Selasa 06 Dec 2016 14:00 WIB

Spudnik Sujono, Direktur Jenderal Hortikultura Kementerian Pertanian: Rantai Pasok Penyebab Harga Cabai Mahal

Red:

Harga cabai melambung tinggi di beberapa daerah di Indonesia. Mengapa demikian?

Produksi kita cukup, tapi kan yang harus dibenahi bagaimana memotong rantai pasok yang menyebabkan harga mahal. Memang, kita akui, hujan mengganggu waktu panen dan menunda masa matang. Tapi, artinya pertanaman cabai tetap ada, tidak langka.

Saat ini kami mengupayakan bagaimana distribusi cabai dari petani langsung ke konsumen melalui PT Perusahaan Perdagangan Indonesia (PPI) yang ditunjuk Kementerian Perdagangan atau memberdayakan Bulog melalui koordinasi menteri koordinator bidang perekonomian untuk melakukan stabilisasi harga. Tidak ada lagi cost tata niaga.

Seperti apa sinergi pemerintah untuk mengatasi masalah ini?

Kementerian Perdagangan bekerja untuk mengatur alur distribusi, sedangkan Kementerian Pertanian sendiri mengupayakan bagaimana produksi tersebut tetap ada. Pak Menteri (Menteri Pertanian—Red) Amran Sulaiman membuat urban farming, yakni penanaman cabai di lahan pekarangan. Jika setiap rumah tangga melakukan penanaman di pekarangan, atau kalau tidak ada lahan bisa di polibag, cabai tidak lagi sulit.

Program tersebut merupakan program 10 juta pohon cabai di lahan pekarangan. Selain itu, ada pula manajemen tanam dan berproduksi melebihi kebutuhan. Dengan begitu, pasokan akan tetap ada memenuhi kebutuhan masyarakat. Tapi tetap, pertanamannya kita kawal.

Terkait pemetaan produksi, sentra cabai tersebar di mana saja?

Sentra cabai itu ada di Jawa, tapi kan permainan pedagang besar luar biasa. Mereka mengondisikan bagaimana menjaga supply untuk Pasar Induk Kramat Djati tetap stabil agar harga tetap tinggi. Komoditas cabai dari sentra pun transit di Cibitung untuk kemudian dikirim ke Sumatra dan wilayah lainnya. Kalau supply dipenuhi, itu pasti harga akan turun. Tapi kan namanya bisnis melihat peluang-peluang yang ada.

Kami sekarang berupaya menyiapkan sentra lain yang mampu menyangga atau sebagai buffer di Sumatra dan Kalimantan. Dengan begitu, kebutuhan cabai tidak terfokus (hanya) dari Pulau Jawa. Kalau ada daerah minus, ada potensi harga tinggi juga.

Jadi, mendekati hari raya akhir tahun ini, produksi cabai akan aman?

Saya optimistis, saya tahu di lapangan ada barangnya.

Bagaimana respons masyarakat kita terhadap cabai Impor?

Masalah selera saja. Kebiasaan masyarakat Indonesia kan membuat sambal dari cabai segar, sedangkan cabai impor rata-rata cabai kering. Cabai impor tersebut biasa digunakan dalam produksi pangan yang banyak menggunakan cabai bubuk. Oleh Melisa Riska Putri  ed: Muhammad Iqbal

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement