JAKARTA -- Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) siap berbagi jatah kursi kabinet apabila partai politik yang tergabung dalam Koalisi Merah Putih mendukung mereka dalam pemilihan ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). PDIP masih berharap adanya dukungan parlemen dari Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Partai Amanat Nasinonal (PAN), dan Partai Demokrat.
"Kami sudah meyakinkan partai lain. Kami siap mengurangi jatah kami (di kabinet)," kata Sekretaris Jenderal DPP PDIP Tjahjo Kumolo kepada wartawan di Kompleks Parlemen Senayan, Rabu (1/10).
Tjahjo mengatakan, komunikasi intensif terus dilakukan PDIP dan partai-partai pengusung Joko Widodo-Jusuf Kalla (Jokowi-JK). "Saya kira kerja sama intensif terus dibangun, Hanura, dan Nasdem kemungkinan lobi penjajakan terus dilakukan," ujar Tjahjo.
Tjahjo mengatakan, pihaknya juga sudah bertemu dengan SBY dan tokoh-tokoh politik partai lain. Menurutnya, tawaran kursi kabinet merupakan hal wajar dalam proses tawar-menawar politik. "Seandainya ada tawaran itu wajar, itu bargaining politik, selama tidak mengganggu politik yang kita bangun," katanya.
Partai Keadilan Sejahtera (PKS) mengingatkan PDIP dan partai politik pendukung Joko Widodo-Jusuf Kalla (Jokowi-JK) tidak mengobral-ngobral jatah kursi kabinet ke Koalisi Merah Putih.
Wakil Sekretaris Jenderal Dewan Pimpinan Pusat (DPP) PKS Fahri Hamzah mengatakan, partai pengusung Jokowi-JK sebaiknya fokus merancang agenda pemerintahan yang berpihak kepada rakyat dan merealisasikan janji kampanye. "Jangan lagi obral-obral menteri," kata Fahri kepada wartawan di Kompleks Parlemen Senayan, Rabu (1/10).
Menurutnya, soliditas Koalisi Merah Putih dengan jumlah suara mayoritas di parlemen bukan alasan bagai Jokowi-JK untuk khawatir. Fahri mengatakan, soliditas Koalisi Merah Putih justru membuat parlemen bisa lebih efektif mengontrol dan mengawasi kebijakan pemerintah. "Bagus bagi demokrasi karena ada check and balances yang ideal," ujarnya.
Fahri mengatakan, dominasi Koalisi Merah Putih di parlemen bukan ancaman bagi eksistensi pemerintahan Jokowi-JK. Pasalnya, kata dia, sistem presidensial tidak memungkinkan parlemen untuk menjatuhkan presiden. Sistem presidensial justru memberi ruang besar bagi presiden menjalankan pemerintahan.
Fahri mencontohkan, presiden bisa mengeluarkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu) apabila tidak setuju dengan undang-undang yang disahkan DPR.
Pengamat politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Firman Noor mengatakan, langkah PDIP yang bersedia berbagi jatah kursi kabinet jika Demokrat dan partai lain mendukung mereka dalam pemilihan calon ketua DPR membuat PDIP menjadi partai yang pragmatis. Menurutnya, apa yang menjadi janji Jokowi untuk membangun kabinet tanpa transaksional menjadi hilang. "Jokowi punya dua bahasa. Bahasa kampanye dan pascakampanye. Bukan suatu hal yang mengherankan jika janji kampanye menjadi kenangan," ujar Firman Noor.
Ia menambahkan, saat ini situasi politik berubah sehingga otomatis PDIP juga harus mengubah strategi. Salah satunya yaitu dengan mengorbankan janji kampanye, khususnya mengenai pembentukan kabinet tanpa transaksional.
Pengamat politik pada Universitas Nasional Alfan Alfian mengatakan, bagi-bagi jatah kursi di kabinet sebagai iming-iming koalisi adalah realistis. Akan tetapi, menurutnya, hal itu terkesan kurang etis jika dilihat dari sikap awal Jokowi dalam pemilihan presiden lalu.
Menurut Alfan, Jokowi tidak perlu merebut kekuatan politik oposisi dengan cara klasik alias konvensional semacam itu. rep:muhammad akbar wijaya/andi mohammad ikhbal/c83/c73 ed: muhammad fakhruddin