Korupsi yang dilakukan para pejabat daerah dan pusat masih terus terjadi, terutama dalam bentuk suap dan proyek yang menyangkut kepentingan publik. Bagaimana menurut Anda?
Praktik suap dan penyalahgunaan anggaran jamak terjadi. Penangkapan pejabat publik baik pusat maupun daerah juga bukan merupakan hal baru. Faktor utamanya bisa dirunut dari motif utama seseorang untuk menjadi pejabat publik dari jalur legislatif. Jika motifnya ingin mendapatkan kekuasaan dan kekayaan maka ada potensi besar dari yang bersangkutan menyalahgunakan wewenang dalam bentuk korupsi, penyalahgunaan anggaran, dan suap.
Jika seperti ini, untuk menimbulkan efek jera kepada pelaku, apakah perlu aturan khusus, dalam bentuk perppu, misalnya terkait pemberatan hukuman?
Menurut kami, perppu bukan solusi yang efektif. Yang paling penting dan efektif adalah tidak mengurangi masa hukuman bagi tersangka korupsi. Lebih baik, menteri hukum dan HAM selaku wakil dari pemerintah menghentikan wacana pemberian remisi kepada pelaku korupsi.
Misalnya, hukuman selama 20 tahun atau 10 tahun, ya berikan selama itu. Tidak usah dipotong. Sistem peradilan kita sudah sulit untuk menjerat koruptor. Jika ditambah dengan pemotongan hukuman, berarti sistem hukum kita lebih tidak efektif menindak koruptor.
Karena banyak kader partai yang tertangkap menerima suap, apakah berati harus ada pembenahan dari partai terkait pengkaderannya?
Itu betul. Keterlibatan kader partai dalam kasus korupsi tentu harus dijadikan bahan evaluasi bagi mereka. Sebab, partai bertanggung jawab menentukan kualitas pejabat publik yang terbukti melakukan kasus korupsi.
Jika pengawasan hanya dilakukan oleh KPK, tentu terbatas. KPK perlu dukungan dari pemerintah dan juga partai. Evaluasi dari partai terhadap kader dan proses pengkaderan, dapat membantu mengurangi risiko korupsi politik.
Dukungan dari pemerintah sebaiknya seperti apa dalam mengurangi potensi korupsi politik?
Pemerintah sebaiknya tegas dalam menetapkan aturan keterbukaan dokumen perencanaan anggaran, berikut pelaksanaan anggaran tersebut. Bisa diwujudkan dalam penerapan e-government dalam pengadaan barang dan jasa. Dengan begitu, masyarakat dan pemerintah pusat pun dapat mengawasi alokasi anggaran di daerah.
Penerapan e-government ini semestinya bisa diberlakukan di seluruh kabupaten dan kota di Indonesia. Jika pemerintah berkomitmen dalam memberantas korupsi, maka aturan mengenai transparansi perencanaan anggaran harus ditegaskan dalam bentu kepres (keputusan presiden) atau PP (peraturan pemerintah). Oleh Dian Erika Nugraheny, ed: Fitriyan Zamzami