JAKARTA -- Direktur Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Titi Anggraini, merasa banyak aspek yang dirusak atau diganggu oleh praktik politik uang. Ia menuturkan, salah satu yang diganggu adalah pembuktian demokrasi di Indonesia sejalan dengan ajaran Islam.
"Politik uang jadi momok dan virus demokrasi, ganggu demokrasi Indonesia yang membuktikan demokrasi itu sejalan dengan Islam," kata Titi di Jakarta, Kamis (29/12).
Sedangkan, kata dia, kaum mustadhafin (lemah) merupakan korban yang menjadi sasaran utama politik uang. Parahnya lagi, rakyat miskin dipaksa memiliki ketergantungan kepada politik uang.
Titi juga menyoroti fenomena para oknum pembuat kebijakan yang seolah mencitrakan politik uang bukanlah sebuah masalah. "Biasanya mereka mencitrakan diri sebagai penolong dengan alasan negara tidak hadir bagi rakyat miskin," katanya.
Dia mengatakan, bentuk politik uang di era pemilihan langsung sudah beragam. Beberapa bahkan menyaru dalam hal-hal yang dianggap legal, seperti hadiah atau pengganti uang transportasi. Sehingga, peraturan hukum yang melarang memberi atau menerima politik uang seakan tidak bertaji.
"Tidak ada guna itu pasal bagi mereka yang memberi dan menerima uang, karena muncul dibelakangnya yang membolehkan hadiah atau pengganti uang transport," ujarnya.
Menurut Titi, politik uang benar-benar sudah merajalela, dijadikan untuk menyuap pemilih, penyelenggara pemilu dan malah hakim yang mengurus sengketa pemilu. Menurut dia, kondisi itu semakin diperparah dengan penegakan hukum yang minim, termasuk dana kampanye yang tidak pernah memasukan kejelasan asal mula sumbangan kepada partai politik.
Kondisi itu sesuai riset yang dilakukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang menyebutkan, di atas 80 persen kandidat yang kalah melaporkan dana kampanye yang tidak sebenarnya. Hal itu membuat konsentrasi partai politik hanya ada di pemilik modal, yang menjadi aktor sentral dan mengendalikan institusi politik. "Karena uang digunakan membeli tiket pencalonan," katanya.
Terpisah, Ketua Umum Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah Haedar Nashir meminta agar ajang pilkada serentak 2017 menghasilkan pemimpin yang bisa menjadi panutan masyarakat.
Haedar mengatakan, pemimpin publik harus mempunyai keteladanan sekaligus prestasi. Tak bisa pemimpin hanya mengandalkan prestasinya saja tanpa keteladanan, begitupun sebaliknya.
"Pilkada jadi ajang bagaimana pemimpin bukan sekadar raih kekuasaan, tapi jadi pejabat publik yang berprestasi dan contoh teladan. Apalah arti prestasi tanpa contoh teladan," katanya saat menghadiri peresmian klinik pertama Muhamamdiyah di Kota Tasikmalaya, Rabu (28/12).
Ia sempat mengkhawatirkan momen pilkada hanya formalitas memilih pemimpin. Meski begitu, ia tetap optimistis pilkada seharusnya bisa melahirkan pemimpin yang baik, jika masyarakat memilih sesuai hati nuraninya.
"Pilkada jangan hanya jadi prosedur politik yang verbal dan formal, tapi hasilkan pejabat publik yang teladan dan berprestasi," ujarnya.
Keluhan Sosialisasi
Sementara itu, Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Juri Ardiantoro mengakui pihaknya mendapat keluhan terkait sepinya tahapan kampanye pemilihan kepala daerah (pilkada) serentak 2017. Hal ini, kata dia, tak berbeda jauh dengan Pilkada 2015 lalu, lantaran model kampanye pasangan calon (paslon) tidak seperti pemilihan umum (pemilu) sebelumnya.
"Memang keluhannya sama seperti Pilkada 2015, konon sepi karena tidak dilakukan dengan model mobilisasi massa," kata Juri di Jakarta Pusat, Rabu (28/12).
Menurut dia, meski pengaturan Pilkada 2017 memungkinkan paslon di 101 daerah dapat menambah alat dan bahan kampanye 150 persen di luar yang ditetapkan KPU, tapi hal tersebut ternyata tidak membantu banyak.
Para paslon, kata dia, tidak semuanya menggunakan penambahan alat dan bahan kampanye untuk meningkatkan sosialisasi ke masyarakat. "Pembuatan peraga kampanye tidak menjadi pilihan para calon, tetapi mereka memilih jalan-jalan langsung ketemu pendukung," katanya. rep: Wahyu Suryana, Rizky Suryarandika ed: Hafidz Muftisany