Selasa 10 Jan 2017 14:00 WIB

Raih Kedaulatan Ekonomi

Red:

Spirit Bela Islam 212 ternyata tidak berhenti pada tuntutan hukum terhadap Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) sebagai penista agama, lebih dari itu juga merambah ke sektor ekonomi. Transformasi ini terjadi akibat peristiwa 'kecil' klarifikasi manajemen Sari Roti yang dianggap menyinggung perasaan umat. Peristiwa inilah yang kemudian menyentak kesadaran umat akan ketidakberdayaannya di sektor ekonomi. Secara berjamaah, umat pun mencoba mengumpulkan kekuatan untuk melakukan boikot terhadap Sari Roti, dan hasilnya dahsyat, perusahaan roti asal Jepang itu pun menjadi kalang kabut.

Keberhasilan aksi boikot terhadap Sari Roti membuat umat insaf, betapa sesungguhnya mereka merupakan kekuatan besar yang terpendam, belum teraktualkan. Keinsafan itu pun diekspresikan dengan berbagai cara, di Surabaya Pengurus Daerah Muhammadiyah  secara urunan memproduksi roti Maidah. Di beberapa daerah, mulai didirikan swalayan 212 sebagai bentuk perlawanan terhadap dominasi swalayan berjejaring. Dan kabar terakhir, tokoh-tokoh GNPF-MUI bersama pengurus MUI dan beberapa pakar ekonomi syariah mendirikan Koperasi Syariah 212.

Kesadaran ini patut disyukuri mengingat dua hal. Pertama, umat Islam merupakan pemilik sah Republik Indonesia. Diakui atau tidak, perjuangan kemerdekaan Indonesia selalu melibatkan para sultan, pangeran, ulama, dan santri. Namun sayangnya, hingga hari ini nasib umat Islam tak ubahnya seperti tamu di negeri sendiri. Dari hulu hingga hilir ekonomi nasional semuanya dikuasai pihak lain.

Dalam Lokakarya Nasional Pengelolaan Waqaf dan Aset-aset Masjid di Indonesia (25/5/2015), Ketua MPR Zulkifli Hasan menyatakan, saat ini lebih dari 50 persen kekayaan negara dikuasai oleh 23 orang kaya. Sementara pakar hukum tata negara Prof Yusril Ihza Mahendra dalam sebuah acara di TV swasta menyatakan, sebanyak 74 persen tanah di Indonesia dikuasai oleh segelintir penduduk nonpribumi yang jumlahnya hanya 0,2 persen. Dominasi ekonomi non-Muslim juga kelihatan dari daftar 10 orang terkaya di Indonesia, di mana hanya satu saja yang Muslim.

Kedua, seperti yang sering disampaikan Ketua ICMI Prof Dr Jimly Asshiddiqie, ke depan umat Islam di tanah Melayu, khususnya Indonesia, akan memainkan peran penting dalam perubahan geopolitik dan geostrategis dunia di pertengahan abad ke-21. Saat itu ekonomi akan dikuasai tiga negara: Cina, India, dan ASEAN.

Meski demikian, Jimly memberi catatan, peran itu akan bisa dimaksimalkan oleh umat Islam Indonesia dengan syarat: bersatu, meningkatkan pendidikan umat, dan ekonomi. Untuk itu, Jimly mengajak pengembangan strategi dakwah ke tiga sasaran sekaligus: negara, civil society, dan market (pasar). "Harus ada kader umat yang digerakkan menjadi pengurus negara, juga menguasai pasar," katanya menerangkan.

Dari ketiga sasaran tersebut, Jimly memberi penekanan lebih pada penguasaan pasar (ekonomi). Pasalnya, siapa yang menguasai pasar, dia menguasai ekonomi, bahkan negara. Sementara saat ini, ekonomi terbesar dikuasai orang lain, ditunjukkan dengan data perusahaan-perusahaan swasta 80 persen dikuasai orang lain bukan oleh umat Islam, dan umat Islam hanya menjadi buruh.

Etos kesaudagaran

Pada masa lalu, umat Islam memiliki peran ekonomi strategis di nusantara. Hal ini setidaknya bisa ditelisik dari fakta historis bahwa yang lebih berperan dalam membawa Islam ke nusantara adalah kaum pedagang Muslim dari Arab, Persia, atau Cina.

