Tahun 2017 baru memasuki hari keenam. Namun, sepanjang enam hari pertama pada pergantian tahun ini sudah ada dua komponen harga yang mengalami kenaikan.
Pertama adalah kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM). Kedua adalah tarif baru untuk pengurusan surat-surat kendaraan bermotor, baik roda dua maupun roda empat oleh Polri secara nasional.
Kenaikan harga ini berlaku untuk BBM nonsubsidi, yakni jenis Pertalite, Pertamax, Pertamax Plus, Pertamax Turbo, Dexlite, dan Pertamina Dex. Masing-masing jenis mengalami kenaikan harga sebesar Rp 300 per liter. Kenaikan harga terhitung mulai 5 Januari 2017 pukul 00.00 WIB.
Sebulan sebelumnya, Pertamina juga telah menaikkan harga Pertamax dan Pertamax Plus sebesar Rp 150 per liter dengan alasan untuk menyesuaikan dengan kenaikan harga minyak dunia. Jenis BBM tersebut memang tak disubsidi pemerintah sehingga mengikuti harga minyak internasional: bisa naik, bisa pula turun.
Pada Jumat (6/1), masyarakat dikejutkan dengan kenaikan biaya pengurusan perpanjangan STNK kendaraan bermotor. Mengacu pada Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 60 Tahun 2016 tentang Jenis dan Tarif Atas PNPB untuk mengganti PP Nomor 50 Tahun 2010 tentang hal yang sama, ada kenaikan biaya pengurusan surat-surat kendaraan hingga dua kali lipat besarannya dari semula.
Kenaikan biaya pengurusan surat kendaraan bermotor ini cukup mengejutkan masyarakat. Terbukti dengan berbondong-bondongnya warga pada Kamis (5/1) memadati kantor-kantor polisi dan mobil samsat keliling. Mereka memanfaatkan waktu sisa satu hari sebelum kenaikan biaya itu ditetapkan.
Padahal, masa berlaku surat kendaraan bermotor sebagian warga tersebut belum habis. Dengan alasan demi menghindar dari membayar lebih karena harga baru telah ditetapkan.
Fenomena beramai-ramainya mengurus surat kendaraan bermotor ini memperlihatkan masyarakat kita sangat selektif dalam membelanjakan uang yang dimiliki. Sikap sangat selektif ini bisa jadi karena memang masyarakat kita gemar berhemat dan penuh pertimbangan dalam memilah objek pembelanjaan uangnya.
Akan tetapi, bisa jadi pula memang masyarakat kita sedang dalam impitan ekonomi. Nilai uang yang mereka miliki dirasakan tidak sebanding dengan harga barang-barang kebutuhan pokok yang mesti mereka konsumsi dan gunakan.
Artinya, kenaikan harga barang-barang telah menggerus nilai uang yang mereka miliki. Dengan kondisi ini, membuat mereka sangat perhitungan dalam mengeluarkan uangnya.
Kenaikan harga BBM dan pengurusan surat kendaraan bermotor sudah cukup menekan biaya hidup sebagian dari masyarakat kita. Belum lagi kenaikan harga sejumlah bahan pangan di sejumlah daerah, seperti cabai dan bawang merah.
Bagi sebagian masyarakat, kenaikan harga produk pangan itu tidak berdampak signifikan. Namun, bagaimana dengan masyarakat kita yang tinggal di perdesaan?
Badan Pusat Statistik (BPS) pada Selasa (3/1) merilis jumlah penduduk miskin Indonesia pada masa pemerintahan Presiden Joko Widodo terus mengalami penurunan. Namun, BPS mengingatkan agar mewaspadai disparitas yang tinggi antara kemiskinan di perdesaan dan perkotaan.
Jumlah penduduk miskin di perdesaan per Maret 2017 sebesar 17,67 juta orang (14,11 persen), sedangkan di perkotaan 10,34 juta orang (7,79 persen). Artinya, masih banyak penduduk di desa yang miskin, disparitas dengan perkotaan juga tinggi.
Disparitas jumlah penduduk miskin memang harus segera ditangani. Jika dibiarkan, disparitas ini bisa semakin tinggi. Solusinya, perlu ada kebijakan khusus yang simultan dan terencana dengan baik untuk mengurangi jumlah penduduk miskin di perdesaan.
Oleh karena itu, Presiden Joko Widodo pada saat memberikan pengantar Sidang Kabinet Paripurna di Istana Bogor, Rabu (4/1), mengingatkan seluruh anggota Kabinet Kerja untuk bersama-sama berupaya keras mewujudkan terjadinya pemerataan. Pemerataan ekonomi akan dijadikan fokus pada masa kerja tahun ini.
Namun, untuk menjadikannya fokus perhatian bukan hal mudah. Perlu langkah yang strategis guna mencegah ketimpangan semakin dalam.
Mudah-mudahan tahun baru tidak hanya dengan harga bahan kebutuhan yang baru, tetapi juga disertai dengan pendapatan baru yang lebih baik, lapangan kerja yang lebih banyak, tingkat pengangguran yang bisa terkontrol, dan kesempatan memperoleh akses pendidikan yang lebih luas.