pemerintah membuat jargon untuk melahirkan pelaku-pelaku usaha baru. Namun, program itu belum diseriuskan. Selama ini masih sering terdengar para pelaku usaha yang tidak memiliki akses ke modal. Kita juga masih sering mendengar rumitnya birokrasi bagi para pelaku usaha pemula. Belum lagi pungutan-pungutan yang masih terjadi di beberapa pemerintah daerah. Padahal, di beberapa negara dengan tingkat kesenjangan rendah, pemerintah memberikan layanan yang sangat memudahkan untuk para pelaku usaha pemula.