Gerakan Serikat Dagang Islam (SDI) dan Muhammadiyah di awal-awal abad ke-19 menjadi bukti betapa perdagangan menjadi jiwa dan semangat umat Islam. Maka itu, tidak heran jika Clifford Geertz  dalam "The Religion of Java" menyatakan, kaum santri pada umumnya memiliki etos kerja dan kewiraswastaan yang lebih tinggi dari kaum abangan, yang dipengaruhi oleh elemen-elemen ajaran Hindu dan Buddha. Karena itu, dalam "Pedlers and Princes", Geertz bahkan memprediksi bahwa pada masa depan, para santri itu akan tampil sebagai elite pengusaha pribumi di negeri ini.

Namun, ternyata ramalan itu salah. Di kemudian hari, kaum santri ternyata menjadi kelompok marginal dalam ekonomi dan bisnis karena lebih suka bergelut dalam alam birokrasi, politik, dan intelektual, daripada menggeluti sektor ekonomi. Maka wajar jika dalam "Islam di Indonesia: Suatu Ikhtiar Mengaca Diri (1986)", Amin Rais meratapi fenomena kemerosotan umat Islam di bidang ekonomi itu. Menurut dia, para wiraswastawan di bidang tenun, batik, dan lainnya telah mengalami kemunduran karena tidak fit lagi dalam survival test proses perekonomian bangsa yang mengarah pada kapitalisme komparador, sehingga terjadi proses alienasi dan deprivatisasi ekonomi rakyat (baca: umat Islam).

Di tengah tantangan ekonomi yang semakin berat, dan seiring tumbuhnya kesadaran ekonomi pasca-Aksi Bela Islam 212, sudah semestinya umat Islam kembali menghidupkan etos entrepreneurship itu dan menjadi pemain utama ekonomi bangsa seperti yang diramalkan Geertz dahulu. Upaya ini merupakan sebuah keniscayaan yang tak bisa ditawar-tawar lagi jika umat Islam di tanah Melayu ini ingin mengambil peran penting dalam peradaban mendatang.

Menurut Ketua Ikatan Ahli Ekonomi Islam Indonesia (IAEI) Agustianto, setidaknya ada tiga dasar pemikiran mengapa rekonstruksi ekonomi umat Islam menjadi penting. Pertama, faktor historis. Umat Islam sejak kelahirannya memiliki jiwa dan etos kewirausahaan yang tinggi. Nabi Muhammad dan sebagian besar sahabat adalah para pedagang dan entrepreneur lintas negara. Dengan demikian, etos itu seharusnya sudah sangat melekat dan inheren dengan diri umat Islam.

Dan etos ini semakin kental menilik betapa secara doktrinal Islam sangat menekankan semangat itu. Allah berfirman, "Apabila kamu telah melaksanakan shalat, maka betebaranlah kamu di muka bumi dan carilah rezeki Allah dan ingatlah Allah sebanyak-banyaknya agar kamu beruntung" (QS 62: 10). Nabi bersabda: "Hendaklah kamu berdagang, karena di dalamnya terdapat 90 persen pintu rezeki" (HR Ahmad). "Sesungguhnya sebaik-baik mata pencaharian adalah seorang pedagang (entrepreneur)." (HR Baihaqy).

Kedua, kondisi ekonomi umat Islam Indonesia sudah sekian lama terpuruk, maka perlu revitalisasi entrepreneurship umat Islam. Ketiga, kehadiran lembaga-lembaga perbankan dan keuangan syariah beberapa dekade akhir ini dapat menjadi awal yang baik bagi pertumbuhan entrepreneur  santri. Problematika usaha bisnis umat Islam yang selama ini dianggap tidak bankable dapat teratasi dengan bantuan perbankan syariah.

Namun, ketiga varian pendorong ini tidak akan bermanfaat jika kelas menengah Muslim tidak segera mulai menyebarkan benih entrepreneurship di kalangan umat. Ini karena, seperti yang sering diungkapkan saudagar santri dari Makassar Jusuf Kalla, spirit entrepreneurship akan terasah melalui proses empirikal, bukan teori. "Ibarat orang berenang, jangan diajari caranya berenang, tetapi terjunkanlah di kolam kemudian biarkan dia menemukan caranya sendiri berenang," ujarnya.

Tentu saja, upaya merebut kedaulatan ekonomi itu akan segera terwujud jika umat Islam kembali berjamaah mengembangkan visi perbaikan ekonomi umat seperti spirit Aksi Bela Islam 212 lalu. Allahu a'lam.

Ahmad Khoirul Fata

Mahasiswa S3 SPs UIN Syarif Hidayatullah. Dosen IAIN Sultan Amai Gorontalo

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement