Aksi Bela Islam III yang digelar tanggal 2 Desember 2016, selanjutnya cukup dikenal dengan Aksi 212, memang sudah berlalu. Namun dampak spirit dan energinya masih terasa hingga kini.
Berbagai gairah berislam mulai merambah sejumlah sektor kehidupan. Pada sektor ekonomi, Aksi 212 menjelma menjadi kekuatan yang terkonsolidasi membangun perekonomian berbasis pemberdayaan umat. Berbagai harapan baru pada sektor ini mulai disemai dengan merencanakan pendirian Minimarket 212, Hotel 212, hingga mendirikan Bank 212. Sementara di sektor media massa, semangat mendirikan stasiun Televisi 212 demikian menguat.
Hal ini tentu mengingat bahwa umat Islam tidak memiliki ruang yang efektif untuk menyampaikan perspektif mereka terhadap berbagai persoalan bangsa dan negara. Sedangkan pada sektor religius, Aksi 212 mulai berdampak pada gagasan shalat Subuh berjamaah. Shalat Subuh dipilih sebagai simbol kebangkitan umat Islam dari tidur panjangnya.
Ini memunculkan kesadaran baru di kalangan umat Islam. Suatu kesadaran yang terus bergerak membentuk identitas baru yang disebut sebagai Islam kosmopolitan. Istilah ini dipilih untuk merefleksikan suatu gambaran suasana kebatinan umat Islam yang mengikuti Aksi 212. Bagi alumni 212 tentu dapat merasakan dan menyaksikan langsung berbagai jenis umat Islam tanpa kelas dan strata berkumpul dalam jumlah yang cukup menggetarkan dengan damai, tertib, aman, dan toleran.
Dua prinsip
Kosmopolitan awalnya merupakan pikiran filsuf Diogenes pada sekitar 400 tahun sebelum Masehi. Gagasan awalnya menyatakan bahwa setiap manusia adalah warga negara kosmos. Ide ini ingin menegaskan, setiap individu adalah warga negara yang tidak dapat dibatasi perbedaan ras, budaya, suku, status sosial, termasuk agama.
Gagasan Islam kosmopolitan semakin meneguhkan bahwa ke depan identitas umat Islam tidak lagi dapat dikotak-kotakkan ke dalam berbagai varian sosial dan politik yang bergerak di ruang yang sempit. Pada dasarnya gagasan kosmopolitan dibangun dengan dua prinsip dasar. Pertama bahwa setiap individu harus dilihat sebagai manusia. Islam menegaskan ini dengan istilah khalifah. Bahwa manusia adalah khalifah di muka bumi.
Tuhan tidak melihat hambanya dari bentuk fisik, status sosial, etnis, suku, dan golongan. Tuhan hanya melihat manusia dari hati dan bagaimana hati tersebut digunakan untuk memberi manfaat bagi sesama. Sebab, sebaik-baik manusia adalah yang memberi manfaat. Aksi 212 telah menunjukkan, seluruh peserta yang hadir saling berelasi tanpa dominasi. Mulai dari guru besar hingga murid yang kecil berbaur.
Mulai dari sosialita hingga rakyat jelata bercampur. Mulai ulama hingga umat melebur menjadi suatu umatan washatan (umat pilihan) dan umatan wahidatan (umat yang satu). Suatu hal yang menakjubkan dan baru pertama terjadi di Indonesia, mungkin juga di dunia. Dalam konteks tersebut, setiap individu dilihat sebagai bagian dari umat manusia tanpa memandang status apa pun yang tersemat dalam dirinya.
Kedua, karena individu menjelma menjadi umat yang terbentuk secara alami dan sederajat, maka manusia tidak dapat lagi dikelompokkan berdasarkan atribut artifisial seperti latar belakang organisasi atau profesi. Artinya, status sosial yang tersemat dalam diri seseorang tidak membuatnya lebih mulia dan mendapatkan perlakuan berbeda.
Seorang guru besar terlihat juga ikut basah kuyup diguyur hujan, demikian juga dengan panglima TNI yang terlihat hadir mendampingi presiden saat menghadiri Aksi 212. Secara umum, kosmopolitan muncul bukan sebagai gaya hidup tetapi karena dorongan budaya dan perjuangan politik. Demikian pula dengan Aksi 212, memungkinkan terjadi karena dorongan budaya dan perjuangan politik.
Budaya di sini dapat dipahami sebagai identitas yang dibentuk berdasarkan seperangkat nilai yang diyakini mengandung kebenaran. Salah satu sumber kebenaran yang diyakini umat Islam adalah kitab suci Alquran. Harus diakui pula bahwa Aksi 212 dipicu adanya perasaan yang dinilai umat Islam sebagai penghinaan terhadap Alquran. Dengan demikian politik sebagai faktor pendorong munculnya Islam kosmopolitan juga dapat dipahami sebagai politik nilai, bukan politik kekuasaan.
Politik nilai dapat dimaknai sebagai politik substansial karena memperjuangkan suatu nilai yang dinilai sangat penting. Nilai tersebut tidak dapat diukur dan digantikan oleh apa pun. Nilai substansial inilah yang menggerakkan setiap orang rela berkorban apa saja untuk hadir dalam Aksi 212.
Kendati sempat dihalang-halangi, halangan tersebut tidak mampu menahan hati yang terpanggil untuk bergerak menghadiri Aksi 212. Bahkan sekali pun jika hal tersebut harus dilakukan dengan berjalan kaki ratusan kilometer. Santri yang berjalan kaki dari Ciamis, Jawa Barat, menuju Jakarta merupakan bukti betapa kuat magnet politik nilai mampu menggerakkan hati orang untuk berkorban apa saja.
Karena alasan Aksi 212 ini merupakan perjuangan nilai, bukan memperjuangkan kekuasaan, maka dia harus bersih dari berbagai dimensi politik praktis. Itu pula sebabnya berbagai atribut dan identitas politik praktis tidak tampil dalam Aksi 212. Karena panggilan hati, tanpa instruksi, dengan kesadaran yang tinggi tidak ada pihak yang menampilkan identitas politik saat menghadiri Aksi 212. Berbagai relasi tersebut menyusun dan pada gilirannya mengusung narasi besar identitas baru Islam Indonesia sebagai Islam kosmopolitan.
Fenomea Aksi 212 yang memunculkan gagasan Islam kosmopolitan ini dapat memorakporandakan berbagai tesis yang selama ini dirujuk untuk memotret kelas sosial umat Islam Indonesia. Sebut saja satu di antaranya gagasan tentang Islam abangan, santri, priyayi dari Clifford Geertz (1960) yang paling sering digunakan untuk memahami potret sosiologis umat Islam Indonesia, khususnya di Jawa.
Kategorisasi Islam menurut Geertz tersebut perlu ditinjau ulang setelah Aksi 212 lalu berlangsung. Sebab, selain tidak dibatasi oleh kriteria sosiologis tersebut, Aksi 212 juga dihadiri oleh Islam dari kelompok abangan, santri, dan priayi. Namun, kehadiran mereka tidak dapat dinilai mewakili kelompok sosial yang merepresentasikan identitas sosial keagamaan mereka tersebut.
Mereka hadir sebagai manusia (khalifah) yang datang hanya karena panggilan hati, bukan representasi dari kelas dan kultur sosial-keagamaan yang hendak mereka wakili.
Iswandi Syahputra
Dosen Ilmu Komunikasi UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta