JAKARTA - Kampanye hitam terkait pemilu presiden di media sosial (medsos) kian marak. Masyarakat mulai jenuh dan muak terhadap aksi saling menghujat sesama pengguna medsos pendukung calon presiden-calon wakil presiden.
Pakar komunikasi Universitas Diponegoro Semarang, Triyono Lukmantoro, mengatakan, merupakan hal yang wajar bila ada yang merasa jenuh dengan segala bentuk kampanye di media sosial, apalagi kampanye hitam. Kejenuhan beberapa pengguna media sosial yang bersikap tak mendukung atau tak ingin menunjukkan dukungan kepada calon tertentu bisa jadi disebabkan kampanye hitam yang semakin marak.
"Mereka mungkin berharap bisa mendapatkan informasi yang benar atau visi dan misi kandidat tertentu. Ternyata, di media sosial disuguhi berbagai kampanye hitam. Kalau media sosial isinya lebih banyak saling hujat, tentu bisa bikin bosan," kata Triyono, Ahad (8/6).
Triyono mengatakan, kampanye politik seharusnya dilakukan oleh para kandidat dan tim sukses masing-masing calon presiden yang secara terang-terangan menyampaikan pesan secara langsung maupun melalui media dan media sosial. Namun, tak jarang kampanye juga dilakukan para pendukung kandidat menggunakan media sosial atau pengguna media sosial yang secara terang-terangan mendukung kandidat tertentu.
"Yang penting jangan melakukan kampanye hitam karena sangat tidak beretika. Kalau ada yang melakukan kampanye hitam di media sosial, atau sekedar me-retweet atau menge-share pesan tertentu di media sosial, tentu harus paham konsekuensinya," tuturnya.
Konsekuensi yang dimaksud Triyono adalah sanksi hukum sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Menurut Triyono, bisa saja pengguna media sosial dituduh menyebarkan fitnah hanya karena me-retweet atau membagikan informasi tertentu.
"Apalagi, kampanye hitam itu sifatnya tidak jelas dari mana sumbernya, siapa yang pertama kali membuat, apakah tim sukses salah satu pihak atau orang yang tidak suka dengan calon tertentu," katanya.
Triyono mengatakan, akan lebih bijak bagi pengguna media sosial yang merasa jenuh untuk melakukan unfollow atau unfriend akun-akun yang melakukan kampanye hitam terhadap kandidat tertentu peserta Pemilu Presiden 2014. Triyono mengatakan, informasi di media sosial yang isinya saling hujat atau menyebarluaskan kejelekan pihak tertentu pada akhirnya memang bisa membuat bosan.
Apalagi, lanjut dia, informasi di media sosial kerap kali disertai tautan-tautan ke situs tertentu yang lebih banyak berisi propaganda dan tidak bisa ditampilkan di media mainstream. "Informasi yang menyebarluaskan visi dan misi kandidat mungkin bisa lebih diterima daripada yang isinya saling hujat, fitnah, dan menjelek-jelekkan," ujarnya.
Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Nelson Simanjuntak mengatakan, kampanye hitam melalui media sosial dalam pemilu presiden saat ini terjadi dalam skala yang belum pernah ada sebelumnya. Menurut Nelson, sejauh ini telah menerima tujuh pengaduan kecurangan pemilu yang sebagian besar berbentuk kampanye hitam di media sosial. "Agak lebih parah sekarang ini," kata Nelson.
Namun, lanjut Nelson, Bawaslu kesulitan menindaklanjuti kampanye hitam di media sosial karena aturannya lemah dan bukti-buktinya yang dianggap kurang. "Akibat kelemahan undang-undang ini, kita tidak dapat serta-merta menjerat orang-orang yang melakukan kampanye hitam," kata Nelson. antara ed: muhammad fakhruddin