Kamis 26 May 2016 13:00 WIB

Eddy OS Hiariej, Pakar Hukum UGM Yogyakarta: Harus Dilakukan Pemotongan Generasi

Red:

Bagaimana Anda melihat fenomena mafia peradilan di lembaga peradilan kita?

Untuk melakukan reformasi bidang peradilan, memang bukanlah perkara mudah. Hal ini karena memang kondisi peradilan kita yang memprihatinkan.

Tapi, penyebabnya mungkin, ingin saya sampaikan, pertama, pada awal reformasi, kita pernah melakukan penelitian selama tiga tahun. Penelitian tentang sistem rekrutmen dan karier dalam bidang peradilan. Tidak hanya hakim, tapi juga polisi dan jaksa.

Hasilnya mencengangkan, kalau mau jadi hakim, polisi, jaksa memang harus melalui tiga jalur, yakni murni, titipan, dan bayar. Nah, untuk yang jalur bayar ini, tentu tahu kan konsekuensi nanti saat ia telah menjadi penegak hukum tersebut.

Kedua, sistem karier di indonesia ini paling tidak jelas karena ada mantan polisi itu pensiun jadi pengacara, lalu jaksa pensiun jadi pengacara. Ini akan memengaruhi bergeraknya sistem peradilan secara umum.

Jadi, dua sistem itu yang kemudian melanggengkan praktik mafia dalam bidang peradilan?

Ya, bayangkan saja, misal mantan polisi jadi pengacara, kemudian dia menangani kasus, lalu dia bisa saja menghubungi rekan-rekan terdekatnya saat menjadi polisi sebelumnya. Begitu pun jaksa, saat jadi pengacara dan menangani kasus, bertemu dengan jaksa yang dahulunya adalah bawahannya. Kita kan masih menerapkan budaya Timur. Artinya, ini akan terus-menerus berputar-putar di sana.

Lantas, apa yang harus dilakukan?

Di negara pecahan Uni Soviet, Georgia, lantaran bobroknya peradilan di sana, ada kebijakan satu hakim generasi tersebut diberhentikan. Mereka diberhentikan lalu diberi tunjangan, kemudian rekrutmen baru.

Sementara, kasus yang terhenti di sana diganti dengan hakim dari Inggris, Amerika Serikat, dan Belanda untuk melanjutkan proses peradilan. Ini pernah kami usulkan, meski tidak ditindaklanjuti.

Mau membersihkan mafia peradilan bukan soal yang ringan, mungkin konstruksi ulang UU tentang kehakiman. Kalau belasan ribu tunggakan perkara, seperti di Mahkamah Agung itu, MA sendiri yang membuka peluang PK menjadi hal yang biasa sehingga banyak perkara di MA. Kalau di negara lain, misalnya Belanda, ada fungsi KY dan betul-betul mengawasi peradilan.    Oleh Fauziah Mursid, ed: Fitriyan Zamzami

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement