JAKARTA-- Target pemerintah menghapus sekitar 3.226 perda termasuk perda miras mulai direalisasikan. Kementerian Dalam Negeri juga menargetkan perda miras di sejumlah daerah seperti Papua, Daerah Istimewa Yogyakarta, dan Nusa Tenggara Barat.
Ketua Komisi Informasi (KI) Pusat Abdulhamid Dipopramono menilai, semestinya, baik Kemendagri maupun pemda, terbuka mengenai perda yang dinilai bermasalah dan perlu dicabut. Lantaran, perda merupakan produk hukum yang berkaitan dengan kepentingan publik.
"Soal perda, hak masyarakat untuk tahu pun halnya perda yang dinilai bermasalah, itu yang mana. Harus dibuka ke publik,'' kata Abdulhamid saat dihubungi Republika, Ahad (22/5). Ia menilai, selama ini Kemendagri hanya merilis jumlah perda yang akan dicabut.
Sayangnya, Kemendagri tak memerinci jenis perda mana yang dianggap bermasalah. Akibatnya, masyarakat tidak mengetahui persis jenis-jenis Perda yang dinilai bermasalah. ''Belum tentu juga itu kan perda bermasalah, nggak asal cabut saja. Itu butuh kontrol masyarakat.''
Padahal, menurut Abdulhamid, perda yang notabene berkaitan dengan publik tentu harus dibuka. Jadi, rencana pencabutan perda pun perlu melibatkan masyarakat. Penghapusan perda tidak boleh hanya berdasarkan keinginan pemerintah pusat.
"Nggak boleh juga pusat serta-merta mencabut karena terlepas masalah dari perda bermasalah, saat buat perda sebelumnya tentu melewati proses-proses, kan nggak bisa langsung cabut," kata Abdulhamid. Termasuk rencana sinkronisasi perda miras.
Pengamat hukum tata negara dari Universitas Parahyangan, Asep Warlan Yusuf, mempertanyakan konsep bertentangan yang dimaksud dalam perda miras.
Ia menilai, jika kebijakan nasional lebih longgar terhadap suatu hal, maka daerah diperkenankan membuat kebijakan lebih ketat sesuai dengan kebutuhan dan kondisi daerahnya. Soal perda miras, pusat selama ini menyerahkannya kepada masing-masing daerah.
"Kalau nasional membolehkan, daerah boleh melarang, itu bukan bertentangan, tapi kondisi daerah tertentu tidak memungkinkan itu dijalankan, karena bahaya lebih besar atau dampak negatifnya tidak bisa dikendalikan," ujar Asep.
Lantaran itu ia tidak sependapat jika bagi daerah yang menerapkan perda miras kemudian disebut bertentangan dengan kebijakan nasional. Daerah tentu tahu betul kondisi masyarakatnya mengenai bahaya miras. Bukan berarti ini melanggar prinsip hierarki.
Dirjen Otonomi Daerah Kemendagri Sumarsono menegaskan, belum pernah ada pembatalan perda miras. Dalam upaya memangkas perda bermasalah, fokusnya pada perda yang menghambat investasi, melanggar peraturan lebih tinggi dan diskriminatif.
"Belum ada Perda Miras yang dibatalkan Mendagri, tapi yang ada adalah seluruh perda supaya dilihat lagi agar tidak ada yang bertentangan dengan ketentuan pusat," kata Sumarsono.
Terkait apakah dari ribuan perda yang akan dihapus tersebut terdapat perda miras, mantan penjabat gubernur Sulawesi Utara itu mengatakan, belum ada daerah yang melaporkan untuk membatalkan Perda Miras ke Kemendagri.
Tapi memang daerah diminta melihat kembali perdanya, karena sesuai sistem hukum, peraturan di bawah tidak boleh bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi. Hal ini karena umumnya perda di daerah termasuk soal miras, tidak semua serasi dengan peraturan di atasnya.
"Tidak perlu dihapus kalau tidak bertentangan dengan peraturan di atasnya," kata Sumarsono.
Ketua Asosiasi Pengusaha Importir dan Distributor Minuman Impor (APIDMI) Agus Silaban menilai, pencabutan perda miras wajar jika bertujuan menyeleraskan aturan yang ada. Namun, ia menyarankan adanya pengawasan ketat peredaran miras lokal dan impor.
"Memang sudah sewajarnya jika pemerintah melakukan penyelarasan perda-perda yang tumpang tindih dengan peraturan menteri perdagangan dan undang-undang yang ada," tegas Agus ketika dikonfirmasi Republika, kemarin.
Pihaknya pun sepakat jika langkah pencabutan itu diteruskan dengan evaluasi dan peningkatan pengawasan peredaran miras. Ia pun berharap, hal serupa diberlakukan terhadap miras impor. Sebab, penertiban peredaran miras ilegal dan selundupan juga mendesak.
''Terakhir, kami berharap ada sanksi berat bagi pembuat miras oplosan," lanjut Agus. Ia menyatakan, untuk mengatur peredaran miras perlu seperangkat aturan yang memadai dan selaras.
Sebab menurut dia, sebagian besar masyarakat Indonesia tidak menerima keberadaan miras sehingga masih sering dianggap sebagai salah satu faktor penyebab kejahatan yang menonjol.
Secara terpisah, Ketua Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama Kota Surabaya, Achmad Muhibbin Zuhri, memprotes Mendagri soal perda miras. Ia menyatakan, langkah Mendagri menyalahi Pancasila dan kebijakan revolusi mental.
''Itu juga menyalahi ajaran agama bahwa minuman keras merupakan sumber asal dari segala bentuk kejahatan, seperti pembunuhan, kejahatan seksual, kecelakaan, dan narkoba," kata Achmad. Menurut dia, pemerintah tak sensitif terhadap persoalan moral-sosial.
Pemerintah menutup mata atas fakta bahwa miras sumber berbagai kejahatan dan kerusakan, seperti kasus pembunuhan, pemerkosaan, perampokan, kecelakaan, dan kejahatan lainnya. rep: Fauziah Mursid,c36, ed: Ferry Kisihandi