Bagaimana KPPU melihat fenomena kenaikan harga daging sapi?
Kenaikan harga daging sapi ini ada dua penyebab. Pertama dari kebijakan pemerintah. Sebenarnya ini pengulangan dari periode kedua pemerintahan SBY (Susilo Bambang Yudhoyono). Saat itu tahun 2009, dengan menteri pertanian SBY berkomitmen untuk mencapai swasembada daging sapi pada 2014, padahal impor daging sapi pada 2009 masih 60 persen dari kebutuhan dalam negeri.
Sehingga, harus ada penurunan secara signifikan sekitar 10 persen per tahunnya sampai 2014 kalau mau swasembada. Sampai target impor kurang dari 10 persen dari kebutuhan. Karena, menurut FAO, suatu negara bisa disebut swasembada kalau impornya kurang dari 10 persen atau lebih dari 90 persen kebutuhan daging dipenuhi oleh daging lokal.
Nah, itu yang diburu pemerintah saat itu. Yang jadi soal adalah impor terus-menerus dikurangi tapi produktivitas sapi lokal tidak meningkat. Akibatnya terjadi kelangkaan dan harga jadi naik. Kita bisa lihat sejak saat itu harga sempat melonjak.
Saat ini hal serupa terulang kembali. Di mana mereka mau swasembada sehingga mereka (pemerintah) mau kurangi kuota impor daging sapi. Dari 750 ribu ekor pada 2014 menjadi 350 ribu ekor tahun ini. Ini kan ada pengurangan yang signifikan. Dan tidak dibarengi dengan penambahan stok sapi lokal sehingga terjadi kelangkaan. Nah, kelangkaan ini yang memicu harga tinggi.
Bagaimana dengan dugaan adanya permainan kartel?
Faktor kedua adalah dugaan adanya kartel daging sapi. Kita menduga sementara waktu ada feedloter yang sengaja menahan pasokan dan memanfaatkan kegaduhan. Jadi situasi yang tidak pasti ini ditumpangi penumpang gelap. Ada free rider. Mereka inilah para kartel yang secara sengaja menahan pasokan untuk menciptakan kelangkaan di pasar. Inilah yang mendorong kelangkaan di pasar.
Seberapa efektif operasi pasar yang dilakukan Bulog?
Saya tidak tahu kemampuan Bulog untuk menyuplai daging seberapa besar. Kan saat ini penurunan impor saja sudah 400 ribu ekor. Bulog sanggup tidak? Itu yang saya tidak tahu. Karena dari realisasi impor kan bulog punya izin impor. Artinya ini bisa tidak maksimal. Mungkin efeknya psikologis, 80 ton saja tidak terserap. Kuota 50 ribu ekor tidak terserap ditambah operasi pasar tidak efektif.
Lantas solusi ke depan bagaimana? Apakah dengan membuka keran impor lagi lebih banyak?
Solusinya adalah pemerintah harus belajar ke masa lalu. Kita tidak mungkin mencapai swasembada daging sapi dalam jangka pendek. Butuh waktu 5 sampai 10 tahun yang akurat perencanaannya.
Harus ada peta sentra sapi di mana saja. Misal ada di Nusa Tenggara, Bali, Jawa semua harus terpetakan dengan benar. Pemerintah juga harus menghitung betul berapa pertumbuhan daging konsumsi per kapita kita setiap tahun.
Ketiga adalah data. Data populasi sapi kita kan simpang siur. Mulai sekarang harus dilakukan karena tidak semua sapi yang ada di masyarakat jadi daging. Misal di pedalaman sapi jadi saving. Harga tinggi dia belum tentu mereka mau jual sakunya.
Bulog meminta tambahan kuota impor. Apakah bakal ampuh menahan kenaikan harga?
Setahun dua tahun oke, karena ndak mungkin kita bisa swasembada dalam waktu singkat. Karena, pemerintahan yang lalu itu pengalaman buat kita, ya.
Oleh Sapto Andika Candra ed: Fitriyan Zamzami