Mata kuliah yang terlalu banyak membuat mahasiswa sulit fokus dan tidak menguasai materi kuliah secara mendalam.
Tahun akademik baru dimulai. Awal semester selalu membawa angin semangat dan harapan baru bagi mahasiswa. Mahasiswa mengisi rencana studi dan memilah-milah mata pelajaran yang akan diambil selama satu semester.
Ginanjar Satriaji, mahasiswa semester tiga program studi D-3 Teknik Mesin Universitas Diponegoro, ini berencana hanya akan mengambil sembilan mata kuliah dengan beban 21 satuan kredit semester (SKS) saja. Ia mengaku enggan mengambil jumlah mata kuliah maksimal lantaran, menurutnya, cukup melelahkan.
Fahmi Syafaat juga melakukan hal yang sama. Calon mahasiswa S-2 yang akan memulai studi barunya di program studi Kimia Nonhayati Universitas Indonesia juga mempertimbangkan beberapa hal ketika menentukan beban belajar yang akan diambilnya selama kuliah.
Pada semester pertama ini, ia hanya akan mengambil tujuh mata kuliah dengan bebas 14 SKS. Menurut pria yang tinggal di Bekasi, tujuh mata kuliah yang ia ambil ini merupakan jumlah ideal agar tetap fokus. Maklum, selain kuliah, ia juga bekerja. Tujuh mata kuliah itu akan dilakoninya selama tiga hari dalam sepekan.
Pengamat pendidikan Doni Koesoema mengatakan, jumlah mata kuliah dalam kurikulum pendidikan tinggi di Indonesia terlalu banyak. Terutama, untuk jenjang S-1. Dalam satu pekan, mahasiswa dijejali terlalu banyak mata kuliah yang dituntut harus dikuasai. Menurutnya, perlu ada evaluasi mengenai jenis mata kuliah untuk S-1 agar mahasiswa tidak belajar terlalu banyak dan spesifik. Doni membandingkan perkuliahan di luar negeri yang lebih mengutamakan kualitas dan pendalaman materi.
Dia mencontohkan perkuliahan di Amerika Serikat. Selama satu semester, kata Doni, mahasiswa umumnya hanya mengambil mata kuliah yang sedikit. Namun, dalam kegiatan belajar-mengajar, baik mahasiswa maupun dosen, keduanya melakukan kolaborasi sehingga menghasilkan pembelajaran yang berkualitas.
Satu mata kuliah diajarkan selama empat jam. Belum ditambah dengan tugas dan eksplorasi pribadi yang menunjang mahasiswa menguasai materi yang diberikan. Hasilnya, output yang diperoleh lebih baik lantaran mahasiswa mempelajari lebih mendalam. Hal ini cukup berbeda dibandingkan pembelajaran di Indonesia yang terlalu banyak mata pelajaran, namun kurang memerhatikan pendalaman materi. "Di Amerika, untuk kuliah S-2, mereka umumnya hanya mengambil empat mata kuliah, itu sudah super," kata Doni.
Penelitian kurikulum Staf pengajar Fakultas Ekonomi UI Rangga Handika kini sedang melakukan penelitian mengenai beban studi yang ideal bagi mahasiswa di Indonesia. Bersama Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat (LPEM) UI, Rangga melakukan penelitian mengenai kurikulum perguruan tinggi, termasuk jumlah mata pelajaran dan jumlah beban SKS yang ideal untuk satu semester. Ia melakukan studi khusus untuk jenjang S-1.
Bermula dari pengalamannya kuliah di Indonesia, Australia, dan Jerman, Rangga melihat ada kecenderungan yang berbeda dari kurikulum belajar di tiga negara tersebut. Ada perbedaan output yang cukup tampak. Di Indonesia, jumlah mata kuliah cenderung banyak. Mahasiswa Indonesia terkesan menguasai banyak hal, namun tidak mendalam. Sementara, pembelajaran di luar negeri dirancang agar menguasai hal yang sedikit, namun mendalam.
Rangga melihat jumlah mata kuliah yang harus diselesaikan mahasiswa Indonesia dalam satu semester terlalu banyak.
Selama satu semester, mahasiswa dituntut menyelesaikan tujuh, delapan, bahkan 10 mata kuliah. Padahal, dalam sepekan, umumnya hanya ada lima hari aktif untuk kuliah.
Artinya, dalam satu hari, ada kemungkinan mahasiswa belajar dua mata kuliah. Menurutnya, hal ini akan berdampak pada tingkat pemahaman mahasiswa.
Pembelajaran di perguruan tinggi yang bertujuan membuat mahasiswa menjadi ahli dalam bidang tertentu menjadi tidak tercapai. Di Indonesia, pelajaran banyak sekali, tapi yang 50 persennya keba nyakan menggunakan sistem kebut.
"Begitu ujian selesai, tak banyak hal yang bisa dipahami dan diingat," ujar Rangga.
Mata kuliah yang terlalu banyak membuat mahasiswa sulit fokus dan tidak menguasai materi kuliah secara mendalam. Banyaknya jumlah mata kuliah di Indonesia, menurutnya, membuahkan kesan bahwa mahasiswa harus serbabisa.
Jika studi ini selesai, hasilnya akan direkomendasikan kepada pemerintah untuk mengambil kebijakan berapa jumlah mata pelajaran dan beban studi yang idealnya diambil mahasiswa di Indonesia.
Meski mungkin akan memerlukan waktu lama, studi yang dilakukan diharapkan bisa menjadi dasar pertimbangan ilmiah agar sistem pendidikan tinggi di Indonesia lebih baik.
Wakil Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nasional Musliar Kasim mengatakan, tren pendidikan saat ini lebih fokus pada pembelajaran yang lebih berkualitas. Anak didik tak lagi dibebani dengan begitu banyak pelajaran. Hal ini pula yang mendasari penggunaan kurikulum 2013 yang mengajarkan mata pelajaran yang sedikit di level pendidikan dasar dan menengah. rep:dwi murdaninsih ed: hiru muhammad