Senin 14 Nov 2016 17:00 WIB

Tiga Langkah Mendorong Akuakultur

Red:

Indonesia mulai sekarang harus fokus melaksanakan tiga program nasional berbasis komoditas akuakultur unggulan. Yakni komoditas (spesies) yang memiliki potensi produksi yang tinggi, harga jualnya mahal, teknologinya relatif mudah, dibutuhkan oleh konsumen (pasar) domestik ataupun ekspor, dan meng ha silkan keuntungan cukup besar. Ini supaya sektor akuakultur dapat secara konkret dan dalam jangka pendek (sekarang – 2019) meng hasilkan pertumbuhan ekonomi yang tinggi, menciptakan lapangan kerja yang besar, menunjang kedaulatan pangan serta farmasi, dan menye jahterakan rakyat secara ber ke lanjutan.

Atas dasar kriteria itu, komoditas unggulan untuk usaha budi daya di laut, antara lain, kerapu bebek, kerapu macan, kerapu sunu, kakap, bawal bintang, baronang, gobia (tropical gindara), lobster, gonggong, kerang hijau, abalone, teripang, kerang mutiara, dan berbagai spesies rumput laut.

Komoditas unggulan untuk usa ha budi daya di perairan payau (tam bak), di antaranya, udang windu, udang vanamme, udang rostris, ikan ban deng, nila salin, kerapu lumpur, kepiting, rajungan, dan beberapa jenis rumput laut Gracillaria (agarosa). Komoditas unggulan untuk budi daya di perairan tawar, termasuk kolam dan mina padi, antara lain, mencakup ikan emas, nila, gurame, patin (dori), lele, baung, belida, bawal air tawar, udang galah, lobster air tawar (Cerax spp), berbagai macam ikan dan tanaman hias, dan labi-labi.

Program pertama yang harus dilakukan adalah revitalisasi seluruh usaha akuakultur yang sudah ada, baik di perairan laut, payau, darat maupun akuarium. Tujuan program ini untuk meningkatkan produktivitas, efisiensi, dan keber lanjutan seluruh bisnis akuakultur yang ada.

Sehingga, keuntungan usahanya dapat menyejahterakan pelaku usaha (termasuk karyawan) budi daya, yakni minimal 300 dolar AS (sekitar Rp 4 juta) /orang/bulan secara berkelanjutan. Angka ini dihitung berdasarkan garis kemiskinan Bank Dunia (2014). Yakni seseorang digolongkan sejahtera (tidak miskin), bila pengeluarannya lebih besar dari 2 dolar AS per hari.

Mengingat ukuran rata-rata keluarga Indonesia di pedesaan adalah lima orang (ayah, ibu, dan tiga anak) dan yang bekerja hanya ayah atau ibunya. Maka, pendapatan minimal sebuah keluarga sejahtera adalah 2 dolar AS/hari x 30 hari/bulan x 5 orang = 300 dolar AS/orang/bulan.

Untuk mencapai target tersebut, seluruh unit usaha akua kultur harus memenuhi skala eko nomi. Yakni, ukuran unit usaha yang dapat menghasilkan pendapatan bagi pelaku usaha minimal Rp 4 juta/orang/ bulan. Setiap unit usaha harus meng gunakan teknologi mutakhir yang ramah lingkungan dan menerapkan best aqaculture practices (BAP).

BAP meliputi pemilihan lokasi usaha yang tepat, penggunaan bibit atau benih unggul, pemberian pakan berkualitas, pengelolaan kualitas air dan tanah, tata letak, desain, dan konstruksi kolam secara benar. Kemudian, pengendalian hama dan penyakit, biosecurity, dan luas areal serta intensitas teknologi budi daya tidak melampaui daya dukung lingkungan wilayah setempat.

Selain itu, Indonesia harus menerapkan pendekatan sistem rantai suplai (hatchery dan pabrik pakan – pembesaran – industri pascapanen pasar) secara terintegrasi. Ini sangat penting untuk menjamin stabilitas harga jual produk akuakultur, yang menguntungkan pembudi daya dan terjangkau konsumen.

Program kedua berupa ekstensifikasi usaha akuakultur di wilayah perairan laut, payau, dan darat yang cocok untuk budi daya perikanan. Untuk memeratakan pembangunan sebaiknya eks tensifikasi ini diprioritaskan ke luar Jawa.

Sangat baik, bila wilayah-wilayah perbatasan kita makmurkan dengan beragam usaha akuakultur beserta segenap industri hulu dan hilirnya. Sehingga, bersama pengembangan sektor-sektor ekonomi lainnya akuakultur dapat membangun prosperity belt atau sabuk kemakmuran yang melingkari wilayah NKRI, dari Sabang hingga Merauke dan dari Miangas ke Rote.

Prosperity belt ini diyakini juga akan membantu terbangunnya security belt (sabuk hankam) yang memperkokoh kedaulatan NKRI. Program ketiga adalah diversifikasi spesies atau komoditas budi daya. Sebagai negara dengan keanekaragaman hayati perairan tertinggi di dunia, mestinya Indonesia sudah membudidayakan banyak biota perairan. Namun, hingga 2014, Indo nesia baru berhasil membudidayakan tidak lebih dari 25 spesies.

Sebagai ilustrasi betapa raksa sanya potensi ekonomi akuakultur adalah usaha budi daya udang va namme. Bila dalam tiga tahun ke depan kita mampu mengusahakan 500 ribu hektare tambak udang ini (17 persen total potensi lahan pesisir Indonesia yang cocok untuk tambak), dengan rata-rata produktivitas selama ini sekitar 40 ton/hektare/tahun, maka, bisa diproduksi 20 juta ton atau 20 miliar kg udang per tahun. Saat ini harga udang vanamme di tambak (on-farm) rata-rata 4 dolar AS per kg. Sehingga, bisa dihasilkan nilai ekonomi 80 miliar dolar AS atau sekitar Rp 1.000 triliun per tahun atau sekitar 40 persen APBN 2016.

Rata-rata keuntungan bersih sekitar Rp 10 juta/hektare/bulan. Potensi tenaga kerja on-farm sebanyak tiga orang/hektare x 500.000 ha = 1,5 juta orang. Dan, potensi tenaga kerja off-farm (orang yang bekerja di sektor hulu dan hilir dari tambak udang) sekitar dua orang/ha x 500 ribu hektare adalah sejuta orang. Padahal, sebagaimana diuraikan di atas, masih ada ratusan spesies lain yang sangat menguntungkan untuk dibudidayakan.      Oleh Rokhmin Dahuri, ed: Satria Kartika Yudha

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement